Faktor Asia dan Cikal Bakal Kolonialisme

Kalau mempelajari sejarah nasioal Indonesia, khususnya menyangkut isu sejak kapankah Nusantara mulai memperoleh pengaruh dari asing, khususnya Eropa, yang kemudian dikenal sebagai penjajah, nampak bahwa fokus pembahasan diletakkan pada pandangan yang bersifat Eropa sentries. Sehingga suatu kesimpulan kemudian mengemuka, akibat pelayaran bangsa-bangsa Eropa untuk mencari sumber rempah-rempah hingga ke Asia, termasuk ke “Hindia Timur” atau Indonesia, maka titik kontak itu mulai terjalin. Padahal dalam sudut pandang lain, terdapat jaringan-jariangan lain yang sudah ada sebelumnya dengan peran sejarah yang penting juga yang dilakukan oleh bangsa Asia sendiri. Apalagi legenda bahwa Indonesia adalah bangsa bahari, maka tidak urung amat sulit untuk melepaskan jaringan pelayaran dan perniagaan Nusantara sebagai faktor penentu dalam memperoleh pengaruh dari Eropa tersebut.
Setidaknya sejak awal abad Masehi di Kepulauan Nusantara terjadi proses global yang didukung dengan perkembangan teknologi transportasi pelayaran antarkawasan, serta digunakannya bahasa serumpun menjadi bahasa perantara (lingua franca) bagi alat komunikasi antarkomunitas di Nusantara. Berdasarkan bukti lingusitik, dapat diketahui bahwa rumpun bahasa Austronesia merupakan bahasa terbesar yang digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, dari Madagaskar di pantai Barat Afrika hingga Pulau Paskah di Oseania Timur serta dari Formosa dan Hawaai di Pasifik Utara hingga Selandia Baru di Pasifik Selatan. Rumpun bahasa Austronesia beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat serta digunakan oleh lebih dari 270 juta penutur, demikian antara lain pernah dikemukakan oleh Darell Tryon dalam sebuah publikasi yang berjudul Proto-Austronesian and The Major Austronesian Subgroups dan diterbit di tahun 1995. Seorang peneliti yang bernama Robert Bhust berhasil mengkonstruksi kosa kata bahasa Austronesia yang berhubungan dengan teknologi perkapalan, navigasi, biota, serta lingkungan yang berumur hingga 3500 SM. Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Asian Perspektive No. 26 dalam artikel yang berjudul The Austronesian Homeland: The Language Perspective, yang terbit 28 tahun lampau. Peneliti lain yang bernama Clifford Sather pada tahun 1995 memberikan informais bahwa dari bukti etnografi masih dijumpai beberapa etnis tradisional di Kepulauan Nusantara yang mempertahankan tradisi pelayanan perdagangan jarak jauh antarkawasan seperti Sama-Bajau dan Bugis-Makassar.
Perkembangan faktor komunikasi dan transportasi mendorong terjadinya proses global yang diikuti dengan meningkatnya arus pelayaran perdagangan jarak jauh, sehingga membentuk jaringan antarkawasan yang melibatkan Mediterania, Asia Barat, Sub Kontinental India, Asia Tenggara Kepulauan, Asia Tenggara Daratan, dan Cina. Menurut Mathew Springgs dalam tulisan yang berjudul Out of Asia: The Spread of Souteast Asian Pleistocene and Neolotic Maritim Culture in Island and the Western Pasific dan terbit 13 tahun yang lalu, bukti yang mengindikasikan hal tersebut adalah temuan cengkeh di Terqa, Euphrates Timur Tengah yang berumur 3500 SM, mata uang kekasian Romawi Barat Victorinues (268-270 SM) di Uthong, Thailand Barat; bekal kubur koin Cina dan manic-manik Carnelian di Uttamdi, Maluku Utara yang berumur 2300 SM, dan gerabah Rouletted Indo-Roman di situs Buni, pesisir Jawa Barat. Beberapa temuan arkelogi itu mengindikasikan adanya interaksi langsung antarkawasan yang letaknya sangat berjauhan; dari Eropa ke Cina lewat Kepulauan Nusantara. Walaupun hal itu tidak membuktikan adanya interaksi langsung antarkawasan, tetapi minimal menunjukkan adanya jaringan luar yang menghubungkan beberapa wilayah di Eropa, Asia Barat, Kepulauan Nusantara, dan Cina.
Melalui jaringan perdagangan-pelayaran tersebut, hasil bumi dari Kepulauan Nusantara mulai diperkenalkan ke Barat seperti rempah-rempah, fauna eksotis, serta berbagai kayu-kayuan yang langka. Sebaliknya, barang-barang dari Barat masuk ke Kepulauan Nusantara seperti logam, manik-manik, perhiasan batu hijau (jade). Menurut Daud Aris Tanudirjo dalam tulisan yang berjudul Sejarah Budaya Indonesia dalam Perspektif Proses Global, di Nusantara terdapat 2 jaringan perdagangan yang agak berbeda. Satu jaringan meliputi wiayah Filipina Selatan, Sabah, Sulawesi, dan Maluku Utara (mungkin juga Papua Barat), sedangkan jaringan yang lain melibatkan Sumatera, Semenangjung Melayu, Kalimantan Selatan dan Barat Laut, Jawa, Sunda Kecil dan mungkin wilayah pesisir selatan Papua Barat. Jaringan yang kedua inilah yang menjadi jalur utama peredaran pengaruh kebudayaan dari luar (India, Cina, Timur Tengah, Eropa) di Nusantara.
Oleh sebab itu, sejak tahun 1934, J.C. van Leur menonjolkan betapa kuatnya lalu lintas perdagangan sebelum kedatangan bangsa Eropa di Kepulauan Nusantara. Tetapi gagasan ini baru dikenal sekurang-kurangnya 20 tahun kemudian dengan terbitnya terjemahan tulisan-tulisannya ke dalam Bahasa Inggris. Informasi senada, seperti pentingnya kantor perwakilan dagang Portugis di Malaka, dikemukakan dari hasil suntingan Armando Cortesao terhadap naskah Suma Oriental karya Tome Pires di Perpustakan Parlemen Prancis. Namun, seperti diakui oleh Denys Lombard dalam buku Jaringan Asia, bahwa “kajian mengenai sejarah ekonomi dan sosial Asia Tenggara sebelum kedatangan bangsa Eropa tetap sedikit jumlahnya, dan kalaupun orang suka menonjolkan kebesaran-kebesaran kerajaan agraris, peran perdagangan dan kaum pedagang kurang sekali digambarkan.”
Dalam Seminar Sejarah Nasional yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Agustus 1970,kurun waktu 1500-1800 (3 abad) masih juga ada pandangan dari pakar bahwa masa itu termasuk “zaman kolonial” atau “zaman VOC.” Namun kemudian ada perubahan. Karya induk dalam mempelajari sejarah nasional seperti 6 jilid Sejarah Nasional yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975, terutama dalam Jilid III, ada bab khusus tentang Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Dengan demikian, ada kesan mengakui pentingnya jaringan-jaringan Islam yang timbul diantara zaman kerajaan-kerajaan berpengaruh sebelum munculnya sistem kolonial itu sendiri.
Denys Lombard dalam karangan di atas, sudah tegas berpesan agar kita tidak terbuai dengan kemampuan pelayaran Eropa yang menemuka jalur perdagangan ke Kepulauan Nusantara karena “keunggulan orang Barat di bidang pelayaran ataupun persenjataan.” Hal ini karena justru pedagang-pedagang Asia yang menjadi pemandu untuk menunjukkan jalan menuju penemuan tersebut. Senjata api sendiri sudah dikenal di Asia sejak periode Mongol, dan kemudian disebarluaskan dengan perantaraan teknisi Turki dan Cina, maupun ahli-ahli Eropa yang lain.
Antara abad ke-15 dan 16, kaum pedagang Eropa justru terlibat konflik dan pertentangan sengit satu dengan yang lainnya, bahkan beberapa diantaranya saling berperang secara kejam. Sulit dimengerti dalam periode tersebut kaum pedagang Eropa tetap bisa bersaing dengan kalangan pedagang Asia, dan bahkan berhasil mengembangan jaringan perdagangan mereka.

mas Ishar

No comments: