Iktibar dari Sang Khalifah

DIKISAHKAN bahwa suatu ketika pada hari raya umat Islam, anak perempuan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis yang masih kecil kala itu, menemui ayahandanya sambil menangis. Anak ini ditanya oleh ayahandanya: “Apa yang membuat kamu menangis?”. Anaknya menjawab: “Semua anak memakai pakaian baru, sedangkan saya anak Amirul Mukminin hanya mengenakan pakaian lama”. Umar terpengaruh karena tangisan anaknya itu.

Kemudian, ia pun pergi menemui penjaga Baitul Mal, seraya berkata kepadanya: “Apakah kamu mengizinkanku untuk mempergunakan gaji bulan depanku?” Lalu penjaga tersebut bertanya: “Untuk apa wahai Amiral Mukminin?” Umar Ibn Abdul Azis menceriterakan perihal anaknya itu kepadanya.

Lantas, si penjaga Baitul Mal tersebut berkata: “Tidak masalah, tapi dengan satu syarat.” Umar menyahut: “Apa syaratnya?” Penjaga itu menjawab: “Hendaknya Anda dapat memberi jaminan kepadaku bahwa Anda akan tetap hidup sampai bulan depan, sehingga Anda dapat bekerja dengan upah yang akan Anda pakai terlebih dulu”.

Mendengar syarat itu lantas Umar pergi dan kembali menjumpai anaknya. Beliau ditanya oleh anak-anaknya: “Apa yang telah ayah lakukan?” Beliau menjawab: “Apakah kalian bisa bersabar sehingga kita bisa masuk surga bersama-sama, ataukah kalian tidak bersabar sehingga ayah kalian masuk neraka?” Mendengar jawaban ini anak-anaknya menjawab, “Kami bersabar wahai ayahanda”.

 Konsistensi iman
Kisah tentang kebijaksanaan dan keteguhan Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz di atas menyampaikan beberapa hal penting kepada umat Islam: Pertama, konsistensi iman seseorang akan senantiasa diuji oleh Allah swt sebagaimana firmanNya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta.” (QS. al-`Ankabut: 2-3).

Firman Allah swt di atas menegaskan bahwa keimanan seseorang tidak akan dibiarkan Allah terucap dari mulutnya saja. Sebagai satu-satunya Dzat Yang Maha Kuasa atas segalanya di alam semesta raya ini, Allah swt berhak memberikan ujian-ujian sesuai iradahNya. Bisa saja Dia menguji manusia dengan hal-hal yang menyenangkan dan membuat hatinya gembira (baik secara material maupun nonmaterial) dan bisa saja Dia memberikan ujian berupa hal-hal yang tidak menyenangkan dan membuat hatinya terluka (baik secara material maupun non material). Dari ujian-ujian inilah kemudian akan terseleksi mana orang-orang yang beriman dengan sepenuh jiwa raga, mana yang hanya beriman di mulutnya saja, dan mana yang benar-benar berpura-pura dalam keimanannya.

Kedua, iman adalah senjata ampuh untuk memerangi korupsi. Di dalam kisah Umar bin Abdul Aziz di atas terlihat bahwa godaan untuk melakukan kemaksiatan tidak hanya datang dari orang yang jauh, akan tetapi justru dari orang-orang terdekat dalam konteks hubungan kekeluargaan, yaitu dari anak. Bisa jadi dalam konteks yang lebih luas, godaan untuk melakukan kemaksiatan adalah datang dari isteri/suami, serta saudara-saudara kandung sendiri. Tentu saja ini bukan godaan yang ringan. Sebab pasti seseorang akan dilanda rasa bersalah, rasa tidak enak, tidak nyaman dan lain sebagainya bila tidak memenuhi keinginan orang-orang terdekat meskipun tahu bahwa itu adalah berisiko dosa.

Banyak contoh fakta-fakta sosial yang menunjukkan hal di atas. Ada yang tanpa disadari telah menelikung hak orang lain ketika anaknya dimasukkan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau tenaga honorer pada lembaga tertentu. Padahal, dari segi persyaratan bisa dikatakan tidak layak karena ada orang-orang lain yang lebih layak dan lebih memenuhi syarat. Ada pula orang yang dengan teganya mengemplang uang negara hanya karena gaya hidup sang isteri/suami selalu tidak pernah merasa tercukupi. Kasus-kasus sosial seperti ini adalah bagian kecil dari kasus-kasus lain yang tentu saja begitu banyak bermunculan dengan modus yang berbeda-beda.

Ketiga, kisah Umar bin Abdul Aziz di atas menegaskan bahwa keluarga adalah satu pilar utama dalam menangkal kemaksiatan. Dalam konsep pendidikan, sekolah dan masyarakat memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan sama-sama penting, akan tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah peran pendidikan dalam keluarga.

Alasannya sederhana, dikarenakan keluarga adalah lembaga sosial terkecil di mana seseorang dilahirkan, tumbuh dan berkembang, serta lebih banyak menghabiskan waktunya berinteraksi dalam aktivitas keseharian dibandingkan sekolah dan masyarakat. Karena itu, proses pembentukan karakter dan keimanan seseorang tentu tidak akan lepas dari nuansa pendidikan yang berlangsung di dalam keluarga.

 Pandangan bersama

Dari kisah Umar bin Abdul Aziz di atas tergambar bahwa antara beliau dengan anak-anaknya terdapat kesepahaman untuk menjadikan keimanan sebagai pandangan bersama. Saat mendapatkan kenyataan bahwa ayahnya tidak dapat memenuhi hasrat mereka untuk membeli baju baru, maka mereka menerimanya dengan lapang dada. Mereka tidak menggugat sang ayah karena mereka sadar ada konsekuensi logis yang akan diterima ayahnya di akhirat kelak, jika mereka memaksakan keinginan mereka.

Hal ini sebagaimana pula dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as saat diuji oleh Allah swt untuk menyembelih Ismail as, anak kandungnya sendiri. Ismail secara mengejutkan menjawab bersedia untuk dieksekusi oleh ayahandanya demi memenuhi perintah Allah swt, seraya menambahkan bahwa ia akan senantiasa sabar dan tabah sebagaimana firman berikut ini:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu. Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102).

Di sini, kekuatan iman (the power of iman) sekali lagi memainkan perannya yang signifikan. Kalau bukan karena kekuatan iman, sudah bisa dipastikan Ibrahim dan Ismail tidak akan menuruti perintah Allah swt, demikian pula Umar bin Abdul Aziz dan anak-anaknya. Semoga kita diberikan kekuatan untuk selalu konsisten dalam keimanan, karena keimanan adalah senjata terbaik yang akan mengantar kita pada jalan yang diridhaiNya. Amin!

* Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S
, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: awidya09@gmail.com

No comments: