Buck: Ketika Amerika Memandang Korea Selatan

Tidak lama setelah kudeta militer di Korea Selatan (1961), Majalah Time mengungkapkan bahwa “Korea Selatan dan kekuatan ekonominya akan bangkrut dalam semalam jika pemerintah Amerika Serikat menarik seluruh bantuannya.” Pernyataan ini benar, dan pemerintah junta militer Korea begitu kecewa karena sikap beku Washington dalam menyambut perubahan politik domestik mereka.  Cemas jika bantuan dibekukan, maka pemimpin baru, Jenderal Chang Do-Yung, pergi ke Washington untuk “menjelaskan segala sesuatunya secara pribadi kepada Presiden John F. Kennedy.” Gedung Putih menolak rencana kunjungan ini dengan alasan “Presiden Kennedy sangat sibuk dalam mempersiapkan rencana kunjungannya ke Eropa.”
Sekalipun pemerintahan Kennedy tidak pernah secara resmi mengumumkan pemutusan hubungan dengan Korea Selatan, tetapi situasi ini telah menjadi rahasia umum. Dalam musim gugur tahun 1962, Gedung Putih mengundang dalam jamun makan malam kepada pemenang Nobel.  Sebanyak 49 undangan hadir, termasuk Peral Buck. Saat Kennedy dan Buck bercakap-cakap mengenai Asia, Presiden bertanya kepada perempuan  ini apa yang sebaiknya dilakukan Amerika terhadap Korea. Tanpa memberi kesempatan Buck untuk menjawab, Presiden mengatakan apa yang berkecamuk dalam pikirannya yaitu, “Saya kira kami akan pergi dari sana. Semua sudah terlalu mahal dan kami akan mengajak Jepang untuk menjalankan peran mereka di Korea.”  Buck, yang dikenal sebagai aktivis anti militerisme Jepang, terkejut dengan perkataan Kennedy yang dianggapnya “demikian mengabaikan sejarah dan politik Asia.” Sementara itu, menyambut sikap dingin Washington, pemerintah militer Korea, seperti dicatat oleh Time pada Oktober 1963, merayu rakyat Korea yang didera kelaparan dengan janji nasionalistik: menciptakan kemerdekaan yang lebih besar dari cengkeraman Amerika, dibandingkan mengusahakan bantuan pangan.
Seperti terjadi dalam banyak kejadian bersejarah, masalah suatu negara akan membuka kesempatan yang lain. Pembunuhan Kennedy (1963) memberikan kesempatan pemerintah Korea Selatan untuk memperbaiki hubungan bagi kedua negara. Park Chung-Hee mengirimkan pesan duka kepada Washington dan kemudian menemui Presiden yang baru, Lyndon B. Johnson. Sekalipun pemerintahan ini merupakan kelanjutan dari Kennedy, secara pribadi Johnson sungguh-sungguh berbeda. Presiden Johnson menaruh simpati terhadap kesulitan yang dihadapi oleh Korea Selatan. Dengan menunjukkan sikap yang dermawan, Johnson berasalan bahwa masalah Vietnam merupakan landasan untuk membantu Korea. Dalam tahun-tahun selanjutnya, Vietnam merekatkan hubungan diantara kedua negara dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Ulasan singkat tersebut menggambarkan bagaimanakah Amerika memandang Korea selama abad ke-20 sepanjang masa pemerintahan Johsnon. Sesudah Perang Korea, bahkan hingga pemerintahan Johnson, rakyat Amerika hanya mengenal sedikit dan tidak terlalu peduli terhadap Korea. Saat Johnson menjadi Presiden, kepentingan di Korea ditentukan oleh pertimbangan keamanan dan masyarakat Amerika memandang Korea tidak lebih dari kalangan yang tidak mampu dan lemah.
Jack London merupakan salah satu creator kesan Amerika terhadap “bumi matahari senja”, Korea. Ia tinggal di Korea sejak Februari 1904 untuk meliputi Perang Jepang-Rusia sebagai wartawan San Fransisco Examiner. Setelah beberapa minggu berada di Korea, London mengatakan,”minggu-minggu pertama berkeliling di Korea tidak ada yang dapat diceritakan kecuali para petani. Andaikata dia merupakan seorang laki-laki yang sensetif dalam pengaturan dirinya maka dia akan menghabiskan sepanjang waktunya untuk sesuatu yang menarik diantara dua hal yang mungkin diinginkannya. Pertama adalah membunuh orang Korea, kedua adalah bunuh diri. Secara pribadi saya lebih menyukai keinginan yang pertama. Tetapi sekarang saya mempertimbangkan secara wajar kebebasan dan mempunyai alasan-alasan yang cukup untuk tetap menikmati perjalanan ini.”
