Perjuangan Rakyat Topoka Melawan Belanda Pada 1914

Perjuangan Rakyat Topoka Melawan Belanda di 1914
Ilustrasi (int)
PemberontakanTopoka terhadap penjajah Belanda tahun 1914 adalah sekelumit peristiwa sejarah yang terjadi di Kerajaan Luwu dahulu, sebagaimana terjadi pada Kerajaan-kerajaan lain, sebelum keseluruhan mereka takluk kepada Belanda ‘India-Timur’, yang nantinya menjadi tanah air Republik Indonesia.
Topoka ini adalah nama satu dusun yang terletak dilereng gunung; antara gunung Topoka (Buntu Salleulu) dan persawahan Tallang, di kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, di Sulawesi-Selatan.
Nama Topoka ini dikenal di Tanah Luwu, khususnya di Kabupaten Luwu. Masih terdapat pada papan nama Jalanan, selaku simbol peristiwa, dan nama tempat. Nama ini kadang masih dilihat pada nama Jalan, diruas jalanan, dikota-kota.
Nama Luwu ini, bukannya dikenal selaku asal raja-raja Sulawesi-selatan, yang ada di Sulawesi Selatan saja, malah raja-raja asal Bugis yang pernah memerintah di Aceh, Riau dan Serikat Kerajaan Malaysia, mengakui nenek-moyang dan leluhur mereka berasal dari Bugis-Luwu.
Tetapi kalau kita berada dikota-kota Sulawesi-Selatan dan menanyakan, dimana Topoka itu? Hampir dipastikan tidak ada orang yang dapat memberikan jawaban; apalagi penjelasan dimana persis terletak nama tempat Topoka, dimaksud.
Dusun Topoka ini tidak berada dipinggir jalan raya poros Makassar Palopo, melainkan terletak disebelah Barat dari Salugalote. Dimana diperkampungan ini sekarang sudah menjadi tempat perkebunan penduduk. Dusun ini dulunya, pada masa dekade pertama Compeny Belanda menundukan dan menduduki pusat pemerintahan Kerajaan Luwu, kota Palopo sekarang.
Dusun Topoka pada masa itu masih didiami oleh kebanyakan penduduk yang kepercayaannya animisme. Dan sangat patuh kepada raja (Datu) Luwu yang sudah memeluk Agama Islam sejak tahun 1604. Agama islam yang dibawa oleh penyiar dan pengembang agama Islam yang dikenal di Sulawesi Selatan dengan nama tiga dato’ “Dato Sulaeman, Dato Ribandang, Dato Tiro”.
Dato Sulaeman bersama dato lainnya datang ke Luwu yang di terima oleh raja Luwu pada waktu itu adalah “Patiarase”, yang setelah memeluk agama islam bernama Andi Abdullah, Opu Matinroé Pattimang. Patimang adalah tempat kediaman raja Luwu yang didatangi para penyebar agama islam pada saat mula pertama datang agama Islam ke Kerajaan Luwu.
Setelah pertarungan terakhir di Ponjalaé, dimana Menteri Pertahanan Kerajaan Luwu Andi Tadda jadi marhum dalam perlawanan, persenjataan yang tidak seimbang mempertahankan Kedaulatan Kerajaan Luwu. Semangat patriot putera-putera Luwu bertarung dengan Belanda, pertarungan yang tidak seimbang antara senjata tajam melawan senjata api; senjata moderen pada masanya yang digunakan oleh kompeni Belanda.
Keberhasilan Belanda menduduki kota Palopo, ibu kota Kerajaan Luwu, setelah membumi hanguskan Saorajaé (rumah raya) atau istana Luwu di Palopo. Belanda selanjutnya mengatur pemerintahan dalam wilaya Luwu yang meliputi dari Poso, Sulawesi Tengah, sampai dengan sungai Turungpakkaé, Akkotengen, Kabupaten Wajo dan menyeberang jazirah Tenggara Sulawesi, sampai Kassipute, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara.
Untuk melancarkan roda penjajahan dari pemerintah kolonial Belanda, Belanda mulai meletakkan prasarana dan sarana yang diperlukan demi kelancaran roda pemerintahan mereka, mereka memaksa rakyat membuat poros jalanan dan jembatan-jembatan pada sungai-sungai besar, utamanya jalanan yang menghubungkan Palopo dengan kota-kota sebelah Selatan, lewat Sengkang menuju Parepare ke Makassar.
Pemerintah Hindia Belanda memaksa rakyat sesuai dengan sistim yang diperlakukan di Nederland-Indië. Paksaan itu berlaku tidak terkecuali di Suli. Perlakuan dan tindakan keras ini, bukannya dalam pembuatan jalanan dan jembatan saja, tetapi semua sektor. Belanda bertindak terhadap peduduk Suli dan kampung-kampung yang termasuk dalam wilayah distrik pemerintahan Suli, juga pemungutan pajak atau rodi, yang dikenal dalam bahasa Belanda selaku belasting.
Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah kolonial Belanda tampa perduli, siapa saja yang terlambat membayar dan menunaikan kewajiban bayar pajak dipukul dan ditahan. Setelah tunggakan pajaknya dibayar lunas baru mereka dilepas.
Pada masa pembuatan jembatan diatas Sungai Suli yang dilakukan oleh Belanda, rakyat di Suli dan sekitarnya merasa ditindas, dipaksa bekerja secara sewenang-wenang dan dipaksa bekerja siang malam. Orang yang dianggap tidak bekerja keras, sebagaimana yang dikehendaki Belanda dipukul dan disiksa oleh petugas.
Perlakuan yang dianggap kejam terhadap rakyat Suli dan sekitarnya, oleh tampuk pimpinan mereka, kepala Distrik Suli ‘Andi Mangile’ menyampaiksan kepada petugas Belanda agar rakyatnya tidak diperlakukan sewenang-wenang. Tetapi permintaan dari Kepala Distrik tidak diindahkan oleh petugas Belanda, bahkan tidak ditanggapi oleh Petugas pemerintah Belanda.
Setelah kejadian berlangsung oleh perlakuan Belanda dimaksud sudah tidak dapat ditahan oleh penduduk, maka bangkitlah perasaan amarah mereka membangkan, selanjutnya melakukan perlawanan untuk memberontak kepada Belanda.
Perlawanan rakyat ini dimulai dan disusun pelaksanaannya dari dusun Topoka. Topoka itu dibawah wilayah distrik Suli, dan dekat ke Suli, sekitar 3 kilometer dari ibu kota distrik Suli. Dimana pada saat itu jembatan Suli sementara dibangun.Masa pembangunan jembatan Suli sementara berlangsung, tentara Belanda bersama dengan petugas ahlinya dalam membangunan jembatan, mereka berkema di Suli.
Karena penduduk kampung Topoka dan sekitarnya mengalami penderitaan mencekam atas perlakuan pemerintah Belanda. Perasaan mereka tidak tertahan lagi hingga melalui pemuka masyarakat menyampaikan kepada pemerintah Belanda tidak mau lagi turut dalam pembuatan jembatan Suli dan tidak mau membayar pajak kepada Belanda.
Perlakuan pembangkaman dari masyarakat Suli, oleh Belanda tidak dapat ditolerir, artinya, tidak dirima baik, malah dibalas dengan tindakan menindas rakyat yang dianggap membangkam. Tetapi dilain pihak rakyat Topoka tidak mau tahu dari tekanan dan ancaman dari Belanda. Mereka tetap tidak mau lagi turut dari perintah yang di keluarkan pemerintah Belanda yang ditujukan kepada rakyat Suli, utamanya rakyat yang ada di Topoka.
Rakyat Topoka, mulai mengadakan kontak dengan pemuka masyarakat dari Tallang, Pasampang, Topaga sampai Tanggai yang terletak di lereng gunung dari arah Barat membujur ke Timur. Selanjutnya melalui Salo dan Lopi, mereka berhubungan dengan keluarga mereka di Ikkobajo yang terletak antara Keppe dan Redo.
Dengan persenjataan yang dimiliki masyarakat setempat, di Suli, Murante dan sekitarnya, sebagaimana yang pada umumnya digunakan oleh rakyat pada kerajaan-kerajaan lain pada masanya melawan kepada pemerintah Belanda dan ataupun VOC dulu pada masanya.
Senjata-senjata mereka hanya: Tombak, kelewang, parang panjang, keris, badik. Tetapi mereka tidak menghiraukan lagi akibat yang akan dialami selaku balasan yang akan diterima, tidak dapat menimbang lagi akibat-akibat akan menimpa dirinya, mereka pabila melakukan perlawanan membalas luapan perasaan dendam, atas tindakan yang dilakukan pemerintah Belanda kepada mereka.
Selain dari pada hal tersebut diatas, masih baru dalam ingatannya, sekitar 9 tahun sebelumnya pimpinan mereka, Andi Tadda, gugur dalam pertarungan melawan Belanda di Ponjalaie untuk mempertahankan kerajaan Luwu, pada waktu pendaratan pertama Belanda di Palopo, di pantai Punjalaé 1906. Dimana umumnya rakyat Topoka turut berperang, bahu membahu bersama dengan Andi Tadda dipantai kota Palopo, Mangarabombang, membendung serangan Belanda dari laut, ketika Belanda berusaha mendaratkan tentaranya.
Karena sebelumnya pemerintah Belanda meminta kepada Datu Luwu untuk menempatkan tentaranya di Palopo, tetapi permintaan tersebut ditolak oleh raja Luwu. Dimana Kerajaan Lawu pada tahun 1906 diperintah oleh seorang ratu yang bernama Andi Kambo.
Ketika Belanda mendengar berita tentang adanya pembangkangan dari rakyat Topoka, yang tidak mau membayar rodi atau pajak. Assisten Resident pemerintah Belanda di Palopo mengirim utusan yang bernama “Peter Dinding” melalui motorboot menuju ke Larompong. Dari laut masuk melalui muara Larompong, kemudian mereka mengambil simpang kiri dari sungai Larompong menuju ke Redo, satu dusun dekat dengan “Ikkobajo” sekitar 71 Km dari kota Palopo.
Di Ikkobajo utusan Belanda ini, langsung menangkap rakyat setempat yang dianggap pengikut-pengikut dari gerakan Topoka. Ditempat ini disambunt dengan perlawanan, terjadi perlawanan sengit oleh rakyat terhadap utusan Belanda tersebut, mengakibatkan hampir 100 orang dari pengikut gerakan Topoka tewas dan mengalami cedera.
Setelah tentara Belanda menguasai Ikkobajo dan Redo, mereka melalui jalan darat menuju ke Buntu tepa, kemudian menyusuri lereng gunung ke Topaga, dimana sudah bersiap rakyat tanggai, Topaga dan Tallang, menghadang di Buntu Canira, akan menghadapi tentara Belanda dengan senjata tajam melawan senjata api.
Pertempuran antara tentara Belanda dengan rakyat Topoka, mengakibatkan gugurnya pahlawan Topoka sepuluh orang dan dari tentara Belanda diantara juga jatuh korban 2 orang. Sekali lagi karena persenjataan yang tidak seimbang, maka rakyat Topoka mundur, masuk kehutan, karena kebetulan Topoka adalah nama lembah, lereng gunung, yang didiami oleh rakyat petani.
Setelah rakyat Topoka beberapa saat berada dihutan sambil mengatur rencana serangan. Maka pada suatu malam, dalam bulan Februari 1914, ketika hujan deras, rakyat Topoka melakukan serangan mendadak kepada tentara Belanda yang berada di barak-barak, dipinggir sungai Suli. Tentara Belanda ini tidak menyangka serangan ini akan terjadi, karena berlangsung pada dini hari sekitar jam 3 subuh, disaat hujan deras.
Akibat dari pemborontakan rakyat Topoka ini Pemerintah Belanda melakukan penangkapan dan pembuangan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap ada hubungan baik langsung atau tidak dengan pemborontakan Topoka.
Sejumlah tokoh dan pemuka-pemuka masyarakat Luwu Selatan dituduh oleh Pemerintah Belanda selaku tokoh penggerak dan pemimpin yang membikin rencana perlawanan dan pemborontakan rakyat Topoka melawan Belanda. Mereka dari tokoh-toko ini ditangkap dan dibuang, diasingkan ke pulau Jawa pada tahun 1915.

Hamus Rippin 

No comments: