Mushaf alQuran

Penyusunan mushaf alQuran tidak pernah dilakukan Nabi. Setelah beliau wafat dan banyak ahli alQuran gugur ketika memerangi Nabi palsu, timbul kekhawatiran wahyu itu akan terlupakan. Untuk melawan lupa, Umar berinisiatif membukukan. Abu Bakar sebagai khalifah dengan berat hati menyetujui. Ditunjuklah Zaid bin Tsabit, sekretaris Nabi yang mencatat wahyu sebagai ketua panitia kodifikasi. Zaid juga keberatan, walaupun ia kerjakan. Katanya: aku lebih senang memindahkan gunung daripada harus menyusun mushaf alQuran.
Zaman khalifah Abu Bakar mushaf hasil kerja panitia alQuran telah selesai disusun. Kemudian diamankan di rumah Hafsah isteri Nabi, anak Umar bin Khattab. Mushaf itu hanya disimpan dan tidak digandakan. Belum menjadi mushaf resmi. AlQuran diajarkan kepada masyarakat muslim hanya secara lisan. Di daerah baru dan penganut islam barupun alQuran disampaikan secara lisan.
Disebabkan oleh orang-orang yang berbeda dan tempat yang juga berbeda, maka alQuran dibaca dengan banyak model. Perbedaan bacaan itu disebabkan oleh dialek pembaca. Ada juga disebabkan oleh pemahaman yang berbeda. Sisa-sisa perbedaan pembacaan itu sampai sekarang masih dapat kita dengar dalam Qira’ah Sab’ah (tujuh model bacaan). Tujuh model ini adalah yang tingkat kebenarannya terpercaya karena melalui tranmisi dari banyak orang (Mutawatir).
Sedangkan yang disampaikan melalui tranmisi yang tidak sampai ke tingkat mutawatir, meskipun itu benar lebih banyak lagi. Menurut pakar alQuran dari mazhab sunni setidaknya ada sepuluh model bacaan. Belum lagi dari mazhab syi’ah.
Atas dasar iman dan kesungguhan, di hati dan pikiran bertanya-tanya: Mengapa ketika hidupnya Nabi tidak memerintahkan untuk membukukan? Mengapa sahabat Abu Bakar yang sangat dekat dengan Nabi dan Zaid bin Tsabit yang menjadi sekretaris wahyu merasa keberatan unruk membuat kodifikasi? Dan mengapa setelah selesai penyusunannya tidak segera digandakan dan dijadikan mushaf resmi?
Umar bin Khattab yang berinisiatif untuk membukukan, ketika menjabat khalifah, sampai wafatnya juga membiarkan mushaf itu tersimpan di rumah anaknya. Ia tidak pernah melakukan sesuatu apapun terhadap mushaf.
Berbagai jawaban atas pertanyaan dan mempertanyakan hal-hal di atas tentunya bukan sesuatu yang sulit untuk dijawab. Lengkap dengan alasan yang rasional telah tersedia. Tapi apapun jawaban dan alasan yang diberikan hanyalah sebuah pemaksaan kehendak. Karena suasana kebatinan Nabi dan para sahabat yang terlibat ketika pewahyuan dan berikutnya dalam penyusunan mushaf sangat dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu yang terbatas. Siapapun orangnya, di waktu sesudahnya yang lama dan jarak yang jauh tidak akan dapat menghadirkan kembali konteks yang menyebabkan para sahabat yang terlibat langsung itu ragu dan membiarkan.
Saya mencoba menghadirkan suara lain yang tetap dalam koridor iman dan islam. Maksudnya, dalam masalah agama perlu ada perintah ataupun keteladanan dari Nabi. Dalam islam AlQuran adalah tanda kehadiran Tuhan kepada Nabi. Ia menjadi ruh atau pokok berdirinya agama ini. Sedangkan Nabi adalah utusan yang bertugas menyampaikan alQuran (yang diterima melalui pewahyuan) kepada umat. AlQuran itulah ucapan Tuhan yang menjadi kewajiban Nabi untuk menyampaikan.
Masalah yang sangat penting dan besar dalam agama adalah wahyu, alQuran. Ia menjadi penentu ada atau tidaknya agama. Maka dengan ukuran harus ada keteladanan atau perintah inilah menjadi penyebab para sahabat (Abu Bakar, Umar, Zaid) itu ragu dan kemudian diam terhadap mushaf. Sikap ragu dan diam dapat diduga karena tidak adanya petunjuk dari Nabi. Mereka tidak berani melakukan sesuatu yang baru dalam agama.
Dengan kata lain keberadaan mushaf alQuran adalah sesuatu yang diadakan oleh sahabat, bukan Nabi. Melakukan sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya dari Nabi adalah bid’ah. Maka kodifikasi alQuran adalah bid’ah terbesar dalam agama ini.
Waktu tidak pernah diam, dan takdir tidak mudah untuk disiasati, maka paska wafat Umar bin Khattab, Usman bin Affan dipilih oleh beberapa orang sahabat yang ditunjuk Umar untuk menentukan pilihan guna menggantikan kedudukannya sebagai Amirul mukminin.
Pada masa Usman bin Affan ini penaklukan yang dilakukan oleh orang Arab islam sudah semakin meluas. Sudah melampaui tanah kelahirannya. Semngat untuk menyampaikan pesan Tuhan berbanding lurus dengan semangat untuk mendapatkan harta rampasan perang dari daerah jajahan. Maka di daerah-daerah baru diajarkanlah alQuran kepada para penganut yang baru.
Di daerah baru ini (di luar tanah Arab) alQuran disampaikan dengan cara lisan juga, berbahasa Arab. Maka terjadilah pembacaan alQuran yang berbeda-beda. Setiap negeri memiliki model pembacaan alQuran yang berbeda. Beberapa orang sahabat juga memiliki bacaan yang berbeda. Bahkan Ibnu Mas’ud memiliki mushaf alQuran yang disusunnya sendiri. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib.
Usman sebagai khalifah yang berkuasa penuh, mengambil keputusan strategis dengan menggandakan mushaf resmi yang telah selesai dibukukan pada zaman Abu Bakar. Mushaf-mushaf yang disusun secara pribadi oleh para sahabat tanpa terkecuali harus dimusnahkan. Pembacaan alQuran juga harus seragam: menggunakan dialek Quraisy, karena Nabi pembaca pertama adalah suku Quraisy. Mushaf “copian” tersebut dibagi ke semua wilayah yang ada. Yang lain dari mushaf resmi tidak lagi dibenarkan: tulisan, maupun bacaan.
Masdaruddin

No comments: