Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Papua

Pendahuluan
Keadaan pendidikan Islam sebelum integrasi Papua ke NKRI tidak begitu berkembang dan banyak mendapat kekangan dari pemerintah Belanda, untuk pendidikan Islam secara formal belum ada yang ada hanya pendidikan Islam secara tradisional yaitu dengan belajar mengaji di masjid atau surau. Masjid yang pertama berdiri di Papua khususnya di Kota Sorong yaitu masjid Al-Falah di Kampung Baru dan masjid Baiturrahim di Doom.
Pengaruh Islam terhadap penduduk Papua dalam hal kehidupan sosial budaya memperoleh warna baru, Islam mengisi suatu aspek cultural mereka, karena sasaran pertama Islam hanya tertuju kepada soal keimanan dan kebenaran tauhid saja, oleh karena itu pada masa dahulu perkembangan Islam sangatlah lamban selain dikarnakan pada saat itu tidak generasi penerus untuk terus mengeksiskan Islam di pulau Papua, dan merekapun tiadak memiliki wadah yang bias menampungnya.
Namun perkembangan Islam di Papua mulai berjalan marak dan dinamis sejak irian jaya berintegrasi ke Indonesia, pada saat ini mulai muncul pergerakan dakwah Islam, berbagai institusi atau individu-individu penduduk Papua sendiri atau yang berasal dari luar Papua yang telah mendorong proses penyebArab Islam yang cepat di seluruh kota-kota di Papua. Hadir pula organisasi keagamaan Islam di Papua, seperti muhammadiyah, nahdhalatu ulama, LDII, dan pesantren-pesantren dengan tradisi ahli sunnah wal jamaah.
Satu hal yang menggembirakan, dan harusnya menjadi panutan seluruh muslim di Indonesia yakni di sini ada pemandangan menyejukkan dengan “bersatunya” dua ormas terbesar, NU dan Muhammadiyah di dalam sebuah institusi pendidikan. Kedua ormas yang di luar tempat ini (Papua) kerap ribut, di sini mereka membentuk yayasan gabungan bernama Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) pada 15 Desember 1968.
Keberadaan Yapis ini bukan saja mendapat respon positif dari kalangan Muslim, tapi juga orang tua non-Muslim. Banyak dari mereka yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah ini dengan alasan bervariasi antara lain: disiplin yang tinggi dan melarang murid untuk mabuk-mabukkan, sementara mabuk merupakan budaya sebagian masyarakat yang masih terasa sulit dihilangkan. Saat ini kedudukan Yapis di mata masyarakat Papua hamper sama sejajar dengan Lembaga Pendidikan Kristen Kristus Raja. Ada ratusan sekolah di bawah naungan Yapis dan duaPerguruan Tinggi (STIE dan STAIS) yang bernaung di bawah bendera Yapis. Selain NU dan Muhammadiyah sejumlah institusi dakwah dapat disebutkan di sini seperti Dewan Dakwah Islamiyah, Hidayatullah, Persatuan Umum Islam, LDII, Pondok Pesantren Karya Pembangunan dll.
Adapun keadaan atau perkembangan pendidikan Islam setelah Integrasi Papua ke NKRI, berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama di Papua khususnya di Sorong yaitu Drs. KH. Uso bahwa pendidikan Islam setelahnya Integrasi Papua ke NKRI tidak banyak hambatan dalam perkembangan, karena sudah banyaknya para pegawai-pegawai yang ditugaskan oleh pemerintah khususnya oleh Departemen Agama Islam, bahkan setelahnya integrasi Papua ke NKRI sudah mulai bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh berbagai ormas Islam.
Perkembangan Pendidikan Islam Formal di Papua (Sorong)
a. Tingkat Dasar, Pertama dan Tingkat Atas
Menurut hasil wawancara juga dikatakan bahwa Pendidikan Islam secara formal sudah berdiri pada tahun 1965 bersamaan dengan penugasan KH. Uso ke Papua khususnya Sorong. KH. Uso dikirim ke Papua khususnya Sorong pada tahun 1965 mempunyai 2 (dua) misi, yaitu pertama misi dinas dari Departemen Agama yaitu untuk mendirikan dan mengembangkan pendidikan Islam di Papua (Sorong), kedua misi organisasi Nahdlatul Ulama (NU) untuk membentuk lembaga dan mengembangkan faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Aswaja).
