Kebenaran Ahmadiyah Menurut Perspektif Sosio Politik Religius ? Tanggapan untuk Anindya Gupita Kumalasari
Saya sengaja membuat judul yang sama dengan tulisan yang dibuat Anindya Gupita Kumalasari. Namun di tulisan ini saya bubuhkan tanda tanya sebagai bentuk tanggapan terhadap point-point yang disampaikan Anindya.
Ada beberapa point yang perlu dikritisi dari tulisan Anda.
Beberapa point yang lain saya sependapat dan menyetujuinya. Saya
berangkat terlebih dahulu dari point-point yang sama-sama kita sepakati.
Saya sepakat dengan Anda perihal radikalisme agama telah menjangkiti
masyarakat sebagai akibat sarkasme terhadap paham yang berlawanan. Saya
pun sependapat dengan Anda, kekerasan
atas nama agama tidak pernah dibenarkan, tidak hanya dari sudut toleransi, bahkan tidak dari sudut ajaran Islam, ajaran yang sering dijadikan sandaran kelompok-kelompok radikal. Pemahaman radikal atau fundamental, menurut hipotesa Karen Armstrong merupakan salah satu produk modernisasi.
atas nama agama tidak pernah dibenarkan, tidak hanya dari sudut toleransi, bahkan tidak dari sudut ajaran Islam, ajaran yang sering dijadikan sandaran kelompok-kelompok radikal. Pemahaman radikal atau fundamental, menurut hipotesa Karen Armstrong merupakan salah satu produk modernisasi.
Nah, sekarang adalah point-point yang perlu dikritisi. Dari awal Anda menegaskan bahwa artikel Anda tersebut “mencoba
untuk merefleksikan kebenaran sesuai dengan pandangan sejarah tanpa ada
maksud apapun kecuali meluruskan hal-hal yang telah disalahpahami oleh
publik.” Wah, andai saja apa yang diniatkan Anda memang sesungguhnya, tentu tidak perlu ada tanggapan ini. Saya juga bisa mengatakan, tulisan saya ini mencoba meluruskan kesalah pahaman Anda tentang sejarah Ahmadiyah. Jadi sebelum meluruskan kesalah pahaman publik, ada baiknya, meluruskan kesalah pahaman Anda terlebih dahulu.
Pertama, referensi sejarah mana yang dipakai sehingga Anda bisa berkesimpulan bahwa Ahmadiyah merupaksan salah satu produk ajaran Islam politis buatan Inggris ? Selepas Kerajaan Moghul India, posisi kaum Muslimin sangat mundur.
Mereka teraniaya oleh kelompok Hindu radikal dan kaum Sikh radikal.
Karena meski jumlah mereka puluhan juta, posisi kaum muslimin di
Hindustan adalah minoritas. Pertumpahan darah di antara
kelompok-kelompok agama ini semakin hari semakin parah. Kedatangan
penjajah Inggris bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, Inggris
merupakan penjajah yang menghisap sumber daya India. Di sisi lain,
kedatangan Inggris mendatangkan stabilitas di negeri ini. Dengan
datangnya Inggris, ekskalasi konflik di antara beragam agama di India
relatif dapat diredam. Kaum muslimin dapat lebih aman menjalankan
keyakinannya. Kondisi kemunduran kaum muslimin, dan konfliknya dengan elemen Hindu dan Sikh dapat Anda baca di buku “Pembaharuan dalam Islam” karya Harun Nasution (Cet 9.1992).
Kedua,
persoalan keyakinan akan datangnya Al-Masih, Imam Mahdi, dan Nabi Isa
di akhir zaman adalah salah satu aqidah yang dipercayai mayoritas umat
Muslim (begitu pula di Indonesia, lihat Kumpulan Masalah-Masalah Dinayah, dalam Mu’tamar NU ke 1 s.d ke-7).
Dan kepercayaan ini juga diyakini penganut agama lain dengan penamaan
yang berbeda. Jadi, kepercayaan ini bukan ciptaan Ahmadiyah, apalagi
ciptaan Inggris. Lantas, apa pula kepentingan Inggris dengan hadirnya
Imam Mahdi ? Mahdi Sudan (Muhammad Ahmad bin Abdullah) pada 1885 masehi saja sudah membunuh Jenderal Charles Gordon bersama ratusan pasukan
Inggris di sana, lantas, apa perlunya menciptakan sosok Imam Mahdi di
India yang akan mendatangkan kerugian buat pihak Inggris sendiri ?
Sungguh aneh logika Anda
Ketiga,
sebelum pengakuan Mirza Ghulam Ahmad (MGA) sebagai Imam Mahdi, beliau
sudah terlebih dahulu terkenal sebagai cendekiawan Islam. Jadi bukan
seperti yang anda katakan, “banyak
orang awam terpesona dengan trik dan teknik MGA meyakinkan para penganut Muslim di India. Apa yang dilakukan MGA selalu berlatar intelektual, bukan klenik atau takhayul. Beliau menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah yang isinya membela Islam dan Nabi Muhammad Saw. Dalam tahun 1880 masehi, beliau menerbitkan sebuah kitab yang berjudul “Barahin Ahmadiyah.” Kitab ini banyak mendapatkan pujian, bahkan dari ulama-ulama India pada waktu itu.
orang awam terpesona dengan trik dan teknik MGA meyakinkan para penganut Muslim di India. Apa yang dilakukan MGA selalu berlatar intelektual, bukan klenik atau takhayul. Beliau menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah yang isinya membela Islam dan Nabi Muhammad Saw. Dalam tahun 1880 masehi, beliau menerbitkan sebuah kitab yang berjudul “Barahin Ahmadiyah.” Kitab ini banyak mendapatkan pujian, bahkan dari ulama-ulama India pada waktu itu.
Keempat, tuduhan bahwa
Ahmadiyah menanggalkan Jihad. Ketika makna jihad dikerdilkan seakan-akan
menjadi perlawanan dengan mengangkat senjata, maka memang Ahmadiyah
tidak melakukan itu. Medan jihad Ahmadiyah adalah jihad pena, jihad
melalui argumen rasional, mendirikan mesjid, menterjemahkan Al-Qur’an ke
beragam bahasa dunia, menyebarluaskan dakwah Islam melalui MTA (Muslim
Television Ahmadiyya) selama 24 jam nonstop. Tetapi sebelum terlalu
jauh, bagaimana pendapat para tokoh ulama non Ahmadiyah mengenai Jihad
(mengangkat senjata) kepada Inggris waktu itu. Maulvi Muhammad Jafar
dari Thanesar dalam biografi Hazrat Syed Ahmad Brelvi, yang dianggap
Mujaddid Islam abad 13 Hijriah telah memuat :..”Seseorang menanyakan
mengapa ia bersedia pergi begitu jauh untuk berjihad terhadap kaum
Sikh? Mengapa ia tidak berjihad terhadap bangsa Inggris, yang menguasai
negeri ini (India) dan menolak kebenaran Islam ?” Tuan Syed menjawab,..”Satu-satunya
sebab mengapa Ia berjihad terhdap kaum Sikh adalah karena mereka
menindas kaum muslim dan menghalangi mereka dalam menunaikan ibadahnya.
Bila kaum Sikh menghentikan penganiayaannya atas kaum muslim, tidak ada
alasan baginya untuk memerangi mereka. Bangsa Inggris adalah bukan
muslim, tetapi mereka tidak menindas kaum Muslimin, juga tidak
menghalangi mereka untuk menunaikan ibadah dan kewajiban agama. Maka
mengapa ia harus melakukan jihad melawan pemerintah ini dan menumpahkan
darah kedua belah pihak. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam.” (Biography of Hazrat Syed Ahmad).
Kelima, Anda keliru
mengira bahwa penamaan Ahmadiyah diambil dari nama Mirza Ghulam Ahmad.
Nama Ahmadiyah merupakan manifestasi dari nama Rasulullah Muhammad Saw.
Kehidupan Rasulullah Saw pada periode Mekkah merupakan manifestasi nama
Ahmad, di mana Beliau Saw memperlihatkan keindahan ajaran Islam. Keenam,
sesat tidaknya seseorang/sekelompok orang bukan berada di tangan
seorang manusia pun untuk memutuskannya. Bukan pula berada pada lembaga
semacam MUI, atau negara-negara Islam manapun juga. Biarlah, urusan siapa yang sesat dan siapa yang mendapat petunjuk menjadi hak-Nya (an-Nahl, 16:25). Karena
sejatinya hal ini bukan menjadi wewenang Anda, bahkan Nabi pun tidak
diberikan izin untuk menelisik hati seseorang. Serahkan saja semuanya
kepada Allah Ta’ala.
Itulah point-point yang
perlu dikritisi dari tulisan Anda. Semoga melalui tulisan ini, sesuai
niatan Anda dari awal, meluruskan hal-hal yang telah disalahpahami oleh
publik dapat tercapai.
Ahmad Reza
No comments:
Post a Comment