Gubernur Jenderal yang Misterius
Jan
Pieterszn Coen merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4. Di
kalangan orang Jawa, dia dipanggil “Murjangkung”. Konon orangnya tinggi
besar, jangkung dalam istilah Bahasa Jawa. Legenda tentang Coen
berhubungan dengan percobaan serangan prajurit Mataram atas perintah
Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Coen
lahir pada Januari 1587 di Horrn, Belanda, sebagai putra seorang
pedagang yang beragama Protestan. Saat berusia 13 tahun, ia pergi ke
Roma untuk mempelajari sejarah dan keterampilan berdagang. Sesudah
kembali ke Belanda tahun 1606, dia bekerja di perusahaan dagang Hindia
Belanda, VOC, sebagai pegawai yunior dan menghabiskan waktunya untuk
peranan yang lebih besar di Asia. Dia menjadi pegawai senior dan
pemeriksa pembukuan tahun 1613. Tahun 1619 ia ditugaskan menjadi
Gubernur Jenderal untuk 2 kali masa jabatan: 1619-1623 dan 1627-1629.
Dalam masa tugasnya itu ia harus
berurusan dengan Inggris dan Pangeran Jayakarta setelah ia mendirikan
Batavia. Antara 1623-1627 dia kembali ke Belanda. Ia menikah, kemudian
terus menerus membangun mimpi mengenai kolonialisme dan perselisihannya
dengan Inggris. Dia sendiri meninggal dunia karena terserang disentri
saat bertugas kembali di Batavia pada tahun 1629.
Menengok
kuburannya yang megah tak ayal Coen diakui sebagai tokoh besar dan
termasuk pegawai kerajaan yang terkenal. Misteri di mana ia dimakamkan
menghasilkan karya ilmiah dalam 2 jilid yang terbit tahun 1930-an.
Banyak usaha untuk mencari di mana lokasi pemakannya. Tetapi lepas dari
segala usaha secara intelektual dan kerja arkeologis, suatu identifikasi
positif terhadap serpihan tulang yang ditemukan telah memberikan
analisis kemungkinan yang “agak pasti.” Penemuan ini, tetap tidak
menyakinkan beberapa pengarang karena tidak dapat merekonstruksi kembali
sosok Coen. Beberapa pengarang bahkan mendiagnosis Coen sebagai sosok
yang mengalami lepotosomatik, atau bahkan orang yang menderita austik.
Tetapi selain kondisi fisik dan kesehatannya, kajian terakhir menyajikan
suatu pertanyaan apakah Coen layak diberi gelar pahlawan nasional.
Ketenarannya tidak diragukan, tetapi reputasinya ternoda hanya oleh
beberapa blunder dalam karirnya tersebut. Penaklukan Coen atas Kepulauan
Banda (1621) telah menghasilkan kritik yang keras diantara sejumlah
persoalan penting mengenai pelayaran.
Perdebatan
mengenai kepahlawanan Coen tidak hanya sebatas di Belanda. Hal serupa
menimpa sosok Vasco da Gama dan Columbus di Spanyol dan Portugal. Bukan
hanya letak makammnya di Belem dan Serville saja, tetapi debat apakah
kemampuan mereka “menemukan dunia lain” merupakan tindakan patriotik
atau tidak. Ketenaran Coen tidak tertutup sehubungan dengan publikasi di
tahun 1930-an dan era pasca kolonial. Diantara 2 monumen yang
didedikasikan untuk mengenang Coen di Batavia, hanya satu yang tersisa,
terletak di sudut yang tersembunyi di kompleks Museum Wayang, Jakarta
sekarang, dengan sebuah tanda situs dari Gereja Reformasi Belanda.
Monumen tersebut berupa sebuah prasasti yang merapat pada dinding yang
mengisahkan di mana Coen dimakamkan. Surat menyurat yang dilakukannya,
yang terkumpul sampai 600 halaman, mewariskan kepada kita suatu
peninggalan terakhir, yang sejauh ini menjadi satu-satunya sumber
biografi utama yang telah diterbitkan.
Biografi
semacam itu hanya sedikit tersedia dalam sejarah kolonialisasi Belanda.
Diantara 33 Gubernur Jenderal yang pernah bertugas di Hindia Belanda,
terutama yang di bawah naungan VOC (1610-1796), hanya 4 yang mempunyai
biografi dalam susunan yang lengkap. Kecilnya jumlah biografi ini dapat
dikatakan karena pengaruh Calvinisme di Belanda atau untuk mengamankan
kepentingan kebijakan kolonial. Banyak
pengarang yang mengatakan bahwa derajat moral dan profesionalisme
diantara Gubernur Jenderal yang ditugaskan tersebut rendah, yang baru
saja terdidik dalam tingkatan yang rendah dan menjadi arsip VOC,
sementara mereka yang berasal dari kalangan kelas atas, ditugaskan di
daerah tropis hanyalah karena nasib sial atau untuk menutupi aib
keluarga saja.
Coen
memperoleh tempat yang membanggakan dalam rintisan penjajahan Belanda
di Asia. Sejak permulaan abad ke-18, para pengarang merasa membutuhkan banyak
lembaran halaman untuk membubuhkan riwayat hidupnya, dibandingkan para
Gubernur Jenderal yang lain. Belanda sendiri mengambil namanya untuk
pemberian nama banyak ruas jalan. Dari sekitar 807 ruas jalan yang ada
setelah penjajahan Hindia Belanda, sebanyak 25 diantaranya ditandai
dengan nama Coen. Jumlah ini termasuk luar biasa dan menunjukkan tingkat
kepopuleran yang tinggi, di samping nama Abel Tasman dan Cornelis de
Houtman. Nama Coen juga
diabadikan dalam tiap peringatan penjajahan dan sebaagi nama gedung di
Amsterdam. Bahkan jalur pelayaran antara Amsterdam ke Batavia seringkali
ditunjuk sebagai “Jalur Coen.”
Coen memperoleh penghormatan
yang membanggakan selama periode kolonialisasi, khususnya di akhir abad
ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, seiring dengan kesulitan Belanda
dalam menaklukkan Aceh selama dekade terakhir abad ke-19. Belanda merasa
perlu menampilkan kenangan akan sosok yang kuat untuk menghibur diri
dari kegagalan penaklukkan itu.
Coen
banyak melakukan surat menyurat. Coen mempunyai gaya yang khas dalam
surat menyurat tersebut dan kemampuannya untuk berterus terang dalam
menyusun suatu ungkapan diakui hingga sekarang, seperti ungkapan Daar kan iets groots verricht worden (pencapaian besar akan dapat diraih), daeromme moet men geen couragie verliesen (meskipun
kematin sudah sampai di mulut kita, namun kita jangan sampai kehilangan
keberanian), tetapi sebagian besar surat menyurut, baik yang ditulis
maupun dikirimkan kepadanya, menunjukkan ketimpangan dalam karirnya.
Sedikit diketahui untuk 27 tahun kehidupan pertamanya, termasuk
pendidikan yang diperolehnya di rumah (homeschooling),
kiprahnya di Roma, dan perjalanan pertamanya ke Asia. Orang hanya dapat
menduga pengaruh kehidupannya sepanjang dia berada di Roma (1600-1606)
yang menumbuhkan sikapnya sebagai penganut Calvinisme muda seperti Coen. Problem
yang tidak terkuak juga mengenai peningkatan kariernya di VOC. Apakah
hal itu karena kapasitas diri pribadi atau adakah faktor-faktor lain
yang terlibat? Apakah kepribadian dan kualitas profesionalnya sedemian
luar biasa dalam karir tersebut? Bahkan, yang menakjubkan apakah mungkin
Coen sendiri yang merancang strukturisasi kembali organisasi VOC
ataukah dia hanya meneruskan saja kebijakan sebelumnya?
mas Ishar
mas Ishar
No comments:
Post a Comment