Bandung 1955 (4) Juli-Agustus: Cerita tentang Kelangkaan Obat dan Garam

13688698901113267082
Ilustrasi : Apotik kimia Farma. Apotik bersejarah yang membuktikan kuatnya tradisi apotik di Bandung (kredit foto: www.bangunan-bersejarah.blogspot.com)
Memasuki paruh kedua 1955 Kota Bandung dihadapkan dengan menghilangnya obat-obatan penting, seperti chloromycetin untuk penyakit typhus, serta penesilin (yang penting sebagai antibiotika), hilang dari peredaran di apotik-apotik. Hal yang anomali mengingat Bandung pada 1955 justru bertambah apotek baru, yaitu Apotek Kosambi (di Jalan Raya Timur atau Jendral Ahmad Yani sekarang ) dan tenaga dokter di Bandung dan Cimahi sudah mempunyai cukup tenaga dokter sebanyak 100 orang. Sebanyak 80 persen sudah di tangan bangsa Indonesia (Pikiran Rakjat, 2 Juli 1955).
Selain itu Bandung memiliki tradisi apotik yang cukup kuat sejak masa kolonial. Sejarah panjang farmasi di Bandung memang dimulai dengan berdirinya perusahaan NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co., perusahaan farmasi pertama di Hindia Timur, didirikan pada tahun 1917. Perusahaan ini kemudian menjadi cikal bakal perusahaan Kimia Farma.
Jumlah tenaga medis terus bertambah ketika pada awal Juli itu juga sebanyak 36 siswa perawat lulus pendidikan (20 laki-laki dan 16 perempuan) dari Sekolah Perawat yang masa dipimpin oleh Gan Hok Kiem. Mereka kemudianditempatkan di RS Rancabadak (kemudian menjadi RS Hasan Sadikin. Di seluruh Indonesia hanya terdapat 3 buah gedung pendidikan perawat, yaitu Bandung, Semarang dan Medan. Ke 36 perawatan lulusan pendidikan perawat di Bandung ini merupakan angkatan ke enam (Pikiran Rakjat, 7 juli 1955).
Masalahnya obat-obatan itu tidak sungguh-sungguh tidak ada, tetapi berada di pasar gelap. Akibatnya kesehatan rakyat Bandung terancam bakal menjadi buruk. Sekretaris IDI Priangan dr.Tan Tjin Hong menyebutkan menghilangnya obat-obatan itu berkaitan dengan pembatasan devisen (mata uang) yang keterlaluan dari kabinet (waktu itu masih di bawah pemerintahan PM) Ali Sastroamidjojo. Selain itu banyak importir menarik keuntungan lebih besar akibat keadaan itu.
Kelangkaan obat-obatan merupakan anomali kesehatan di kota Bandung. Di sisi lain infrastruktur kesehatan bertambah. Pada hari Minggu 3 Juli 1955 Poliklinik Modern Muhamadyah diresmikan. Pengguntingan pitanya dilakukan oleh Sjamsudin wakil pengurus besar Muhamadyah yang datang dari Jakarta. Poliklinik ini dipimpin oleh dr. Effendi yang berpraktek 2 kali seminggu di poliklinik itu dan dilayani 5 orang tenaga medis lainnya, termasuk juru rawat dan bidan (ibu Adirman). Poliklinik itu melayani 70 orang yang berobat setiap hari (Pikiran Rakjat, 4 Juli 1955).
Selang beberapa hari kemudian sebuah gudang obat untuk Jawatan Kesehatan Kota Besar Bandung di Jalan Pasir Kaliki 162 diresmikan. Menurut Kepala Kesehatan Kota Bandung dr. Admiral Surasetja1 gudang obat ini menyimpan keperluan untuk 16 poliklinik, 12 balai kesehatan ibu dan anak, serta sebuah klinik bersalin di kota Bandung. Bangunan gudang obat itu diselenggarakan oleh Biro Teknik PKKB dengan biaya sebesar Rp 200.000. Namun diumumkan juga bahwa persediaan obat-obatan di gudang itu hanya cukup tahun 1955 (Pikiran Rakjat, 8 Juli 1955).
Dalam waktu hampir bersamaan Balai Pengobatan anak-anak Sekolah Rakyat dengan biaya Rp 17.500 juga diserahkan JPKR (sebuah badan yang berkaitan dengan Kesehatan Rakjat?) kepada Jawatan Kesehatan Kota Besar Bandung. Upacara penyerahan dilakukan di sebuah gedung sekolah rakyat di Cipaganti. JPKR pimpinan dr.Bachroem membangun dua buah balai pengobatan lagi di kota Bandung untuk anak Sekolarh Rakyat di SR di Jalan Puteri dan SR Pangarsih (Pikiran Rakjat, 6 Juli 1955).
Pada akhir Juli 1955 kelangkaan obat-obatan ini akhirnya membuat Admiral Surasejta meminta keterangan dari Bond van Apothekers in Indonesia (BAI), Ikatan Pembantu Ahli Obat dan Ikatan Dokter Indonesia. Dia menuntut penjelasan dua hal, yaitu mengapa obat-obatan yang tidak ada lagi dan mengapa berapa jumlah resep yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh apotek-apotek itu. Pada 28 Juli 1955 dilakukan pertemuan antara anggota Bond van Apotheker Bandung dan juga dengan Dewan Ekonomi Indonesia (Pikiran Rakjat, 29 Juli 1955).
Rangkaian pertemuan itu mendapatkan masukan bahwa menghilangnya obat-obatan di Bandung karena banyaknya import obat yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Distribusi juga tidak diatur, sehingga beberapa macam obat keras (sterk wekende geneesmindelen) diperdagangkan di luar apotek dan perusahaan yang mendapatkan izin mengedarkan. Bahkan penyelidikan yang dilakukan Jawatan Kesehatan Jakarta mendapatkan fakta bahwa ada importir yang langsung mengirimkan penesilin dan beberapa obat ke dokter yang tidak punya apotek. Melihat berlarutnya kelangkaan obat membuat Jawatan Farmasi mengancam akan memutuskan hubungan dengan para importer dan pedagang besar yang terbukti tidak bonafid. (Pikiran Rakjat, 2 Agustus 1955).
Garam Juga Langka
Selain krisis obat-obatan, memasuki paruh kedua 1955 warga Bandung dihadapkan kenaikan harga garam karena jumlah garam tidak mencukupi kebutuhan. Pada Januari jumlah garam yang dikirim dari Tanjung Priok dan Cilacap untuk Bandung sebesar 156 ton untuk garam jenis briket dan 91 ton untuk garam hancur. Pada Februari jumlah garam Briket yang masuk hanya 56 ton dan garam hancur nak 108 ton. Pada Maret jumlah garam briket 272 ton dan garam hancur 120 ton. Pada April hanya ada 99 ton garam briket dan 243 garam hancur.
Pada Mei jumlahnya mengkahwatirkan garam briket menjadi 110 ton dan garam hancur sekitar 35 ton, pada Juni jumlahnya 110 ton dalam bentuk briket dan 76 ton dalam bentuk hancur. Masalahnya jumlah yang dibutuhkan kota Bandung setiap bulan 300 ton gram briket dan 200 ton garam hancur. Itu artinya hanya pada Maret jumlah garam mendekati kebutuhan. Pada bulan lain bahkan tidak mencapai separuh kebutuhan.
Untuk keperluan Industri saja dibutuhkan 100 ton garam hancur per bulan. Perusahaan-perusahaan yang membutuhkan antara lain perusahaan tahu, tenun, kertas, kulti, es dan susu, daging,kecap, kue-kue hingga mi. Menurut RHJ Soedibjo Kepala daerah Pengusaan Perusahaan Garam dan soda Negeri kelangkaan garam disebabkan oleh pengakutan tak lancer dan pedagang ingin untung banyak. Harga garam briket pada Juli 1955 mencapai Rp 0.80 per kg dan garam hancur Rp 0,60 per kg.
Yang paling mengkahwatirkan banyak pedagang yang mendatangkan garam dari Cirebon yang kadang-kadang merupakan garam palsu, yaitu garam rakyat yang tidak dicampur yoidum dan penampilannya kurang putih bersih. Di setiap pasar garam dijual melalui tengkulak setiap hari 20 pak (Pikiran Rakjat, 14 Juli 1955). Itu artinya rakyat kota Bandung bisa terancam penyakit gondok apabila krisis ini dibiarkan berlarut-larut.
Wacana Pembuatan Kompos di Bandung
Pada Juli 1955 Pemerintah Kota Besar Bandung mencoba memanfaatkan sampah untuk menjadi pupuk kompos. Suatu rombongan pegawai kota besar terdiri dari Walikota Bandung R. Enoch, Kepala Jawatan Kesehatan dr. Admiral Surasetja, Kepala Pekerjaan Umum R.Omon Kantaprawira, Kepala Jawatan Perusahaan Kota dr. Sunodo dan Ketua DPRDS Kota Besar E.Z Muttaqien mempelajari cara membuat kompos di pembuatan kompos di Tarogong, Garut.
Pemerintah Daerah Kabupaten Garut merintis pembuatan kompos dari sampah kota secara sederhana sejak 1954. Perundingan antara Dewan Pemerintah Daerah Garut dengan Jawatan Pertanian Rakyat dilakukan pada 5 Oktober tahun itu agar pembuatan kompos tidak menjadi gangguan kesehatan. Pada pertengahan Oktober pembuatan kompos sudah dimulai. Tempat kompos dilakukan dekat dengan tempat pembuangan sampah, cukup air dan ada akses ke jalan raya, hingga bisa dilalui 4 truk sampah sehari bolak balik menyetor sampah. Setelah tiga bulan biasanya timbunan sampah bisa menjadi kompos. Menurut laporan Pikiran Rakjat pada 14 Juli itu sebuah lapangan terbuka di Pataruman Tarogong terdapat puluhan timbunan kompos. Jawatan Pertanian Garut menjual kompos per M3 sebesar Rp25.
Pemerintah Kota Besar Bandung mencari jalan agar sampah kota Bandung setiap hari pada 1955 sudah mencapai 10.000 M3 itu dimanfaatkan dan bukan hanya dibuang ke Astanaanjar bahkan kerap berserakan di lapangan terbuka di pojok-pojok kota . Padahal di dalam kota besar saja terdapat tanah perkebunan seluas 10.000 ha yang memerlukan pupuk sebanyak 8 ton dan harus didatangkan dari luar kota (Pikiran Rakjat, 1 Juli 1955).
Produksi susu di Bandung dan sekitarnya mengalami penurunan. Sebelum perang produksi bisa mencapai 10.000 liter per hari. Pada 1955 hanya sekitar 4600 liter. Pada 1955 ada sekitar 12 boerderij antara lain Pengalengan, lembang, Sukamiskin, Cimahi, dekat Isola dan dipusatkan di Bandungsche Melk Centre (BMC). Susu yang diproduksi di Bandung dikirim ke Jakarta, Cianjur, Sukabumi. Akiba turunnyanya produksi, sementara permintaan terus meningkat maka harga susu pun naik. Sebelum perang harga susu hanya 16 sen per liter sesudah itu naik Rp 380, naik lagi ke Rp 4,5 dan pada 1955 menjadi Rp 5 per liternya. Kesukaran produksi susu menurut GWH Pieters salah seorang Direksi BMC, disebabkan oleh semakin sulitnya mendapatkan makanan seperti rumput untuk sapi perah (Pikiran Rakjat, 9 Juli 1955).2
Namun masalah kesehatan yang menjadi perdebatan panas dalam sidang terbuka DPRDS Kota Besar Bandung adalah peternakan babi di dalam kota yang diibaratkan “membangunkan macan tidur”. Ceritanya beberapa pengusaha perternakan babi bernama Ho An Touw, Tjay Siang dan Kong Hwee meminta izin agar cukai kandang babi dibebaskan. Pemerintah Kota Besar Bandung menolak berdasarkan babi dihubungkan dengan keindahan kota.
Ko Kwat Oen dari Baperki mendukung pengusaha dengan alasan kandang babi harus bebas seperti kandang ternak hewan lainnya. Anggota dewan lainnya HS Judawinata dari Perindra dan Sasmita (PSII) mendukung soal pembebasan cukai, tetapi meminta peternakan babi mempertimbangkan sudut kesehatan dan keindahan kota. Menurut mereka kandang babi harus dipindahkan ke pinggir kali Citarum demi kesehatan dan keindahan kota.
Pihak yang menentang antara lain datang dari Wandi Darmawidjaja (PGII), Umar Suraatamadja (Masjumi) dan THW. Korompis dari Parkindo. Faktor keagamaan menjadi alasan agar pemeliharaan babi di dalam kota harus diatur ketat. Hasil cukai dari pemeliharaan babi sebesar Rp 65.000 per tahun juga merupakan hal yang menjadi perdebatan. Perdebatan di DPRD Kota Besar Bandung ini cukup sengit dalam minggu pertama Agustus 1955 (Pikiran Rakjat, 10 Agustus 1955).
Pada 5 hingga 11 September 1955 Kota Bandung kembali menjadi tuan rumah sebuah konferensi inetrnasional, yaitu Konferensi WHO Asia Tenggara yang diikuti oleh 10 negara, konferesensi ekdua kalinya di Indonesia . Dalam pidatonya pada hari pertama Menteri Kesehatan Indonesia waktu itu dr. Leimena mengharapkan konferensi ini memberikan jalan untuk mempertinggi mutu kesehatan rakyat di negara-negara peserta. Menurut Leimena perumahan pada waktu itu belum cukup termasuk soal masih banyaknya rakyat menjadikan sungai juga sebagai kakus (Pikiran Rakjat, 6 September 1955).
Sidang pertama WHO juga menjadikan dr. Saiful Anwar3 sebagai Ketua WHO Asia Tenggara. Konferensi membahas tentang pemberantasan penyakit malaria dan TBC yang masih menjadi masalah di negara-negara Asia Tenggara. Dalam konferensi itu terungkap bahwa di Indonesia penyakit paru-paru makin menjadi-jadi di daerah perkotaan daripada di desa-desa. Juga terungkap bahwa dua juta orang sudah disuntik untuk mencegah penyakit patek dan 14 juta orang diperiksa (Pikiran Rakjat, 7 September, 8 September dan 12 September 1955).
Irvan Sjafari
Catatan Kaki
1. Saya menemukan nama dr. Admiral Surasetja pada 1980-an menulis sejumlah buku antara lain buku Perkembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat Dasar Di Indonesia, diterbitkan di Jakarta oleh Bhatara Karya Aksara, 1988 dan Ilmu Penyakit Dasar, yang diterbitakan di Jakarta oleh Bhratara Karya Aksara, 1983.
2. Menurut catatan, pada tahun 1938 di wilayah Bandung terdapat 22 usaha pemerahan susu dengan produksi 13.000 liter susu perhari. Hasil produksi susu ini semua di tampung oleh BMC untuk diolah (Pasteurisasi) sebelum disalurkan kepada para langganan di dalam maupun di luar Bandung.Dengan sedikit sombong Direktur BMC menulis “Vergeet U niet, dat er in geheel Nederlandsch Oost-Indie slechst een Melk centrale is, en dat is de Bandoengsche Melkcentrale !” (“Anda jangan lupa, bahwa di seantero Nusantara ini cuma ada satu Pusat Pengolahan Susu, dan itu adalah Bandoengsche Melk Centrale!”). 
3. Tidak banyak sumber yang saya temukan tentang sosok bernama Dr. Saiful Anwar ini hingga naskah ini saya pos. pada 1955 itu dr. Saiful Anwar disebutkan sebagai Kepala IKES (Inspektur Kesehatan) Jawa Timur. Dia disebutkan tokoh yang meresmikan sebuah rumah sakit milik baptis di Kediri lihat http://rsbaptiskediri.com/?page_id=19. Diakses pada 18 Mei 1955. Informasi lainnya adalah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.97 1956 yang menyebutkan bahwa dr. Saiful Anwar dikirim sebagai sebagai slaah stau dari 5 perutusan Republik Indonesia untuk hadir di IXth Assembly dari World Health Organization selama 3 (tiga) minggu sejak 8 Mei 1956. Sumber diambil di http://dapp.bappenas.go.id/website/peraturan/file/pdf/KEPPRES_1956_097.pdf. Diakses pada 18 Mei 2013. Namanya diabadikan untuk sebuah rumah sakit di Kota Malang.
IRvan S

No comments: