Tan Malaka dan Dua Hari di Awal Mei
Sudah sejak beberapa tahun ini, Mei telah menjadi semacam penanda akan dua peringatan penting. Diawali dengan peringatan Hari Buruh Internasional pada tanggal 1 Mei, lalu dilanjutkan dengan perayaan Hari Pendidikan Nasional di hari berikutnya. Berbicara dalam konteks kesejarahan Indonesia, tidak bisa tidak, kita harus mengenang jasa seorang martir untuk dua hari besar itu. Dialah Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Tan Malaka adalah seorang yang keras dalam perjuangannya. Baginya tidak ada kompromi bagi kemerdekaan Indonesia: harus secara penuh, tanpa syarat apapun dan sesegera mungkin. Untuk perjuangan besar itu, Tan Malaka melaluinya dengan dua jalan, perbaikan nasib buruh dan penyediaan pendidikan yang layak bagi anak tidak mampu Indonesia.
Jauh sebelum maraknya demo buruh belakangan ini, Tan Malaka telah memimpin beberapa pemogokan kerja di jaman kolonialisme. Setibanya dari Belanda pada tahun 1919, Tan Malaka ditawari menjadi guru bagi anak-anak kuli di Deli, Sumatera Utara. Persentuhan langsung dengan masyarakat kelas pekerja inilah yang menggerakkan hatinya untuk membela kaum buruh. Terinspirasi dari perjuangan tokoh panutannya, Sun Yat Sen, ia mulai menanamkan arti penting penuntutan penghidupan yang lebih layak bagi kaum buruh. Baginya, pekerja harus sama sejahteranya dengan pemilik modal. Karena pekerjalah yang berperan lebih besar dalam proses produksi. Dengan kata lain, pemilik modal lah yang lebih membutuhkan buruh, bukan sebaliknya.
Hanya dua tahun menjadi guru di Deli, Tan Malaka berhenti dari pekerjaannya itu. Rasa tidak suka dari beberapa petinggi perusahaan membuatnya merasa tidak cocok untuk bertahan. Di tahun itu juga ia berangkat menuju Pulau Jawa. Pada kongres Serikat Islam di Yogyakarta ia bertemu dengan beberapa tokoh pejuang lainnya seperti HOS Cokroaminoto, Agus Salim dan Semaun. Nama terakhir yang kemudian mengajak Tan Malaka menuju Semarang untuk melanjutkan perjuangan dengan jalan pendidikan. Melalui idenya dan beberapa tokoh komunis Indonesia, lahir cikal bakal pendidikan dasar di negeri ini, yaitu Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat, bagi Tan Malaka, ditujukan bagi anak-anak Indonesia yang nantinya akan menjadi seorang “pemimpin revolusioner”. Di sekolah inilah anak-anak dan pemuda Indonesia yang tidak mampu diajarkan untuk lebih peka terhadap nasib bangsa, tahu akan hak dan tanggung jawab serta, yang paling utama, kesadaran untuk membebaskan bangsa dari penjajahan dan penindasan.
Tidak begitu lama, sekolah model Tan Malaka ini langsung menyebar ke berbagai penjuru di Pulau Jawa. Ia mulai berkeliling untuk membuka Sekolah Rakyat di daerah lain. Tujuannya tentu saja untuk menanamkan arti penting pendidikan bagi masyarakat. Sayang, perjuangan tersebut tak berlangsung lama. Tan Malaka ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda setelah terjadi pemogokan buruh pelabuhan di Bandung pada tahun 1922. Demonstrasi tersebut dilakukan oleh serikat bernama Vaksentral-Revolusioner, sebuah organisasi dimana Tan Malaka menjabat sebagai wakil ketua. Sejak saat itu ia dibuang ke Belanda lalu mulai bergerilya ke beberapa negara.
Hal yang patut kita sayangkan dari hal ini adalah, betapa perjuangan Tan Malaka tidak pernah diaplikasikan dengan baik dan benar oleh bangsa ini. Malah, ia sempat dilupakan di masa orde baru pimpinan diktator Suharto karena dianggap sebagai dedengkot penyebar ajaran komunis di Indonesia. Padahal, bagi Bapak Republik Indonesia ini, komunisme-sosialisme hanya sebuah alat untuk membebaskan negeri ini dari belenggu kolonialisme waktu itu.
Ditengah carut-marut masalah perburuhan dan pendidikan nasional, kita seharusnya banyak belajar dari perjuangan Tan Malaka. Buruh haruslah sejahtera, karena mereka merupakan roda penggerak utama dalam proses perekonomian kita. Jangan lagi ada permufakatan jahat antara pengusaha dan pemerintah untuk merancang aturan yang merugikan pekerja.
Selain itu, pendidikan yang benar-benar mendidik mutlak harus tersedia bagi seluruh anak bangsa. Tentu Rakyat sudah bosan dengan tindakan pemerintah yang saban hari mengutak-atik sistem pendidikan tapi rasanya tak ada perubahan yang berarti. Seharusnya pemegang palu kebijakan sudah mendapatkan ramuan pengajaran yang mampu merangsang peserta didik untuk terus belajar. Bukan seperti sekarang, sistem pendidikan yang berjalan hanya membuat siswa menjadi manusia-manusia pragmatis yang terus mengharapkan hasil-hasil instan.
Saya rasa, perbaikan nasib buruh dan penyediaan pendidikan yang bermutu mutlak untuk dilakukan sekarang juga. Karena, tanpanya kita hanya akan menjadi bangsa yang berjalan di tempat, tak akan pernah kemana-mana.
Makassar, 1 Mei 2013
Wahyuddin
No comments:
Post a Comment