Pendidikan Islam formal yang pertama berdiri yaitu Pendidikan Guru Agama-Pertama (PGA-P) 4 (empat) tahun setara dengan MTs/SMP pada tahun 1965, yang didirikan oleh KH. Uso dan para tokoh petugas berdasarkan hasil misinya yang ditugaskan oleh Dinas Departemen Agama. Kemudian pada tahun 1969 PGA-P berubah menjadi PGA 6 (enam) tahun berdasarkan hasil keputusan dari pusat Jakarta, dan KH. Uso menjadi kepala sekolah. Pada tahun 1980 PGA berubah sistem menjadi PGA 3 (tiga) tahun dan berubah nama menjadi Sekolah Guru Agama (SGA), hingga pada tahun 1990 nama SGA berubah lagi menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) sampai sekarang dan yang menjadi kepala sekolah masih dipegang oleh KH. Uso sampai tahun 2001.
Pada tahun 1980 didirikan juga Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Persiapan oleh KH. Uso dan para tokoh petugas yang dikirim oleh Departemen Agama dan para tokoh agama setempat asli Papua, yang menjadi kepala sekolah adalah KH. Uso sekaligus merangkap kepala sekolah MAN, adapun alasannya didirikan MTsN adalah untuk jalur masuk ke MAN.
Lembaga pendidikan Islam formal yang berdiri di luar misi Departemen Agama yang pertama berdiri yaitu MI An-Nur yang bertempat di Kampung Baru pada tahun 1970 yang diprakarsai oleh KH. Uso dan KH. Nur Hasyim Gandhi serta para tokoh agama lainnya termasuk tokoh agama asli Papua. Kemudian pada tahun 1980 didirikan lagi pendidikan Islam formal yaitu MI Al-Ma’arif yang didirikan oleh para Beliau di atas. Kedua pendidikan Islam formal itupun sampai sekarang masih eksis bahkan mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Adapun istilah YAPIS (Yayasan Pendidikan) hanyalah sebagai jembatan supaya pendidikan Islam diakui oleh pemerintah, karena lembaga pendidika yang dulu diakui oleh pemerintah ada 3 yaitu; YPK untuk pendidikan Kristen Protestan, YPPPK untuk pendidikan Kristen Katholik dan YAPIS untuk pendidikan Islam. Jadi setiap lembaga Islam yang ingin diakui dan ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah harus bergabung dalam satu lembaga yaitu YAPIS, namun pada saat ini pemerintah sudah tidak terlalu memperhatikan nama YAPIS itu sejalan dengan sudah banyak dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Papua (Sorong) ini. Tapi nama YAPIS itu sendiri masih berlaku dan eksis dampai saat ini.
Berdirinya lembaga pendidikan Islam baik formal atau non-formal tidak lepas dari peran para tokoh Islam di Papua (Sorong) diantaranya dari kalangan Petugas Departemen Agama yang dikirim ke Papua yaitu Drs. KH. Uso, Drs. H. Noer Hasjim Gandhi, H. Karim, Bapak Said dan Bapak Kimi. Adapun dari Kalangan tokoh Islam asli Papua yaitu Abdullah Arfan, H. Abdur Rasyid Arfan, H. Ajwan, Abdu Qodir Warfandu, Ahmad Saifuddin dan Adam Nurlete.
b. Tingkat Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi Islam yang pertama berdiri di Papua (Sorong) adalah Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) pada tahun 1990. Secara historis, pendirian Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Al-Hikmah Sorong dipelopori oleh Drs. H. Noer Hasjim Gandhi, seorang eks tentara sukarelawan Trikora yang ditugaskan ke Irian Barat tahun 1962 oleh Departemen Agama RI. Dengan semangat dan idealisme tinggi, serta keyakinan dan keikhlasan pengabdian ingin memajukan pendidikan dan syiar Islam bagi masyarakat muslim Papua, maka diajaklah sejumlah tokoh muslim yang ada di Kota Sorong untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Salah satu tokoh agama yang merespon rencana itu, adalah bapak Drs. H. Uso. Beliau selain tokoh agama Islam, ia juga tokoh pendidik yang saat itu menjabat sebagai kepala Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang kini menjadi MAN Model Sorong.
Kedua tokoh sentral di atas bersama-sama mengajak para tokoh agama (Islam) lokal, tokoh masyarakat, dan pengusaha muslim Sorong lainnya untuk membicarakan pendirian lembaga perguruan tinggi Islam di Papua. Pada prosesnya, setelah dimusyawarahkan dengan para tokoh muslim tersebut, maka disepakati pendirian lembaga pendidikan Islam di Sorong ini dengan nama Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID). Selain itu, dalam musyawarah juga dibicarakan dan disepakati lembaga pendidikan ini sebaiknya dinaungi oleh satu yayasan yang memang konsern terhadap pendidikan. Akhirnya, dibentuklah sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dengan nama Yayayan Al-Hikmah. Nama ini pula sekaligus diabadikan menjadi nama Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Al-Hikmah.
Dalam mengorganisasikan lembaga baru ini, para tokoh muslim tersebut sepakat membagi bidang kerja mereka dalam dua bagian, yaitu di Yayasan dan Lembaga Pendidikan. Tokoh yang dianggap representatif mengorganisir di Yayasan diserahkan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pengusaha, seperti di antaranya, Bapak Joko Susiloharjo, H. Alamsyah A, H. Abd. Rahman Andreas, H. Abd. Muthalib Silehu, dan H. Mukhlis. Sementara di bidang Pendidikan tetap digawangi oleh Bapak Drs. H. Noer Hasjim Gandhi dan Drs. H. Uso. Bahkan posisi Ketua STAI pertama diserahkan dan diamanahkan kepada Drs. H. Uso. Menurut, H. Noer Hasjim Gandhi, eksistensi Sekolah TInggi Ilmu Dakwah (STID) Al-Hikmah Sorong diawali menjadi cabang Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Ambon dengan Surat Keputusan Yayasan Al-Hikmah No: 04/SK/YAH/VI/1990 tertanggal 18 Mei 1990. Pada saat itu, STID Al-Hikmah telah memiliki dua jurusan, yaitu Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) dan Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).
Perubahan nama Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) yang hanya berumur tiga bulan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hikmah dilegalisasi secara formal oleh Ketua Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam (Kopertais) Wilayah VII, Prof. Dr. Hj. Rasdiyanah pada tanggal 26 Agustus 1990, dan yang menjadi ketua adalah Drs. KH. Uso. Momentum tersebut dijadikan tonggak awal berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hikmah Sorong, sekaligus dirangkaikan Kuliah Umum Perdana bersama Ibu Prof. Dr. Hj. Rasdiyanah yang saat itu juga menjabat sebagai Rektor IAIN Alauddin Ujung Pandang. Pada perkembangannya satu tahun kemudian, STAI Al-Hikmah Sorong mendapat status terdaftar berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 172 Tahun 1991. Dan delapan tahun selanjutnya, kembali diperoleh perubahan status terdaftar menjadi disamakan melalui SK Menteri Agama RI No: E/314/1998, tertanggal 1 Oktober 1998.
Pada perkembangan selanjutnya, beberapa tahun setelah STAI Al-Hikmah berjalan diwacanakan sebuah ide penggabungan tiga perguruan tinggi dari daerah yang berbeda. STAIS Al-Hikmah Sorong dengan representasi jurusan Dakwah, STAIN Manado dengan jurusan Tarbiyah, dan STAIN Ambon merepresentasikan jurusan Syariah dan Ushuluddin. Dengan pertimbangan jurusan yang berbeda, ketiga pimpinan perguruan tinggi ini sepakat ingin mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di wilayah Timur dengan sistem satu manajerial. Namun, wacana itu kemudian tidak terealisasikan karena terbentur dengan sejumlah regulasi internal di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Agama Departemen Agama RI. Implikasinya kemudian, dihadirkan satu program pendidikan (prodi) Tarbiyah di STAI Al-Hikmah sebagai respon tuntutan sosial pada saat itu.
Secara kontekstual, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah merupakan lembaga perguruan tinggi Islam yang kedua di Provinsi Papua, setelah perguruan tinggi sebelumnya telah ada di ibu kota Papua (Jayapura). Namun, setelah dilakukan pemekaran wilayah Provinsi Papua menjadi dua bagian, maka wilayah geografi Sorong masuk dalam wilayah Papua Barat. Karenanya, di Provinsi Papua Barat, STAI Al-Hikmah Sorong menjadi perguruan tinggi Islam pertama eksis di wilayah tersebut. Pada perkembangannya, satu tahun kemudian, 1991. Berdasarkan rekomendasi Rektor IAIN Alauddin Ujung Pandang, maka Ketua Kopertais Wilayah VII, Prof. Dr. Hj. Rasdiyanah menyerahkan surat keputusan, SK Menteri Agama RI No. 172 tahun 1991 tentang penerapan status terdaftar bagi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hikmah Sorong.
