Tragedi Wanita Dalam Pusaran Politik
Wanita
dalam pusaran politik bukanlah hal baru di negeri ini. Bangsa ini
memendam banyak lembaran sejarah tentang tragedi wanita di pusaran
politik. Adakalanya wanita dalam konteks kewanitaannya menjadi korban
kebiadaban politik, adakalanya menjadi senjata, alat atau sekadar bumbu
politik.
Wanita
sebagai bumbu politik mungkin tercermin dari kisah Maharani Suciyono,
Vitalia Shesya dan dan Ayu Azhari yang menjadikan kasus suap impor sapi
dengan tersangka AF dan LHI begitu ‘sedap’ dinikmati. Tanpa adanya
lembaran kisah seputar makhluk-makhluk cantik yang membumbui kasus
tersebut, mungkin drama ‘daging sapi impor’ takkan seheboh saat ini.
Sementara
itu, soal wanita sebagai korban kebiadaban politik tercermin dari
tragedi Mei, 15 tahun silam. Perkosaan massal terhadap wanita-wanita
Tionghoa di ibu kota (jika itu benar) menunjukkan betapa wanita
merupakan elemen masyarakat yang paling rawan menjadi korban dari
keganasan percaturan politik di kalangan elite. Tragedi penjarahan
kehormatan wanita secara massal sungguh manjur menciptakan trauma
berkepanjangan, yang pada akhirnya kian menguatkan rasa permusuhan dan
saling curiga antaretnis. Hanya ‘sekadar’ tubuh wanita ternyata sanggup
menjadi komoditas politik yang cukup ampuh menyulut disintegrasi bangsa.
Apabila tragedi perkosaan massal terhadap amoy Tionghoa 1998 masih menyimpan sejuta misteri soal kebenarannya, maka tragedi Jugun Ianfu di
zaman Jepang merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Kala itu
ribuan gadis pribumi dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang. Dalam
buku Kick Andy: Menonton dengan Hati dikisahkan tentang Mardiyem dan Emah, dua wanita yang pernah menjadi Jugun Ianfu. Mardiyem menuturkan bahwa ia diculik dari desa untuk dijadikan Jugun Ianfu di
usia 13 tahun. Pertama kali menjalankan tugasnya, ia harus melayani 6
tentara Jepang. Lain lagi dengan Emah yang bertutur bahwa pagi sampai
sore ia bertugas melayani tentara Jepang dengan pangkat rendahan,
sementara malamnya melayani kalangan berpangkat. Tragedi Jugun Ianfu merupakan
cermin dari kebiadaban bangsa penjajah untuk menunjukkan
superioritasnya terhadap bangsa terjajah. Pengusaan tehadap tubuh wanita
bangsa terjajah dianggap sebagai salah satu cara menunjukkan
superioritas mereka. Sungguh satu tragedi yang teramat memilukan!
Terkait wanita sebagai alat politik, lembaran
sejarah bangsa ini pernah mencatatnya di zaman Majapahit, tepatnya
dalam Tragedi Bubat. Berawal dari keinginan Mahapatih Gajah Mada
menaklukkan kerajaan Sunda Galuh secara halus, diaturlah rencana untuk
meminang Putri Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai selir Prabu Hayam Wuruk.
Namun rencana yang jauh-jauh hari disusun rapi harus gagal berantakan
gara-gara kesalahan langkah diplomatik Gajah Mada. Di alun-alun Bubat
Sang Mahapatih menyerukan agar segenap prajurit Sunda Galuh yang turut
mengiringkan Putri Dyah Pitaloka menyatakan ketundukannya terhadap
kekuasaan Majapahit. Merasa kedaulatan negerinya dilecehkan, segenap
prajurit Sunda Galuh melakukan perlawanan meski dengan jumlah pasukan
tak seimbang. Tragedi itu pun tak terhindar. Seluruh prajurit Sunda
Galuh bersama Putri Dyah Pitaloka Citraresmi tewas di alun-alun Bubat.
Oh, lagi-lagi tragedi memilukan terjadi atas nama tahta dan wanita!
Jauh
sebelum Perang Bubat, sejarah Nusantara pernah mencatat tragedi wanita
dan politik dalam kisah Ken Arok-Ken Dedes. Kisah Arok-Dedes mewarnai
satu peristiwa kudeta pertama dalam sejarah Nusantara. Ken Arok adalah
mantan berandal, berkasta sudra yang dengan segala keberanian dan
kelicikannya sukses menumbangkan kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel.
Sadar akan posisinya yang berasal dari kasta Sudra, Ken Arok pun
memperistri Ken Dedes, janda Tunggul Ametung yang berasal dari kasta
Brahmana. Sungguh licik Ken Arok yang telah memanfaatkan Ken Dedes
sebagai alat politik guna memperoleh legitimasi sebagai raja Jawa. Dan
dari rahim Ken Dedes inilah lahir anak cucu-Ken Arok yang menjadi
raja-raja besar di kemudian hari. Adakah sifat Ken Arok yang menggunakan
wanita sebagai alat politik ini telah menitis pada para pemburu tahta
hingga saat ini?Wallahua’lam.
Memang
putaran zaman telah mengantarkan kita pada satu era yang disebut abad
modern. Namun pergantian zaman tidak otomatis mengubah hakikat politik
di negeri ini. Sejarah panjang yang kerap menempatkan wanita dalam
pusaran politik selalu saja berulang. Sungguh tepat kata orang. Wanita
dengan segala kelemahan, keindahan dan kelembutannya ternyata menyimpan
sejuta kekuatan. Kekuatan di balik keindahan dan kelemahlembutan
tersebut acapkali dimanfaatkan untuk berbagai tujuan dalam ranah
kekuasaan. Entah sebagai komoditas, senjata, atau alat politik. Akan
tetapi tak jarang pula kejamnya politik membuahkan tragedi bagi wanita
itu sendiri!
M. haryono
No comments:
Post a Comment