Sebagai pengelana yang datang dari negeri yang tertata London begitu sensitif terhadap apapun yang dia tahu dari penciuman, penglihatan, dan perasaan yang tidak pernah dia temui sebelumnya. Dalam sebuah surat kepada isterinya, Charmian, dan tajuk untuk korannya, London menuangkan perasaannya mengenai sesuatu yang tidak biasa bagi mata, hidung, dan lidahnya. “Suatu makanan yang aneh telah diberikan kepadaku”, tulisnya dalam surat di Februari 1904, “dan aku sungguh merasa seperti seekor sapi.” Aku berharap perutku sudi mengampuniku terhadap segala sesuatu yang telah kucecap—kotoran yang tidak dapat kutuliskan dengan apapun untuk mewakili keburukan yang tiap saat masuk ke dalam mulutku.” Dia melaporkan kepada masyarakat Amerika bahwa rakyat Korea begitu liar karena memakan daging anjing. “Mereka makan daging ajing tidak hanya saat lapar saja akan tetapi juga saat perut mereka membutuhkan kelezatan.”
Pengalaman London bergema sepanjang abad ke-20 dalam karya-karya Amerika mengenai Korea. Nelson Algren, yang pernah membual bahwa dia merupakan “penemu pertama cara penulisan esaay gaya Hemingway dalam rasa garam”, menuliskan pengalamannya dalam suatu perjalanan dari Seattle ke Calcultta. Kapalnya berhenti di Busan, sebuah kota pelabuhan di Korea, di mana Algren menghabiskan waktu malam dengan pelacur Korea, Po-Tin, seorang gadis yang dipukuli dan dirampok mucikarinya atas 10 dolar uang yang dimilikinya.
Jelaslah pengamat Amerika memandang Korea dengan perasaan superioritas diri mereka sendiri, yang disadari atau tidak, mereka telah mempunyai perasaan terhadap segala sesuatu yang terbilang tidak biasa. James Wade percaya bahwa temuan bias semacam itu merupakan “kemelaratan internal.” Tentu saja, tendensi semacam itu bukan hal yang khusus untuk kalangan Amerika. Pandangan itu menjadi bagian dari kebutuhan manusia untuk mendominasi satu sama lain, bagian dari sifat alami manusia.
Kames Michener, pengarang novel Tales of the South Pacific, yang ditulis pada 1953 saat Amerika melibatkan diri dalam Perang Korea mencantumkan kata-kata Korea dalam judulnya: The Bridges at Toko-ri (kata “ri” artinya satuan pemerintahan terkecil di Korea dan biasanya merupakan nama dari suatu desa). Dalam cerita ini, Korea hanya menjadi latar belakang untuk mencoba menarik  perhatian pembaca menikmati sesuatu yang bersifat eksotis. Faktanya, Michener, menulis buku itu tanpa mengadakan perjalanan ke Korea, yang menghasilkan gambaran umum mengenai semenanjung Korea. Dalam novel ini, dalam misi untuk menghancurkan jembatan di desa Toko, sosok pahlawan, seorang pilot belia, tertembak jatuh.  Dia melihat Korea, baik komunis maupun sipil. Tetapi mereka tidak melakukan kontak humanis, hanya saling bertukar peluru. Korea hanya merupakan ruang di mana ideologi Amerika dan komunisme bergelut, bukan tempat nyata dari manusia. Akhirnya, sosok pahlawan ini terbunuh dan tewas di medan laga yang tidak diketahui dengan pasti.
Tulisan Pearl Buck lebih substantif dibandingkan Michener dan tidak terlalu bias dalam memandang Korea, dalam pengertian mempunyai rasa yang lebih positif, dan bukan negatif seperti karya London dan Algren. Buck mempunyai simpati yang besar terhadap Korea.  Di awal tahun 1942, perempuan ini menuntut kemerdekaan Korea dari Jepang. Dia dikenal di Korea sebagai pemenang Nobel kesusasteraan. Perhatian dan kesempatan berkunjung ke negeri ginseng ini telah menambah popularitasnya.
Tidak seperti novel The Good Earth (1931) yang menunjukkan keyakinan Buck yang luas mengenai kehidupan orang-orang China, dia menulis Korea secara dangkal dan klise. Dalam novel The Living Reed (1963), berisi sejarah terbaru mengenai Korea yang terangkum dalam fiksi. Kisah itu mencakup saat penandatanganan perjanjian Amerika-Korea mengenai perdamaian, persahabatan, dan pelayaran yang diteken pada 1882-1945, saat prajurit Amerika tiba di bagian selatan semenanjung Korea. Buku ini memulai dengan tulisan,” Korea merupakan permata dengan orang-orang yang terhormat.”  Versi Buck mengenai Korea dan orang Korea terkesan simpatik, secara tegas lebih realistic dibandingkan pandangan awal yang berkembang di masa itu.
Para pengamat Amerika secara umum setuju bahwa “The Living Reed tidak lebih Korea dibandingkan The Good Earth.” Richard Rutt, seorang missionaris di Korea, yang memahami benar tradisi kebudayaan Korea, menyebut novel itu tidak lebih sebagai “ketel uap.” Dia mencatat perbedaan antara gambaran Buck dengan fakta yang dialaminya, dengan membandingkan penulis perempuan sebagai “seorang manusia yang mengunjungi sebuah negara hanya selama seminggu dan kemudian pulang ke tanah airnya untuk menulis sebuah buku.” Tetapi Rutt memprakirakan bahwa sekalipun nilai sastranya rendah, mengingat Buck merupakan peraih Nobel dan buku itu menjadi buku yang pertama mengenai Korea, maka secara komersial buku itu akan tetap laris di Korea.
Pada awal tahun 1960-an, kenyataan bahwa Korea telah menjadi perhatian utama penulis Amerika dan diantara penulis itu adalah sosok yang dikenal di dunia seperti Pearl Buck, meyakinkan para pembaca Korea, bahwa Korea telah menjadi pilihan luar negeri yang penting, khususnya bagi Amerika dan Jepang.
Seorang pengajar di Seoul National University, Chang Wang-rok, secara antusias memperkenalkan buku karya Buck ke orang-orang Korea. Dia tidak hanya menterjemahkan buku itu, akan tetapi juga menyanjungnya. Chang mencoba menangkis kritikan Rutt bahwa Buck hanya sedikit berpengalaman di Korea dengan membandingkan bahwa Stephen Crane dapat menyajikan sebuah novel peperangan “tanpa mencium aroma amunisi.” Chang memuji The Living Reed karena novel ini telah menarik perhatian pembaca di seluruh dunia. Suatu hal yang tidak perlu dipertanyakan kembali.
Dan, sebagaimana dikemukakan oleh penulis biografi Buck, Peter Conn, bahwa “salah satu tujuan yang hendak dicapai Buck adalah menulis mengenai sebuah negara dan kebudayaannya yang belum diketahui masyarakat Amerika.” Buck dianggap sebagai reformis. Saat dia berkunjung ke Korea dalam tahun 1960-an, dia sering ditemui oleh penduduk Korea yang merupakan “mixed race children” dengan Amerika dalam kondisi yang mengenaskan. Untuk menarik perhatian masyarakat Amerika mengenai posisi mereka, Buck menerbitkan buku untuk kanak-kanak berjudul Matthew, Mark, Luke, and John (1966). Keempat anak laki-laki itu lahir dari seorang ayah Amerika dan seorang ibu Korea, mempertahankan kehidupan mereka dari kekerasan jalanan dan berteduh di bawah jembata.  Tetapi FBI merampas salinan buku tersebut dengan tudingan, “buku tersebut bersifat subversif, bukan hanya menyajikan kritik terhadap keberadaan militer Amerika di Korea, tetapi juga nama-nama yang dipakai sebagai judul adalah nama-nama yang ada dalam Kitab Suci.”
Pada tahun 1967, Buck membuka the Pearl S. Buck Opportunity Center di Sosa, Korea Selatan untuk menampung para perempuan yang melahirkan anak-anak dengan ayah tentara Amerika, mendidik anak-anak mereka, dan mencoba mengupayakan pekerjaan. Dia melanjutkan kampanye mengenai Korea dan menulis buku In the New Year (1968). Dalam buku ini, dia mencoba menarik rasa tanggung jawab terhadap anak-anak dari rakyat Amerika. Buku ini mengisahkan Christopher Winters, seorang prajurit Amerika yang dikirim saat pelayaran dan kemudian bertemu dengan perempuan bernama Soonya, yang lalu hubungan itu melahirkan seoran gbayi. Chris menolak membawa keduanya ke Amerika. Ketika pulang ke tanah airnya, Chris menikah dengan Laura. Chirs, yang lalu menjadi pengacara usai pendidikan di Harvard University, menikmati kebahagiaan dengan perkawinan itu dan kemudian sukses menjadi politisi. Sepucuk surat dari anaknya di Korea telah menghidupkan kembali masa lalunya. Dia sadar bahwa tak pernah bisa menghindarkan diri dari realitas bahwa anaknya mengalami kemiskinan dan penyangkalan di masyarakat Korea. Dia lalu berterus terang dengan Laura mengenai apa yang terjadi di Korea. Mereka memutuskan untuk membawa anak laki-laki itu ke Korea dan Laura pergi ke Korea untuk menjemputnya.
Melalui peran Laura, Buck menunjukkan bagaimana suram dan dimusuhinya anak hasil kawin campur seperti itu. Buck telah berhati-hati dengan tidak begitu saja mengeneralisasi semua itu dilakukan oleh orang Korea.

Mas Ishar

No comments: