Monarki di Asia Tenggara, Bagaimanakah Eksistensinya?

Pengkajian sejarah pada tahun 1511, dengan menggunakan pendekatan strategik yang masih bertahan hingga sekarang, nampaknya menghasilkan deskripsi tidak bertahannya monarki di kawasan Asia Tenggara. Masa itu merupakan saat di mana Portugis menguasai Malaka, dan para sultan diasingkan atau ditempatkan di luar kekuasaannya. Mereka umumnya ditempatkan di Johor, tetapi secara umum Malaka tidak lagi dipulihkan sebagai suatu kerajaan. Setelah direbut oleh Belanda (1641) dan Inggris (1795, atau setidaknya tahun 1824), kawasan ini akhirnya menjadi kesatuan wilayah yang dikenal sebagai Malaysia, yang bertahan sampai sekarang.
Situasi serupa terjadi selama kolonisasi Barat di Filipina, sekalipun tidak ada kerajaan yang yang substantif di Manila saat Spanyol mengambialih (1571), kecuali sultan di Kerajaan Brunei. Sementara itu, di Burma pada tahun 1886, saat Inggris secara tegas menghapus kerajaan secara menyeluruh (yang sebelumnya merupakan pemerintahan paling berpengaruh di kawasan tersebut), menunjukkan langkah terakhir mereka dalam mengembangkan kolonisasi atas negara tersebut. Meskipun demikian, pengusaan wilayah dimulai dengan mengikis kekuasaan di Lower Burma (1826). Atau seperti kasus Prancis di Vietnam: pergerakan “masa depan” mereka dimulai di masa Kaisar Napoleon III, dengan menguasai kerajaan yang menguasai kawasan delta sungai di Saigon yaitu Raja Annam (1863-1866). Sejak saat itu sistem kerajaan di Vietnam sudah hapus. Vietnam dipecah menjadi tiga wilayah dengan sempat melantik seorang raja boneka, Bao Dai, (1949-1955).
Di wilayah Hindia Belanda (baca: Indonesia) kejayaan Kerajaan Mataram, pewaris imperium Majapahit, yang sebelumnya sering dikenal sebagai pemangku peradaban Hindu terbesar di kawasan Asia Tenggara, telah tak terekkan menjadi batu sandungan bagi tujuan-tujuan ekonomi Belanda. Konsekuensinya, Belanda meletakkan proporsi besar dalam kemajuan ekonomi, dalam abad ke-18, melalui peperangan lokal dan perebutan tahta di antara kerajaan-kerajaan yang ada. Sesudah pemerintahan Raffles selama Perang Napoeloen, masalah mulai muncul saat terjadi Perang Diponegoro (1825-1830). Setelah Belanda memenangkan konflik ini, kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa masih ada tetapi secara keseluruhan tinggal sebuah eksistensi nama, di mana sebagian besar wilayah kekuasaan Mataram dikendalikan langsung oleh Belanda, dan hanya kalangan bangsawan “lunak” yang diizinkan berkuasa di Yogyakarta dan Surakarta.
Contoh-contoh yang dikemukakan tersebut, yang diambil dari sejumlah wilayah di Asia Tenggara, menununjukkan bagaimana kerajaan dikalahkan oleh penjajahan Barat, atau jika dapat bertahan, hanyalah menunjukkan pengaruh yang semu, dan secara spesifik tunduk kepada kehendak kolonial. Meskipun demikian, tidak seluruh aktivitas kolonisasi Barat yang meruntuhkan kerajaan di Asia Tenggara. Kerajaan yang berpengaruh secara tradisional menunjukkan pengaruhnya dalam masa sebelum kolonisasi. Kerajaan Vientien, satu diantara dua kerajaan di lembah Laos pada abad ke-19, dihapus dari peta pada 1827-1828 dan penguasanya diasingkan dan mayoritas penduduknya dikirim ke Thailand. Dalam hal ini, kejayaan dan masa depan kerajaan hilang karena tindakan negara tetangga.
Pada cara lain, kerajaan runtuh karena tekanan nasionalisme. Hal ini terjadi karena dalam sebagian Belanda mempertahankan sejumlah kerajaan di Indonesia sebagai penghargaan palsu untuk meraih keuntungan ekonomi dan reformasi administrasi, dan dengan proklamasi kemerdekaan, kerajaan-kerajaan tersebut segera menjadi sasaran aktivis pergerakan setelah Perang Dunia II. Sebagai contoh mengenai hal ini terjadi dalam revolusi berdarah di Sumatera. Tetapi bisa juga karena penyerahan sukarela dari sistem kerajaan ke sistem baru yang dikumandangkan kemudian, seperti saat Bao Dai menyerahkan kerajaan Vietnam ke Ho Chi Minh setelah Jepang menyerah. Hal ini menjadi tindakan yang melegitimasi bahwa kejadian di tahun 1945 tersebut dilakukan oleh kalangan nasionalis, dan bukan komunis.
Bentuk yang lain dari dinamika kerajaan di Asia Tenggara adalah persatuan kekuatan pergerakan antiBarat dengan kalangan kerajaan atau sekurang-kurangnya menunjukkan dukungan dari para bangsawan demi mempertahankan legitimasi tradisional perjuangan itu, khususnya di kalangan petani. Namun sesudah kemenangan diraih, konsolidasi politik segera dilakukan, dan raja didorong untuk diberhentikan dari jabatannya. Laos sampai tahun 1975 merupakan contoh situasi ini.
Penguasaan penjajah juga memungkinkan untuk dilakukannya sistem “Indirect Rule” terhadap kerajaan-kerajaan yang ada, sehingga kolonialisasi Barat tidak segera menghapus monarki yang ada. Tentu saja harus ada jaminan berupa loyalitas kerajaan kepada Barat seperti dilakukan Inggris di Johor (1885-1914), atau seperti perlakuan Belanda terhadap Kesultanan Yogyakarta setelah Perang Diponegoro.
Sistem “Indirect Rule” ini juga dilakukan Prancis terhadap Laos. Prancis memperkenankan monarki konstitusional antara 1947-1954, di mana Amerika memberikan dukungan terhadap pemerintah kerajaan Laos (1954-1975), sekalipun pemerintahan ini tidak lebih dari pemerintahan boneka. Tetapi situasi politik pasca Perang Dunia II berkembang cepat dan mendorong kalangan komuni suntuk memenangkan revolusi domestik. 

Mas Ishar

No comments: