Abdul Jalil dan Revolusi Sosial (Sedikit Catatan)
Pada
masa kelamnya, kebanyakan penduduk Nusa Jawa berada dalam mentalitas
yang amat menyedihkan. Terbangun diatas nalar kawula gusti yang sangat
ketat, sehingga membuat keseluruhan masyarakat Jawa menjadi
terpinggirkan dalam segala aspek. Salah satunya adalah keterpinggiran
dalam hal ekonomi. Mereka, dalam hal ini masyarakat kawula, tak dapat
memiliki satupun dari hak yang sebenarnya telah terbawa dan melekat
padanya sejak lahir. Mereka tak dapat memiliki sebidang tanah, bahkan
tidak dapat mempertahankan istri serta anak-anak mereka dari kekuasaan
kerajaan yang begitu absolut. Mengapa? Karena unsur teologis dan
kekuasaan para raja telah bersatu padu membentuk perselingkuhan yang
mengatur jalannya roda pemerintahan. Sebagai contoh, rakyat tidak bisa
memiliki tanah, karena hak kepemilikan tanah dalam suatu kerajaan
bersifat tunggal yakni milik raja.
Padahal
dalam kenyataannya, sistem Hindu-Budha yang kemudian dipakai sebagai
sistem resmi kerajaan tidak mengajarkan hal yang demikian. Hindu
mengklasifikasi masyarakat dalam empat kasta bukan berdasarkan
kepemilikan, garis darah, bahkan hak dan kewajiban. Hindu mengatur empat
kasta diatas berdasarkan kedekatannya kepada Sang Hyang Widhi. Atau
yang dalam ajaran Kapitayan disebut Sang Hyang Taya. Brahmana dalam
Hindu, atau Pendeta penjaga Ksetra menempati urutan tertinggi dalam
klasifikasi masyarakat karena memiliki pemahaman yang sangat tinggi
dalam hal pengetahuan spiritual dan tidak lagi terreduksi dalam
kehidupan bendawi. Sudra menempati posisi paling bawah bukan karena
golongan tersebut adalah kaum miskin papa, melainkan mereka yang sangat
bergantung pada kebendaan, bahkan mengabaikan kehadiran ajaran-ajaran
spiritual.Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai dekadensi
nilai-nilai spiritual dikalangan masyarakat Nusa Jawa. Mereka akhirnya
takluk dalam putaran nasib yang menindas dan tak mampu bangkit dari
kungkungan kezaliman.
Abdul
Jalil, seorang anggota Jama’ah Karamah al-Auliya hadir setelah berbelas
tahun meninggalkan Nusa Jawa. Kembali kekampung halamannya yang bernama
kadipaten Caruban atau Cirebon pada saat ini. Ia sangat prihatin
melihat keadaan yang menimpa kaumnya akibat kesalahan menafsirkan suatu
ajaran yang sebenarnya sangat mulia. Untuk singkat cerita, ia dengan
bantuan ayahandanya yang merupakan adipati Caruban akhirnya membangun
dukuh-dukuh atau kampung-kampung yang dalam konteks besar disebut
Wilayah al-Ummah. Masyarakat didalamnya berhak memiliki tanahnya sendiri
sesuai kebutuhan masing-masing, tidak ada lagi penyembahan sesama
makhluk ciptaan Tuhan, berhak menjaga harta dan keluarganya, berhak
untuk memilih kepercayaan dan bahkan berhak memilih pemimpinnya sendiri.
Pergeseran
sosiokultural pun terjadi. Ratusan warga berbondong datang ke dukuh
pertama yang ia bangun bernama dukuh Lemah Abang. Disana, selain
mendapatkan perlindungan atas hak milik pribadi, masyarakat pun
diajarkan untuk melawan kezaliman dan kesewenang-wenangan penguasa
dengan langkah awal mengganti kata ganti diri dari abdi menjadi ingsun,
yang berarti merubah watak budak menjadi ‘aku’ yang bebas untuk
berkehendak dalam koridor syari’at atau hukum. Hal itu menandakan
perubahan kultural yang sangat signifikan. Secara sosiologis, pola
masyarakat modern terbentuk dengan adanya kemajemukan pendapat demi satu
tujuan bersama yakni kemaslahatan umat.
Perubahan
sangat mendasar tak pelak lagi menjadi kenyataan. Manusia dikembalikan
menjadi satu keutuhan badan, pikiran dan jiwa yang merdeka. Abdul Jalil
berhasil mengembalikan tatanan masyarakat Nusa Jawa pada posisi semula
dimana ajaran spiritual seperti Kapitayan menjadi utuh sebagai bagian
dari kebudayaan Jawa.
Dalam
banyak versi, perubahan sosial tersebut sering kita sebut sebagai
revolusi. Sebuah perubahan radikal dalam struktur berpikir dan
bertindak. Kisah diatas merupakan gambaran dari keberhasilan seseorang
bernama Abdul Jalil yang sering kita kenal dengan nama Syaikh Siti Jenar
mengambil alih peradaban Jawa pada masa Padjajaran di barat dan
Majapahit di timur. Merubah pola pikir yang telah berkarat dalam otak
manusia Jawa.
Hari
ini, setelah ratusan tahun berlalu, kondisi tersebut kembali terulang.
Mungkin memang karena kita memiliki warisan mental budak, atau memang
ada suatu kekuatan diluar diri kita yang memaksakan pola pikir budak
tetap melekat pada kita. Saya lebih cenderung pada pilihan kedua.
Mengapa? Karena tidak ada seorangpun didunia ini yang memiliki khayalan
dan mimpi untuk menjadi seorang budak. Meski apabila ada warisan mental
budak, tidak semestinya hal itu disimpan dalam karakter diri.
Ditengah
pergolakan dunia, Indonesia hanya menjadi pemain pinggiran. Bahkan
kerapkali hanya menjadi lokasi jarahan yang tak bermartabat. Tempat
negara lain memerkosa sumber daya lalu pergi begitu saja ketika sudah
“ejakulasi”. Padahal, sejarah menunjukkan fakta yang terbalik.
Nusantara, adalah bangsa dengan mental mendunia. Menebarkan benih
kekuatan diseantero Asia, penguasa bahari, pemain penting dalam
perniagaan, hingga petarung mematikan diranah pertempuran. Lokasi
perniagaan paling ramai dikunjungi diseantero Asia Timur setelah Cina.
Secuil
catatan ini bukanlah untuk menghakimi. Tugas dari catatan ini hanyalah
menjadi pacul yang membongkar tanah untuk ditanami, menjadi potret untuk
mengenang, menjadi cambuk kusir agar si kuda berlari lebih cepat, atau
bahkan menjadi segelas air dingin untuk menyegarkan kita kembali.
Semuanya kembali kepada seluruh anak bangsa yang menyadari potensi serta
warisan kekayaan masa lalunya. Karena cepat atau lambat, dengan tidak
menyadari jalannya zaman, bangsa ini akan hanya menjadi pelengkap bagi
kejayaan bangsa lain. Bahkan tergilas dan dilupakan dalam pergaulan
dunia.
Adtya Kirana
Adtya Kirana
No comments:
Post a Comment