Monarki di Pengasingan, Bagian Sejarah Eropa
Pengasingan (exile) merupakan
salah satu dinamika dalam sejarah Eropa. Tidak hanya menyebabkan bahaya,
penghinaan, dan pengeculian terus menerus. Pengasingan juga menyediakan
kesempatan untuk transformasi, pengaruh, dan tindakan. Dalam buku “Reflection and Exile”,
Edward Said mengatakan bahwa kebudayaan Barat modern melibatkan diri
dalam sebagian besar dalam pengasingan, kepergian keluar, dan
pengungsian. Said mengatakan bahwa terdapat bermacam-macam bentuk
pengasiangan tersebut. Said merujuk kepada gelombang massa yang
melarikan diri dari perang, penganiayaan atau kemalangan individu karena
menentang sesuatu yang menobatkan yang bersangkutan sebagai “pahlawan”
pengasingan: ada banyak kajian dan sejarah yang berisi kepahlawanan,
romantika, kejayaan, bahkan kebenaran dalam periode kehidupan di
pengasingan.
Banyak pengkaji sejarah yang tertarik untuk
meneliti pengungsian dan perpindahan orang-orang pada abad ke-19 dan
ke-20. Sejarah migrasi menunjukan salah satu jalan yang penting untuk
memahami pengasingan. Asal muasal industrialsiasi dan
revolusi politik pada abad ke-19, merupakan tingkat mobilitas manusia
yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya yang disebabkan oleh ratusan
ribu orang yang meninggalkan kampung halamannya yang sejumlahnya melesat
secara dramatis pada abad ke-20. Palang Merah Internasional
memperkirakan bahwa sampai dengan tahun 2000 diasumsikan adanya 500 juta
pengungsi di seluruh dunia. Kalangan pengkaji sejarah masih
mendiskusikan sebab pengungsian itu dan bagaimanakah dampaknya dalam
aspek khusus di masyarakat.
Tulisan ini akan mencoba membahas aspek lain
dari masalah pengasingan tersebut, khususnya yang menyangkut keberadaan
monarki (kerajaan). Namun demikian, pada umumnya ada 3 bentuk reservasi
dalam menyelidiki pengasingan monarki yang dapat dijelaskan dengan
mudah. Meskipun monarki di pengasingan acapkali dipercaya sebagai
pengecualian dari pemerintahan, tiap-tiap negara di Eropa, dengan
pengecualian di Swedia, mempunyai pengalaman sehubungan dengan penegakan
kekuasaan mereka di pengasingan sepanjang awal atau selama abad modern.
Monarki di pengasingan nampaknya sebagai kecenderungan umum
dibandingkan mungkin apa yang diasumsikan. Sekurang-kurangnya terdapat
40 kerajaan yang terlempar dari negaranya sepanjang abad ke-19 dalam
masa 1789-1918. Jumlah itu dapat ditambahkan dengan yang terjadi di masa
sebelumnya seperti yang dialami oleh Henry Tudor (1485); Stanlislas
Lescynki (Polandia, 1709 dan 1736), Kaisar Bonaparte (1815 dan 1848),
Carlist (Spanyol, 1834), Karageorgevich (Serbia, 1858), dan Raja Milan
(1903). Daftar-daftar tersebut sekaligus juga menunjukkan kesulitan
untuk menentukan apa yang dimaksud pengasingan monarki. Ada monarki yang
melakukan pengasingan tetapi kemudian kembali lagi dalam kekuasaan
asal, tetapi ada pula yang gagal memperoleh lagi mahkota kekuasaan. Hal
yang terakhir inilah yang kemudian sering terjadi pada bangsawan yang
mengalami pengasingan tersebut.
Dapat ditambahkan, bahwa para bangsawan dalam
pengasingan sering dipercaya mempunyai hubungan yang istimewa dan
ketimpangan ketidakpastian serta kesulitan-kesulitan lain dalam
pengasingan. Pengasingan monarki kadang-kadang menjadi tanda
pemberhentian kekuasaan mereka, seperti kasus Napoleon III (1871) dan
William II (1918). Faktanya, sejumlah besar bangsawan mengalami
kesulitan dan krisis personal saat mereka dalam pengasingan. Mereka
mengalami kegelapan dalam meraba kedudukan dan personalia mereka di masa
depan, seringkali terjadi selama bertahun-tahun. Louis XVIII
berpindah-pindah selama 9 kali dalam 15 tahun sebelum menetap di Inggris
dan tergantung kepada kejadian politik di sekitarnya.
Akan tetapi ada juga bahwa monarki yang
awalnya tersingkir dan berada dalam pengasingan kemudian menjadi
pemenang. Seperti kembalinya Louis Napoleon ke Prancis (1848). Pada
tahun 1866, Raja Johanann dari Saxony; juga penganut Katolik yang
memerintah di negara Protestan seperti Raja James II dan Raja James III,
mampu kembali ke negaranya setelah 6 bulan berada di pengasingan
Austria karena menerima unifikasi Jerman.
Menarik dicermati juga, kalangan monarki yang
berada dalam pengasingan menciptakan atau mempertahankan
tradisi-tradisi asal, termasuk dalam membangun hubungan kekerabatan.
Raja Charles II mempertahankan keberadaan Geraja Anglican. Raja Charles
VI berdiam secara terpisah dengan Raja Spanyol di Wina setelah 1711.
Raja Louis XVIII menyelenggarakan pemakaman kenegaraan untuk isterinya
Ratu Marie Josephine of Savoy di Inggris (1810). Dinasti Guelph menjalin
hubungan perkawinan yang spektakuler, seperti dilakukan oleh Duke of Cumberland
yang menikah dengan Putri Thryra dari Denmark (1878) dan Pangeran
Ernst August yang mengawini Putri Viktoria dari Prusia (1913).
Setelah bubarnya Uni Soviet dan
negara-negara satelitnya, banyak kalangan di pengasingan yang kembali ke
tanah air mereka. Kembalinya kalangan dari pengasingan ini merupakan
hal yang sangat menarik. Pada tahun 1992, Presiden Yeltsin mengundang
kalangan yang di pengasingan ini untuk kembali ke Rusia untuk
“menyelamatkan peradaban kita.” Di negara lain, monarki yang tersingkir
karena revolusi komunis kembali ke tanah air setelah hampir 40 tahun di
pengasingan, seperti Raja Michael yang kembali ke Romania (1992) dan
Raja Simeon ke Bulgaria (1996).
Mas Ishar
No comments:
Post a Comment