Tafsir Baru Tumapel

Batara Anusapati, putera Baginda Ranggah Rajasa, berganti dalam kekuasaan. Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun Saka Perhiasan Gunung Sambu, 1170 saka, beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diwujudkan arca Siwa gemilang di candi makam Kidal,” tulis Prapanca pada pertama bait empat satu Negarakertagama.

Negarakertagama menyebut Anusapati sebagai putra Ranggah Rajasa. Kiranya yang dimaksud putra selir. Anusapati jelas putra kandung Tunggul Ametung dari permaisuri Ken Dedes. Akan tetapi Prapanca tidak secara tegas menyebutkannya dalam kakawin Negarakertagama. Dapat dimaklumi karena Prapanca sedang membicarakan riwayat Tumapel ketika menjadi kerajaan, bukan Tumapel ketika masih menjadi kadipaten amancanagara pimpinan Tunggul Ametung.

Dan ungkapan Anusapati sebagai putra Ranggah Rajasa banyak mengandung kebenaran, jika itu untuk menyatakan Anusapati sebagai putra menantu, karena pada sekitar 1221M menikahi Dewi Rimbi, putri bungsu Ranggah Rajasa dari Ken Dedes. Pernikahan itu menurunkan Mapanji Seminingrat dan Dewi Seruni —kelak Dewi Seruni menjadi permaisuri Sastrajaya, menurunkan Jayakatwang. Untuk mengecek kebenaran Anusapati sebagai putra menantu Ranggah Rajasa, kita tengok Prasasti Mula Malurung.

Dalam prasasti ini Mapanji Seminingrat mengaku sebagai cucu Batara Siwa, pendiri kerajaan Tumapel yang wafat di Dampar kencana. Batara Siwa adalah gelar anumerta Ranggah Rajasa. Ungkapan wafat di dampar kencana dapat diartikan wafat secara tidak wajar, terbunuh tanpa diketahui siapa dalang dan pelakunya. Penegasan Mapanji Seminingrat itu juga bermakna bahwa ibu Mapanji Seminingrat atau permaisuri Sri Maharaja Anusapati adalah putri kandung Ranggah Rajasa.

Jika Sri Maharaja Anusapati bukan menantu Ranggah Rajasa, sangat tidak pantas Mapanji Seminingrat mengaku dengan tegas sebagai cucu Ranggah Rajasa. Pantasnya mengaku sebagai cucu Tunggul Ametung, penguasa pertama Tumapel.

Sampai di sini tidak perlu dipersengketaan lagi berita Negarakertagama yang menyebut Anusapati putra Ranggah Rajasa. Anusapati adalah putra kewalon sekaligus putra mantu Ken Arok. Kakek Seminingrat adalah Tunggul Ametung dan Ranggah Rajasa. Karena itu, tokoh-tokoh yang lahir dari garis Seminingrat dan adiknya, seperti Kertanagara, Jayakatwang, ke bawah, boleh mengaku sebagai keturunan Tunggul Ametung dan Ken Arok. Ini sangat menarik.

Tapi mengapa Anusapati yang naik tahta menggantikan Ranggah Rajasa di Tumapel Kutaraja, bukannya Mahisa Wonga Teleng? Bukankah Mahisa Wonga Teleng putra kandung Ranggah Rajasa dari permaisuri pula? Persoalan ini lantaran campur tangan Ken Dedes.

Setelah Ranggah Rajasa wafat, yang lebih pantas mendaki tahta Tumapel memang Mahamentri I Hino Mahisa Wonga Teleng. Mahamentri I Hino adalah putra mahkota yang posisinya tepat di bawah raja. Jika aturan ini diterapkan, maka susunan Mahamentri Katrini adalah Mapanji Saprang naik sebagai Mahamentri I Hino, Guning Bhaya naik sebagai Mahamentri I Sirikan, dan Mapanji Anusapati sebagai menantu Ranggah Rajasa harus puas sebagai Mahamentri I Halu. Posisi Mapanji Anusapati itu di bawah ketiga adik seibunya. Di atas kertas, Mapanji Anusapati, meski sebagai yang tertua di antara semua anak Ken dedes dan Ranggah Rajasa, tetap jauh kemungkinan mendaki tahta. Paling mentok hanya sebagai raja di keraton bawahan Tumapel.

Akan tetapi setelah Ranggah Rajasa wafat, terjadi perombakan besar dalam tatanegara Tumapel. Ibu suri Ken Dedes tampil mengendalikan negara, mengendalikan wangsa Rajasa. Setelah suaminya wafat, Ken Dedes menjadi sosok paling berpengaruh dalam keluarga keraton Tumapel. Ken Dedes berupaya mencari penyelesaian terbaik terkait nasib para putranya, terutama sang putra sulung Mapanji Anusapati. Bagaimanapun Mapanji Anusapati putra kandung Tunggul Ametung, penguasa pertama Tumapel, suami pertama Ken Dedes. Karena itu nasib Mapanji Anusapati harus diperhatikan, harus diberi kesempatan menggelola negara, kecuali jika ingin menyaksikan perselisihan keluarga di kemudian hari.

Maka setelah meminta pertimbangan Sang Pranaraja, Ken Dedes, yang sempat beberapa waktu mengendalikan Tumapel, akhirnya mengeluarkan kebijakan, membelah Negara Kesatuan Tumapel menjadi dua, yaitu Panjalu beribukota di Daha dipimpin Mahisa Wonga Teleng, dan Jenggala beribukota di Kutaraja dipimpin Mapanji Anusapati. Panjalu dan Jenggala sama-sama menjadi negara merdeka mandiri. Di sini Ken Dedes terasa lebih memerhatikan Mapanji Anusapati, menempatkannya di Kutaraja, kota yang dibangun Tunggul Ametung. Sementara Mahisa Wonga Teleng menempati bekas kerajaan yang pernah dipimpin keturunan Erlangga yang menganut Wisnu. Segala kebijakan ibu suri Ken Dedes benar-benar dipatuhi kedua putranya dan seluruh anggota wangsa Rajasa. Anusapati maupun Mahisa Wonga Teleng hidup rukun berdampingan memimpin kerajaannya masing-masing, tanpa keinginan menaklukkan satu sama lain.

Pada masa itu, baik Panjalu maupun Jenggala memiliki beberapa daerah bawahan. Kerajaan panjalu yang terletak di barat gunung Kawi membawahi Hasin, Wengker, Gelang-gelang, Ngurawan, dan Kadiri. Sementara Jenggala yang terletak di timur gunung Kawi membawahi Morono, Hering —Bangil Pamotan— Lewa, Lamajang, Madura, serta Bali. Panji Saprang menempati Wengker, Guning Bhaya menempati Hasin. Seluruh putra Ranggah Rajasa dari selir Ken Umang juga menempati beberapa kerajaan bawahan tersebut. Sementara putra Sri Kertajaya bernama Sri Jayasabha —ayah Sastrajaya— masih berkuasa di Kadiri sebagai bawahan Panjalu Daha. Daha di timur sungai Brantas sementara Kadiri di barat sungai Brantas atau di lembah timur gunung Wilis. Kerajaan Gelang-Gelang di lembah barat gunung Wilis.

Kelompok Mahamentri Katrini juga diubah kedudukannya, bukan lagi diduduki para calon putra mahkota, melainkan berganti peran sebagai semata gelar kebangsawanan bagi para kerabat raja, terutama para putra selir raja. Kelak tiga Mahamentri Katrini ditempati para putra selir Mahisa Wonga Teleng dan Anusapati. Adapun putra raja dari permaisuri langsung dinobatkan sebagai putra mahkota dan ditempatkan sebagai yuwaraja di keraton bawahan. Sekali lagi kedudukan tiga mahamentri Katrini yaitu mahamentri I Hino, I Sirikan, dan I halu sudah berbeda dengan ketika masa Ranggah Rajasa dan masa sebelumnya. Inilah salah satu pencapaian besar atau perombakan ketatanegaraan yang dilakukan ibu suri Ken Dedes dalam upaya mencegah perselisihan anggota wangsa Rajasa.

Sri Maharaja Anusapati dengan permaisuri Dewi Rimbi menurunkan Mapanji Seminingrat, lahir sekitar 1222M, dan Dewi Seruni, lahir sekitar 1224M. Keduanya lahir ketika Ranggah Rajasa masih hidup. Sementara Mahisa Wonga Teleng yang pada sekitar 1225M menikahi Dewi Rimbun, putri bungsu Ranggah Rajasa dari Ken Umang, pada sekitar 1226M menurunkan Waning Hyun, Mahisa Anengah, dan pada sekitar 1235M menurunkan Mahisa Cempaka.

Untuk lebih menguatkan hubungan kekeluargaan, pada sekitar 1240M, Ken Dedes meminta kedua putranya berbesanan. Maka setelah menyetujui kehendak sang ibu, Sri Maharaja Anusapati dan Sri Maharaja Mahisa Wonga Teleng menikahkan Waning Hyun dengan Mapanji Seminingrat. Sebelumnya atau pada 1238M, Sri Maharaja Anusapati menikahkan putri bungsunya, Seruni, dengan putra mahkota Kadiri atau putra Jayasabha, Sastrajaya, setahun kemudian lahir Jayakatwang. Pada 1241M, putra pertama pasangan Waning Hyun dan Seminingrat lahir bernama Nararya Murdhaya —yang kelak bergelar Kertanegara. Setahun kemudian adik Nararya Murdhaya lahir, perempuan bernama Turukbali.

Ketika bertahta di Panjalu Daha, Mahisa Wonga Teleng dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan masyarakat maupun para pemuka agama baik agama Siwa Boddha maupun Wisnu. Mahisa Wonga Teleng juga dekat dengan para penganut agama Islam. Sejak jaman Erlangga agama Islam sudah berkembang di daerah Panjalu. Dan ketika Mahisa Wonga Teleng berkuasa di Panjalu Daha, sudah barang tentu agama Islam semakin berkembang. Lantaran kedekatannya dengan para penganut berbagai agama, sebagaimana termuat dalam Prasasti Mula Malurung, Mahisa Wonga Teleng dikenal sebagai adiguru para kesatria yang sangat dihormati di tanah Jawa.

Berita Mahisa Wonga Teleng semasa menjadi maharaja di Panjalu Daha tidak ditemukan dalam Serat Pararaton maupun Negarakertagama, melainkan hanya pada Prasasti Mula Malurung. Kemungkinan Prapanca ngerti dan pernah membaca isi prasasti ini, akan tetapi dalam kakawinnya tidak menulis Mahisa Wonga Teleng sebagai raja Daha. Bahkan raja Daha setelahnya juga tidak ditulis, seperti Guning Bhaya dan Tohjaya. Prapanca hanya berkisah raja-raja yang berkuasa di timur gunung Kawi atau di Kutaraja Tumapel. Itu dilakukan karena Prapanca sedang berupaya menanamkan pemahaman, bahwa pendahulu Majapahit adalah Tumapel atau Singasari, bukan Panjalu Daha. Bahwa Majapahit adalah penerus Sang Putra Girinata, penerus kerajaan siwa, bukan Daha yang dikenal sebagai kerajaan Wisnu. Penenggelaman sejarah Panjalu Daha yang dilakukan Prapanca —ini juga dilakukan penulis Pararaton— karena Ranggah Rajasa, leluhur Majapahit, pernah memusnahkan Sri Kertajaya di Daha. Jadi yang dikedepankan adalah sejarah Kutaraja, bukan Daha. Ketika membicarakan sejarah Tumapel atau Singasari, Prasasti Mula Malurung layak dimajukan sebagai sumber sejarah utama. Berita Negarakertagama dan Pararaton sebagai pendukung atau pembanding saja.

Mahisa Wonga Teleng wafat, bergelar anumerta Batara Parameswara, didarmakan di Kalangbrat, Tulungagung, sebagai Wisnu. Kemudian Panjalu Daha ditempati Mapanji Guning Bhaya, adik ketiga.

Sesungguhnya yang berhak naik tahta menggantikan Mahisa Wonga Teleng adalah Mapanji Anengah, adik Waning Hyun. Setelah Waning Hyun menjadi permaisuri Mapanji Seminingrat dan berdiam di Kutaraja, Mahisa Wonga Teleng menobatkan Mapanji Anengah sebagai putra mahkota Daha dan ditempatkan di keraton Wengker menggantikan kedudukan pamannya Panji Saprang yang wafat. Akan tetapi pada 1248M Mapanji Anengah juga telah wafat, meninggalkan seorang putri bernama Nararya Kirana yang kemudian diangkat anak oleh Mapanji Seminingrat. Maka dengan sendirinya yang kemudian berhak naik tahta adalah Mahisa Cempaka. Hanya saja putra bungsu Batara Parameswara itu masih sangat muda, berusia sekitar 10 tahun. Pihak keluarga keraton Daha mendesak supaya Mahisa Cempaka sementara waktu ditempatkan di keraton Wengker sebagai yuwaraja sampai menjelang dewasa dan yang bertahta di Daha sementara digantikan pamannya. Jika melihat usia, kiranya Panji Saprang yang berkesempatan bertahta di Daha. Akan tetapi pula Panji Saprang telah wafat. Maka sebagai gantinya, yang bertahta di Daha mewakili Mahisa Cempaka adalah Guning Bhaya. Dan itulah keputusan yang akhirnya diambil. Pada awal 1248M, secara resmi Guning Bhaya bertahta di Panjalu Daha menggantikan Batara Parameswara, dan Mahisa Cempaka menjadi yuwaraja di Wengker, keraton yang sebelumnya ditempati Mapanji Anengah.

Naiknya Guning Bhaya di keraton Daha mengecutkan Tohjaya. Ketika itu, dari seluruh keturunan Ranggah Rajasa, yang tertua adalah Sri Maharaja Anusapati, disusul Mapanji Tohjaya. Karena kakaknya sudah bertahta di Kutaraja, Tohjaya merasa berhak pula bertahta di Daha. Itu baru dikatakan adil. Dua putra tertua Ranggah Rajasa sama-sama menjadi raja di dua kerajaan kembar, Panjalu dan Jenggala. Tohjaya merasa lebih berhak mewakili keponakannya, Mahisa Cempaka di Daha. Akan tetapi keputusan ibu Suri Ken Dedes tidak dapat diganggu gugat.

Maka Tohjaya yang pada awalnya semata berkeinginan menjadi wali atau wakil Mahisa Cempaka, mengganti tujuannya menjadi penguasa Panjalu Daha seutuhnya, bahkan diam-diam berkeinginan menguasai seluruh kerajaan warisan ayahnya, Ranggah Rajasa. Bagaimanapun, Tohjaya berdarah Ranggah Rajasa, meski dari seorang selir. Keputusan ibu suri Ken Dedes harus dilawan! Begitu tekad Tohjaya setelah mendapat dukungan dua adiknya, Panji Sudatu dan Twan Wregola.

Sementara itu, muncul kabar duka, wafatnya Sri Maharaja Anusapati. Ini terjadi sekitar tiga bulan setelah Guning Bhaya bertahta di Daha. Mapanji Seminingrat tampil menjadi raja Jenggala di Kutaraja. Pada 23 September 1248M, Mapanji Seminingrat mengeluarkan prasasti Maribong, berisi penetapan Desa Maribong sebagai sima perdikan. Dalam prasasti itu Mapanji Seminingrat mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Jayawisnuwardhana Sri Sakalakalana Kulamadhumardhana Kamaleksana.

Sementara tekad Tohjaya semakin besar. Dua kakaknya telah wafat. Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng, dua putra tertua Ken dedes telah tiada. Dua kakaknya yang sebelumnya sangat disegani dan selalu bikin gentar, sudah wafat. Itu artinya tiada lagi halangan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Satu-satunya halangan tinggal sosok ibu suri Ken Dedes. Tapi Tohjaya tidak peduli. Bersama dua adik kandungnya, Tohjaya bulat tekad melawan pengaruh Ken Dedes. Sudah tiba saatnya bagi putra selir berkuasa menjayakan wangsa Rajasa.

Maka suasana Daha pada penghujung 1248M mencekam. Terdapat pergerakan kekuatan yang dilajukan para putra selir Ranggah Rajasa. Dibantu dua adik kandungnya, Mapanji Tohjaya mengadakan pemberontakan atas pemerintahan Sri Guning Bhaya. Belum genap setahun bertahta di Daha, Guning Bhaya gugur. Tohjaya mendaki tahta di Panjalu Daha.

Semua tersentak. Seluruh keluarga Ken Dedes tersentak. Mapanji Seminingrat yang sudah menjadi raja di Kutaraja tidak kalah tersentaknya melihat sikap sang paman, Tohjaya. Apalagi terdengar kabar bahwa Tohjaya dan adik-adiknya memburu Mahisa Cempaka di Wengker. Selain sebagai adik sepupu, Mahisa Cempaka adalah adik ipar Mapanji Seminingrat. Mahisa cempaka adalah putra bungsu Batara Parameswara atau Mahisa Wonga Teleng, paman Mapanji Seminingrat juga. Ketika masih hidup, Batara Parameswara tidak ubahnya sebagai ayah kedua bagi Mapanji Seminingrat, bahkan boleh dibilang sebagai guru yang mengajari banyak hal. Keluarga Mahisa Wonga Teleng dengan keluarga Anusapati memiliki hubungan sangat akrab, teguh bersatu terlebih setelah pernikahannya antara Waning Hyun dengan Mapanji Seminingrat. Keakraban hubungan itu menurun pula kepada Mapanji Seminingrat dan Mahisa Cempaka.

Sebagaimana diketahui, Mahisa Wonga Teleng memiliki tiga anak, yang sulung adalah Waning Hyun, permaisuri Mapanji Seminingrat, kemudian Mapanji Anengah dan Mahisa Cempaka. Waning Hyun telah menetap di Kutaraja karena menjadi permaisuri Mapanji Seminingrat. Telah memiliki dua anak yaitu Nararya Murdhaya dan Turukbali. Kelak setelah 1255M, pasangan Waning Hyun dan Mapanji Seminingrat melahirkan anak ketiganya bernama Nararya Cakreswara —setelah dewasa Cakreswara menikah dan menurunkan Cakradara atau Baginda Kertawardhana yang pada masa Majapahit menjadi suami Dyah Gitarja. Mapanji Anengah sempat menjadi raja di Wengker dan telah wafat meninggalkan seorang putri bernama Nararya Kirana —pada 1255M Nararya Kirana yang telah diangkat anak oleh Mapanji Seminingrat dinobatkan sebagai raja di Lamajang.

Lahir batin maharaja Jenggala Kutaraja itu tidak iklas dengan terguncangnya Daha. Lebih tidak iklas lagi ketika mengetahui keselamatan Mahisa Cempaka terancam. Dengan diam-diam, Mapanji Seminingrat mengirim pesan ke Wengker, meminta Mahisa Cempaka menyingkir ke timur ke Kutaraja. Mapanji Seminingrat sangat beruntung karena di Daha terdapat dua tokoh penting keraton yang membantunya. Dialah Sang Pranaraja dan Sang Pamegat Mapanji Patipati. Keduanya sebenarnya mengabdi pada Tohjaya di Daha. Akan tetapi akhirnya berbalik haluan melindungi keturunan Ken Dedes. Berkat pertolongan kedua tokoh Daha itulah Mahisa Cempaka selamat dari kejaran Tohjaya.

Tohjaya akhirnya mengetahui bahwa pihak Kutaraja berupaya melindungi Mahisa Cempaka. Itu artinya dua keponakannya, Mapanji Seminingrat dan Mahisa Cempaka, adalah musuh, kelilip yang harus segera disingkirkan. Tohjaya memerintahkan penyerbuan atas Kutaraja dan Wengker. memerintahkan kepada terutama Sang Pranaraja dan Sang pamegat Panji Patipati untuk menumpas keturunan Mahisa Wonga Teleng dan Anusapati. Sayangnya, dua pembesar keraton Daha itu tidak sependapat dengan kebijakan Tohjaya. Sang Pranaraja dan Mapanji Patipati adalah dua tokoh utama Daha yang justru memukul rajanya sendiri.

Sampai kemudian pada 1250M kekuatan besar dari Kutaraja yang disokong penuh kekuatan Sang Pranaraja dan Panji Patipati berhasil menumbangkan pemerintahan Tohjaya di Panjalu Daha. Tahta kembali ke tangan keturunan Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Cempaka naik tahta di Daha bergelar abhiseka Sang Narasingamurti. Sang Pranaraja diangkat sebagai patih Daha. Mapanji Patipati diangkat sebagai pemimpin agama Siwa di Panjalu Daha.

Dengan demikian pada 1250M, dua cucu Ken Dedes mengemuka. Mahisa Cempaka bertahta di Panjalu, Mapanji Seminingrat di Jenggala.

* * *

Siwi Sang

No comments: