Belanda Salah Perhitungan
Sesudah Perjanjian Renville
ditandatangani pada 15 Januari 1948, Pemerintah Kerajaan Belanda
kemudian mendirikan Negara Bagian di bekas wilayah Hindia Belanda yang
telah mereka kuasai kembali. Misalnya, di Pulau Jawa, mereka mendirikan
Negara Pasundan. Melalui Konferensi Federal di Bandung, Mei 1948,
dibentuklah Bijeenkost Federal Overleg (BFO) atau
Permusyawaratan untuk Negara-Negara Federal. Badan ini awalnya dipimpin
oleh Teongkoe Bahroen, tetapi kemudian diganti oleh Sultan Hamid II,
Wali Negara Borneo Barat. Sesudah BFO terbentuk, jabatan Letnan Gubernur
Jenderal dihapus dan diganti menjadi Hooge Vertegenwoordige van de Kroon (Wakil
Agung Mahkota). Dengan memakai sebutan baru tersebut, Belanda
mengharapkan bisa menghapuskan kesan “menguasai” melainkan sebagai
kantor perwakilan di Batavia untuk mengurus kepentingan Kerajaan Belanda
di bekas wilayah jajahannya. Jabatan ini diemban oleh Dr. I.J.M. Beel
(bekas Perdana Menteri Belanda), menggantikan Letnan Gubernur Jenderal
Dr. Hubertus Van Mook. Sosok Van Mook ini termasuk figur politik yang
disayangi oleh Ratu Juliana. Banyak konsep dan pidato politik Ratu
Juliana disusun oleh Van Mook sehingga memperoleh simpati dari Inggris
dan Amerika, terutama setelah Belanda diduduki oleh Nazi Jerman (1940)
dan kerajaan harus mendirikan pemerintah pengasingan di London, Inggris.
Wakil Mahkota Beel bersama-sama dengan Mr.
Elink Schurrman, Ketua Delegasi Belanda di Komisi Tiga Negara, dalam
Persetujuan Linggarjati (1946), termasuk politisi Belanda garis keras
yang kokoh hendak mempertahankan kolonisasi di Indonesia. Oleh sebab
itu, mereka selalu mengikuti saja langkah operasi militer yang diusulkan
oleh Panglima KNIL, Letnan Jenderal Simon Spoor.
Simon Spoor lahir di Amsterdam, Belanda
(1902) dan lulus dari Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda (1923).
Ia mengawali karir sebagai Letnan II KNIL di Batavia. Beberapa bulan
sebelum Jepang mendarat di Indonesia ia ditugaskan ke Australia di Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS).
Sejak bulan Januari 1944, dalam rangka persiapan pihak militer Belanda
untuk menguasai kembali Hindia Belandas etelah berakhirnya Perang Dunia
II, Kolonel Spoor diangkat sebagai direktur NEFIS. Awal Maret 1946,
dalam pangkat Letnan Jenderal, Spoor dilantik di Batavia sebagai
Panglima KNIL dan Kepala Departemen Perang Hindia Belanda.
Spoor adalah perwira militer yang berhasi
mempengaruhi kebijakan Beel dan Schurrman untuk menolak keterikatan
Belanda terhadap Perjanjian Reenvile. Spoor merencanakan menduduki
ibukota Republik Indonesia saat itu di Yogyakarta melalui operasi
militer. Operasi yang mengerahkan secara terpadu kekuatan angkatan
darat, angkat laut, dan angkatan udara disamarkan dengan “aksi
polisionil.” Menurut perhitungan Spoor, Yogyakarta harus dilumpuhkan
dengan sekali pukulan sehingga pemerintahan berikut seluruh kekuatan
Republik akan segera rontok ke tanah bagaikan “apel busuk.”
Dalam perhitungan Spoor lebih lanjut, jika
Yogyakarta dapat dilumpuhkan maka sekaligus akan menghentikan seluruh
perlawanan mengingat pasukan Republik yang sudah tercerai berai tidak
akan lagi memiliki pusat komandop. Rencana operasi militer itu
dilaksanakan pada hari Minggu, 19 Desember 1948, yang dalam sejarah
nasional kita kenal sebagai Agresi Militer II.
Mengapa serangan itu dilaksanakan pada 19
Desember 1948, menjelang peringatan Hari Natal? Menurut perhitungan
Spoor, hal itu dilakukan untuk mencegah perhatian internasional.
Hari-hari itu, anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sedang akan memasuki masa reses. Tetapi tidak sesukses “menyerang
Yogyakarta dengan sekali pukulan”, perhitungan Spoor meleset.
Secretariat Dewan Keamanan justru langsung membatalkan reses dan bahkan mengandedakan sidang darurat dengan topic “The Indonesian Question.”
Delegasi Belanda tidak bisa menolak hadir. Dalam memoranya, Schuurman
melukiskan saat itu,”..kami masuk ruang sidang Dewan Keamanan, bagaikan
seorang yang baru saja tertangkap basah karena melakukan pencurian.”
Saat itu anggota Dewan Keamanan terdiri atas
13 negara. Ke-13 negara anggota itu adalah Argentina, Kanada, Cina,
Kolumbia, Suriah, Inggris, Amerika Serikat, Belgia, Rusia, Prancis,
Ukraina, dan Norwegia. Karena markas PBB di New York belum selesai
dibangun, maka sidang Dewan Keamanan dilangsungkan di Paris, Prancis.
Baru sejak Januari 1949, sidang dapat dilaksanakan di Markas PBB di New
York.
Pada 25 Desember 1948, Dewan Keamanan PBB
berhasil menyerukan sebuah resolusi yang antara lain menyerukan segera
dihentikannya permusuhan Indonesia-Belanda, sembari memerintahkan Komisi
Tiga Negara (KTN) untuk mengirimkan laporan perkembangan keadaan di
Indonesia. Namun, pemerintah Belanda sama sekali tidak bereaksi terhadap
resolusi itu. Oleh sebab itu, Schuurman yang berada di Paris juga sama
sekali tidak bisa memberikan komentar.
Dengan demikian, perhitungan Spoor meleset. Dan sesudah merebaknya “The Indonesian Question” tersebut, Belanda akan menjadi bulan-bulanan negara-negara lain karena aksi militernya di Indonesia tersebut.
Mas Ishar
No comments:
Post a Comment