Pada perkembangan selanjutnya, sejalan dengan tuntutan otonomi khusus (otsus) di wilayah Papua dan Papua Barat dituntut adanya peningkatan sumber daya manusia yang handal dan kompetitif. Untuk merespon hal itu, dibutuhkan lembaga pendidikan yang dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan kualitas pendidikan. Karenanya, ketika Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah dalam operasionalisasinya selama 16 tahun (1990-2006) berupaya membenahi segala keterbatasan, kelemahan, atau bahkan kekurangan yang terjadi dalam internalisasi kampus. Saat itu, salah satu kelemahan dapat dilihat dalam membangun networking secara eksternal di tingkat lokal. Di sisi lain, secara faktual STAIS Al-Hikmah dihadapkan pada dua persoalan atau keterbatasan internal dalam penataan bidang akademik. Kedua keterbatasan yang dimaksud, yaitu dukungan finansial (financial supporting) yang tidak normal dan infrastruktur pendidikan yang kurang memadai. Keduanya tentu berimplikasi pada out put yang dihasilkan dan akhirnya, kualitas yang diharapkan relatif jauh dari harapan.
Dalam konteks lokal, kehadiran sejumlah lembaga pendidikan tinggi di Kota Sorong, baik lembaga pendidikan tinggi agama, maupun umum secara tidak langsung memengaruhi eksistensi STAI Al-Hikmah untuk selalu membenahi diri dan merefleksi segala kelemahan dan keterbatasan yang dialaminya. Karena itu, dengan kepemimpinan Drs. H. Uso yang saat itu menjadi Ketua STAI Al-Hikmah berupaya semaksimal mungkin melakukan pembenahan dan penataan internal agar STAIS Al-Hikmah ini senantiasa eksis dan survaiv. Menurut, H. Uso salah satu yang dapat dilakukan agar Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah bisa bertahan dan berkembang harus memiliki sumber finansial yang permanen agar dapat menopang segala aktivitas akademik, termasuk pembenahan infrastruktur pendidikan. Berdasarkan pengamatan itu, beliau bersama dengan H. Nur Hasyim Gandi, setelah dimusyawarahkan dengan pihak yayasan, maka disepakati pengusulan perubahan status Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAIS) Al-Hikmah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri atau disingkat STAIN.
Dalam waktu yang relatif tidak lama, keinginan peralihan STAI Al-Hikmah Sorong yang berstatus swasta ke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri berhasil diwujudkan setelah diperoleh respon positif atau rekomendasi dari pihak Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam (Kopertais) Wilayah VII, kemudian ditindaklanjuti pengusulan tersebut ke tingkat Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama RI. Kurang lebih setahun dalam proses pengurusannya, maka pada tahun 2006 secara resmi peralihan status STAIS Al-Hikmah menjadi STAIN berhasil direalisasikan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 2006, tertanggal 20 Juli 2006 M, atau bertepatan dengan tanggal 25 Jumadil Akhir 1427 H, pada waktu itu berakhir pula jabatan Drs. KH. Uso sebagai Ketua STAI Al-Hikmah. Peresmian alih status tersebut ditandai dengan ditunjuknya Dr. H. Saifuddin, MA. sebagai pejabat sementara atau Pgs. Ketua STAIN Sorong selama setahun, 2006-2007. Setelah resmi dilantik pada pertengahan tahun 2007 oleh Menteri Agama RI di Jakarta, maka Dr. H. Saifuddin, MA secara defenitif menjabat sebagai Ketua STAIN Sorong dengan periodisasi 2007-2011.
Kini, ketika peralihan status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong, tidak berarti persoalan yang akan dihadapi tidak ada. Justru, tantangan ke depannya semakin berat, sebab persoalannya bisa lebih kompleks. Kondisi sosial yang majemuk dan meningkatnya populasi masyarakat terhadap tuntutan pekerjaan merupakan aspek penting untuk diperhatikan dalam konteks Kota Sorong dan secara umum Provinsi Papua Barat. Karenanya, STAIN Sorong akan lebih meningkatkan dua Jurusan yang dibina sekarang, yaitu Jurusan Dakwah dan Tarbiyah sambil berupaya membuka Jurusan dan Prodi baru. Saat ini, sudah dibuka lagi Jurusan baru yaitu Syariah dan baru dibuka pada tahun ini.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pendidikan Islam di Papua mengalami perkembangan yang sangat pesat baik secara formal maupun non-formal, sejalan dengan setelahnya integrasi Papua ke NKRI. Hasilnya bisa kita rasakan sampai pada saat ini sehingga bisa mengenyam pendidikan dengan bebas dan bisa mendapatkan pendidikan sampai pada perguruan tinggi, maka sepatutnya kita selalu bersyukur dan menghargai jasa para tokoh yang telah berjuang untuk kemajuan Islam di Papua ini khususnya dalam bidang pendidikan formal.
Wallahu’alam

Muhyidin

No comments: