Romusha
Gambar Romusha Indonesia saya dapat dari Djawa Baroe, 1943
Sudah menjadi rahasia umum jika romusha diperlakukan secara buruk oleh pihak Jepang di masa penjajahan. Tidak ada jaminan kesehatan, pekerjaan yang terlalu berat, dan makanan yang tidak cukup, itu semua menjadikan banyak romusha yang meninggal di tempat kerja dalam jumlah besar.Namun begitu, Jepang tetap gigih mempertahankan konsep romusha hanya demi memuluskan tujuannya. Sejak tahun 1943, Jepang melancarkan propaganda untuk kembali menggairahkan program romusha yang sudah mulai lesu. Mereka bilang, romusha adalah prajurit pekerja yang harus bangga dengan perannya. Bukan hanya itu, mereka juga menyebut romusha sebagai prajurit ekonomi dan pahlawan pekerja. Sayang sekali, apa yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan.
Romusha lahir sebagai akibat dari politik pengerahan total pihak Jepang. Mereka memobilisasi para pekerja dalam jumlah sangat besar, namun menekan pengeluaran seminim-minimnya.
Romusha dipekerjakan di proyek-proyek untuk kepentingan pihak Jepang. Namun begitu, Jepang selalu berkoar-koar bahwa apa yang mereka lakukan adalah atas nama rakyat. Ini adalah ciri-ciri dasar penjajah pada daerah jajahannya.
Contoh pekerjaan romusha; pembuatan jalan, jembatan, barak-barak militer, dan perbentengan di sekitar tempat mereka tinggal di suatu karesidenan. Kegiatan ini berlangsung antara satu hingga tiga bulan. Kadang lebih lama lagi.
Cara Jepang Merekrut Romusha
Jepang mencari tenaga kerja untuk dipekerjakan sebagai romusha hingga ke desa-desa. Biasanya terdiri dari pemuda, penganggur, dan petani. Pada mulanya tugas yang harus dilakukan bersifat sukarela. Jadi, pengerahan tenaga tidak begitu sukar untuk dilakukan. Apalagi, banyak yang masih terbius oleh propaganda “Untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya.”
Pemaknaan romusha yang sepintas sangat terlihat humanis tersebut mampu membuat tokoh-tokoh potensial Indonesia hanyut dalam sihir propaganda. Diantara mereka ada Ir. Soekarno, ada pula Oto Iskandar Dinata. Ini sangat menguntungkan pihak Jepang. Namun pada akhirnya mereka menyadari, bahwa program yang tadinya nampak manis, segera berubah menjadi semacam paksaan yang sungguh sangat menindas rakyat.
Gambar di atas saya dapat dari Djawa Baroe Edisi 1 oktober 1944, halaman 17
Tampak dalam foto, Ir. Soekarno sedang memimpin para Romusha sukarela. Bukan hanya itu, dengan ketulusannya, Ir. Soekarno istirahat bersama rakyat, dan turut menonton pertunjukan kesenian yang diselenggarakan oleh pusat kebudayaan (milik Jepang) untuk menghibur romusha. Keadaan menjadi semakin kacau ketika pada tahun 1944 Pemerintah Tentara ke-16 membentuk suatu badan khusus yang melaksanakan pengerahan romusha secara besar-besaran.Dalam merekrut calon romusha, Jepang semakin menerapkan cara-cara paksaan. Contoh yang terjadi di Aceh. Setiap kepala desa wajib mengerahkan tenaga kerja sesuai dengan daftar yang dibuat oleh penguasa Jepang. Romukyoku membuat peraturan sebagai berikut: orang atau badan yang membutuhkan tenaga romusha lebih dari 30 diharuskan mengajukan permohonan kepada kepala daerah setempat. Si pemohon, baik orang maupun instansi, harus memiliki perusahaan atau pabrik yang bermanfaat untuk kepentingan perang. Jadi, ada semacam agen untuk mengurusi keperluan tenaga romusha.
Di pihak romusha sendiri, hal di atas tidak begitu memberatkan. Hanya sayangnya, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Terkadang, rakyat yang namanya tercatat sebagai calon romusha bisa digantikan oleh orang lain, jika dia mampu memberi uang sogokan pada karyawan yang membidangi masalah pendaftaran dan pengiriman tenaga romusha.
Ini juga sudah menjadi rahasia umum di kalangan rakyat. Bahwa banyak diantara petugas pengerahan romusha bersikap curang. Misal, ya yang tentang suap tadi. Sebaliknya, ada pula kepala desa yang menunjuk seseorang menjadi romusha hanya karena dendam atau tidak suka pada warganya sendiri. Dengan uang suap, seseorang yang sudah terdaftar sebagai romusha bisa menunjuk orang lain untuk menggantikan dirinya.
Dampak Lain Dari Adanya Romusha
Sudah pasti, desa-desa hanya ditinggali oleh para wanita, anak-anak, manula, dan para pemuda yang tidak sehat. Banyaknya pengerahan kaum tani, mengakibatkan para pemuda lebih memilih untuk ‘lari’ dari desanya menuju kota. Bagi mereka, lari lebih baik ketimbang harus menjadi romusha. Nanti, para pemuda ini akan kembali ke desanya dengan berbekal pengalaman yang lebih luas. Pun bagi mereka yang romusha (selamat), pulang ke desanya dengan membawa pengetahuan baru. Tentang apa yang telah mereka lihat, dengar, dan hal-hal baru yang mereka pelajari. Setidaknya, ini sisi positif dari sebuah program bernama romusha.
Romusha Gaya Baru
Saya tidak berniat untuk menjabarkan apa itu romusha gaya baru. Saya yakin, anda bisa mengapresiasikannya sendiri. Sebuah ajakan saja, kita patut berhati-hati dengan jebakan-jebakan romusha gaya baru. Agar tidak tertindas, kita harus pandai. Untuk menjadi pandai, kita butuh asupan pendidikan yang pas.
Semoga May Day tidak hanya diingat pada pembuka bulan Mei saja.
Salam saya
Hendra
No comments:
Post a Comment