Syiah: Bukan Madzhab Kemarin Sore
Oktober 2009, The Pew Research Institute merilis jumlah populasi Muslim di dunia antara yang bermadzhab Sunni dengan yang bermadzhab Syiah. Hasilnya, Pew Research Institute memperkirakan bahwa sekitar 10-13 persen populasi Muslim di dunia ialah bermadzhab Syiah. (Lihat “Mapping The Global Muslim Population, The Pew Research Institute).
Angka tersebut membuktikan bahwa Syiah, meskipun menjadi minoritas, tetap eksis di dunia dan bukan sebagai madzhab kemarin sore walau masih terdengar asing bagi sebagian muslim di Indonesia.
Padahal di Indonesia, khususnya, Syiah telah ada sejak awal masuknya Islam ke bumi khatalustiwa ini. Sejarawan Slamet Muljana, misalnya, berpendapat bahwa Islam yang pertama kali tersebar di Asia Tenggara adalah Islam Syiah, dan bukan Sunni. (Lihat “Mendedah Sejarah Syiah di Nusantara”, Dewa Gilang, Kompasiana).
Pendapat Slamet Muljana ini mendapat dukungan dari A. Hasjmi. Dalam bukunya “Syiah dan Ahlu Sunnah”, A. Hasjmi dengan tegas menyatakan bahwa Islam Syiah-lah yang pertama kali sampai di Indonesia. Bahkan kerajaan Islam pertama di Indonesia-pun, yakni Kerajaan Peurlak, adalah kerajaan yang mermadzhab Syiah, dan bukan Sunni.
Meskipun mendapatkan kritikan tajam, namun hal itu tetap tak bisa menampik keberadaan kaum Syiah dari sejak dahulu di Indonesia. Ini bisa kita lihat dari tradisi-tradisi dan kebudayaan di Tanah Air yang sering disebut-sebut dipengaruhi oleh Syiah.
Di Bengkulu, misalnya, anda akan menemukan pengaruh Syiah dalam tradisi Tabut. Demikian pula pengaruh Syiah tercermin jelas dalam tari Saman di Aceh. Bahkan universitas di Aceh bernama Syiah Kuala.
Sedangkan di Tatar Sunda, pengaruh kental Syiah dirasakan melalui tradisi “bubur Syuro”, yang mewakilkan darah Husain dengan warna merah, dan sucinya ke-syahidan Imam Husain dengan warna putih. Sejarawan Agus Sunyoto bahkan menambahkan tradisi Tahlil dan kenduri di Indonesia sebagai warisan dari tradisi Syiah di Indonesia.
Sehingga sangat tepat jika Alm. Gus Dur pernah berujar bahwa NU adalah Syiah secara kultural. Satu-satunya yang membedakannya adalah paham mengenai Imamah, yang dianut oleh Syiah, tetapi tidak oleh NU. (Meskipun dalam kitab-kitab hadis yang dipelajari oleh santri NU memuat hadis mengenai “imamah”).
Di pesantren tempat penulis menimba ilmu saat ini pun, kitab-kitab yang dikarang oleh penulis ber-madzhab Syiah dipelajari dan dikaji secara mendalam. “Nailul Awthor”, misalnya, dikarang oleh Asy-Syaukani yang diduga bermadzhab Syiah.
Padahal penulis sendiri menimba ilmu di pesantren yang berafiliasi ke NU. Suatu perkara yang membuktikan bahwa Syiah memang telah eksis sedari dulu di Indonesia.
Di kemudian hari, kitab-kitab karya ulama besar Syiah mendapat sambutan hangat dari mayoritas cendekiawan Indonesia. Tafsir “Al-Mizan”, misalnya, kerap menjadi rujukan bagi Quraisy Syihab dalam menulis tafsir fenomenalnya, “Al-Misbah”. Demikian pula dengan karya-karya dari Murthado Muthahari dan Ali Syariati sangat mempengaruhi pola pikir muslim progresif di Tanah Air. Konon, mantan Ketum Muhammadiyah sangat menggandrungi karya-karya dari Ali Syariati.
Sedangkan untuk konteks yang lebih besar, kontribusi Syiah bagi dunia sangat jelas terlihat. Universitas Al-Azhar, misalnya, adalah warisan dari Dinasti Fathimiyyah, yang bercorak Syiah. Al-Azhar -hingga saat in- diakui sebagai universitas Islam tertua sekaligus terkemuka di dunia.
Di luar itu, ada banyak pemikir Islam utama yang dipercaya sebagai penganut madzhab Syiah. Nama-nama seperti Al-Farabi (ahli filsafat), Ibn Sina (kedokteran), Al-Khawarizmi (ahli astronomi), Jabir bin Hayyan (penemu aljabar), dan At-Thusi (penggagas observatorium) adalah contoh dari sekian nama-nama yang turut mengubah peradaban dunia.
Hal-hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Syiah bukanlah madzhab kemarin sore. Dan mungkin karena ini pula, maka MUI dan NU pusat (catat: NU pusat-pen) tak pernah menerbitkan fatwa sesat terhadap Syiah.
Sehingga terkesan aneh dan janggal bila belakangan ada segelintir individu dan kelompok yang entah dari mana tiba-tiba berteriak lantang memprovokasi masyarakat Indonesia dengan isu sesatnya Syiah.
Apakah mereka tak pernah membaca fakta sejarah? Agaknya selama ini mereka terbiasa terkukung dalam kegelapan kejahilan.
Gitu aja koq repot!
Dewa Gilang
No comments:
Post a Comment