60 Sahabat Nabi: Salman Al Farisi

Cerita tentang Salman Al Farisi saya ketahui saat pelajaran Tarikh Islam waktu jaman masih di Madrasah. Guru saya mengatakan, Salman adalah satu-satunya orang yang bukan keturunan langsung atau mempunyai hubungan darah dengan Rosullullah, namun diakui sebagai Ahlul Bait, atau keluarga Nabi. Salman jugalah salah satu saksi hidup mukjizat Rosullullah, dan saksi betapa Janji Allah akan selalu ditepati. Berikut kisah singkatnya.
————————————————————————————————————————————-
Dari Persi . . . datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu’min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi­ pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang ke­ilmuan dan keagamaan, maupun dalam ilmu pengetahuan dan keduniaan.
Dan perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu diramalkan oleh Rasulullah saw., bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.
Salman al-Farisi sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan ­golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta men­cabut urat akar Agama baru ini.
Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang­nya dari dalam yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimin sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.
Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah naik sampai kekerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah.
(Q.S. 33 al-Ahzab:10)
Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Muhammad saw., Agama serta para shahabatnya.
Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang meng­anggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.
Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?
Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah saw. Itulah dia Salman al-Farisi! Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkungan gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negerinya Persi, Salman telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah, yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit per­lindungan sepanjang daerah terbuka Wiling kota.
Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman tersebut.
Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah–kemah karena tidak berdaya menerobos kota. Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta’ala mengirim angin. Topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-poran­dakan tentara mereka.
Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka . . . dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit .. .
Sewaktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasul­ullah saw. ikut membawa tembilang dan membelah batu. Ke­betulan. di tempat penggalian Salman bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.
Salman seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat mem­belah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.
Salman pergi mendapatkan Rasulullah saw. dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah meminta sebuah tembilang dan menyuruh Para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti
Rasulullah lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. “Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah”, kata Salman, sementara Rasulullah saw. mengucapkan takbir, sabdanya:
Allah Maha Besar ! Aku telah di karuniai kunci kunci israna dari negeri Persi dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana istana kerajaan Hirah begitupun kota kota maha raja Persi dan bahwa umatku akan menguasai semua itu.
Lalu Rasulullah mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah bertakbir sabdanya:
Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana megahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.
Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang ter­pancar daripadanya amat nyala dan terang benderang. Rasulullahpun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan’a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru:
Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya . . . . Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Salman adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dan dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah saw. la berdiri di samping Rasulullah menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat bahkan dialami dan dirasakannya sendiri. Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shan’a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah dan petunjuk Allah ….
Nah, itulah dia sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di muka rumahnya di kola Madain; sedang menceriterakan kepada shahabat-shahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam. Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan men­jatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya . . . ! Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah dan iman kepadanya … !
Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya clan tidak membiarkannya padam.
Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada ‘suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati: “Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!” Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syria”, ujar mereka.
Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan ke­padanya: “Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagum­kanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita”. Kami pun bersoal-jawab melakukan diskusi dengan bapak­ku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku ….
Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Per­mintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.
Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar . . . Sayang uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang­ orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup itu wafat ….
Mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu dari­padanya.
Dan tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: “sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya taqdir Allah atas diri anda. Maka .apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?” “Anakku!”, ujarnya: “tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul”. Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan meng­hubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepada­nya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang shalih yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan ku­ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.
Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di ‘Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.
Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Ujarnya: “Anakku! Tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah ber­batu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia! Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya”.Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan ber­kendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka: “Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?” “Baiklah”, ujar mereka.
Demikianlah mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta ke­padaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah. Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.
Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraidhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraidhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani ‘Amar bin ‘Auf di Quba.
Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku lagi duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi saudara sepupunya yang mengatakan padanya: “Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi. . .”.
Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi: “Apa kata anda?” Ada berita apakah?”
Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya: “Apa urusanmu dengan ini, ayoh kembali ke pekerjaanmu!” Maka aku pun kembalilah bekerja …
Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu aku keluar dan pergi menemui Rasulullah di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu kataku kepadanya: “Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mem­punyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini”. Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya.
Makanlah dengan nama Allah.
sabda Rasulullah kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. “Nah, demi Allah!” kataku dalam hati, “inilah satu dari tanda­ tandanya …bahwa ia tak mau memakan harta sedekah “.
Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya: “Kulihat tuan tak hendak makan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah”, lalu kutaruh makanan di hadapan­nya. Maka sabdanya kepada shahabatnya:
Makanlah dengan menyebut nama Allah.
Dan beliaupun turut makan bersama mereka. “Demi Allah”, kataku dalam hati, “inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah “.
Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah saw. dan kutemui beliau di Baqi’, sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh shahabat-shahabatnya. la memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.
Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi.
Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi peng­halang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku: Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskan­mu dengan menerima uang tebusan.
Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.
Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan pepe­rangan lainnya.’)
Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman men­ceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta’ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya ….
Bagaimana akhir kesudahan yang dapat kita harapkan dari seorang tokoh yang tulus hati dan keras kemauannya demikian rupa? Sungguh, keislaman Salman adalah keislamannya orang­orang utama dan taqwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khatthab.
Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu Siang. Salman melarangnya keterlaluan dalam beribadah seperti itu.
Pada suatu hari Salman bermaksud hendak mematahkan niat Abu -Darda untuk shaum sunnat esok hari. Dia menyalahkan­nya: “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” Maka jawab Salman: “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, ber­bukalah; dan di samping melakukan shalat, tidurlah!”
Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah, maka sabdanya:
Rasulullah saw. sendiri sering memuji kecerdasan Salman serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama berdiri dan berkata: “Salman dari golongan kami”. Bangkit­lah pula kaum Muhajirin, kata mereka: “Tidak, ia dari golongan kami!” Mereka pun dipanggil oleh Rasulullah saw., dan sabdanya:
Salman adalah golongan kami, ahlul Bait
Dan memang selayaknyalah jika Salman mendapat kehormatan seperti itu . . .!
Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menggelari Salman dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya:
“Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait.
Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim.
Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir.
Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir.
Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”.
Suatu ketika Salman pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya:“Karena manis waktu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!”
Pada ketika yang lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: “Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin la harus melakukan dua pekerjaan sekaligus ” *
Apa sebenarnya yang kita sebut “rumah” itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenarnya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai “rumah” itu, Salman bertanya kepada tukangnya: “Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?” Kebetulan tukang bangunan ini seorang ‘arif bijaksana, mengetahui ke­sederhanaan Salman dan sifatnya yang tak suka bermewah – ­mewah. Maka ujarnya: “Jangan anda khawatir! Rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu, hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya”. “Benar”, ujar Salman, “seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!”
Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkan­nya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.
Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diper­olehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dibasuh dengan tangannya, lalu kata Salman kepada isterinya: “Percikkanlah air ini ke sekelilingku . . . Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah’) yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian . . .!
Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: “Tutupka’nlah pintu dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh isterinya. Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya … Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad dan dengan kedua shahabat­nya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tokoh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama ….
Salman ….
Lamalah sudah terobati hati rindunya
Terasa puas, hapus haus hilang dahaga.
Semoga Ridla dan Rahmat Allah menyertainya

No comments: