Alam Peudeueng

Belum diketahui secara pasti dari mana dan sejak kapan bendera digunakan oleh masyarakat di dunia ini. Meskipun ada cerita yang menyebutkan bahwa penggunaan bendera pada mulanya berasal dari India dan Cina. Pada awalnya, penggunaan bendera berkaitan dengan kemiliteran sebagai tanda atau standar yang digunakan dalam peperangan. Bendera juga menjadi kebiasaan bagi kapal laut untuk membawa bendera kebangsaan mereka. Bendera-bendera itu akhirnya berkembang menjadi bendera nasional. Penggunaan bendera di luar konteks militer atau angkatan laut dimulai dengan munculnya semangat nasionalis. Selanjutnya, menjadi umum digunakan oleh setiap negara berdaulat untuk memperkenalkan bendera nasionalnya.

Demikian pula yang terjadi di Aceh, belum diketahui secara pasti sejak kapan bendera digunakan dan seperti apa bentuknya. Pada zaman kerajaan Aceh, bendera yang digunakan bernama Alam Peudeueng. Kata alam berasal dari bahasa Arab yang berarti bendera dan peudeueng adalah pedang. Kata alam yang berarti bendera juga terdapat dalam manuskrip kitab Tazkirat al Tabaqat Qanun Syara’ Kerajaan Aceh, karangan Syaikh Syamsulbahri yang disalin oleh Teungku di Mulik Sayyid Abdullah al-Jamalullail atas titah Tuanku Ibrahim al-Mulaqqab Paduka Sri Sultan Alaiddin Mansur Syah pada tahun 1272 H. Dalam kitab tersebut disebutkan, “Bahwasanya kita semua satu negeri bernama Aceh, yakni satu negeri, satu bangsa, satu kerajaan, satu ‘alam (bendera), dan satu ajaran, yakni Islam dengan mengikut Syariat Nabi Muhammad atas jalan ahlussunnah waljamaah dengan mengambil hukum daripada Quran, Hadist, Qias, dan Ijma’ alim ulama ahlussunnah waljamaah dengan hukum, dengan adat, dengan reusam, dengan qanun, yaitu syara’ Allah, syara’ Rasulullah, dan syara’ kami bernaung di bawah panji-panji syariat Nabi Muhammad dari dunia sampai akhirat dan dalam dunia sepanjang masa.”

Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa Alam Peudeung adalah bendera yang warna dasarnya merah bergambar pedang dan bulan-bintang di atasnya. Hal itu seperti yang terdapat pada halaman pembukaan buku Tarich Atjeh dan Nusantara karya Zainuddin. Namun, Zainuddin tidak menjelaskan dari mana sumbernya dan siapa yang membuat ilustrasi bendera seperti itu. Dalam sumber Belanda disebutkan, di antaranya hasil penelitian yang dilakukan oleh Brooshoff, ia menulis buku Geschiedenis van den Atjeh Oorlog 1873-1886 (Sejarah Perang Aceh 1873-1886). Brooshoff menyebutkan, “De Atjehsche vlag is den witte kris op een rood veld. Soms ziet men ook in plaats van de kris, twee witte gekruiste klewang  (Bendera orang Aceh adalah bergambar keris putih pada dasar berwarna merah, terkadang juga orang melihat keris tadi menjadi dua pedang (klewang) putih yang bersilang).” Brooshoff tidak menyebutkan adanya bintang-bulan, tetapi keris bersilang. Keris yang dimaksudkan oleh Brooshoff dapat berarti reuncong atau pedang, karena bisa jadi ia tidak tahu namanya dalam bahasa Aceh ketika itu. Dalam buku J. Kreemer, Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk van Atjeh en Onderhoorigheden, jilid II disebutkan, bendera Aceh bernama Alam Cap Peudeung yang juga dinamakan Alam Radja. Selain itu, ia juga menyebutkan adanya bendera yang digunakan pada masa kerajaan Aceh, yaitu alam merah pada saat perang dan alam putih pada saat damai atau disebut juga alam ta’lok.

Selain Alam Peudeueng, sebagaimana disebutkan oleh J. Kreemer, pada masa kerajaan Aceh terdapat banyak bendera, misalnya bendera dalam peperangan. Pada tahun 1840 M terjadi suatu pertempuran antara pasukan kerajaan Aceh dengan pasukan kerajaan Belanda di Barus. Belanda berhasil merebut bendera perang pasukan Aceh. Bendera itu dirampas oleh Letnan Bisschoff dari benteng yang didirikan oleh pasukan-pasukan Aceh dekat Barus pada awal April 1840. Warna dasar bendera adalah merah dan di atasnya terdapat gambar sebilah pedang dan sebuah bulatan seperti bulan purnama yang berwarna putih. Dalam bulatan pada sudut kanan atas bagian luar bendera terdapat tulisan yang berbunyi, “Bismi l-lahi majriha wa mursaha, inna rabbi laghafurun rahim. Nasrun mina l-lahi wa fathun qarib, wa basyasyri l-mu minin.”

Kalimat itu artinya,  dengan  nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuh, sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun dan Maha Penyayang, pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat dan sampaikanlah berita kepada orang-orang yang beriman.

Pada gambar sebelah dalam bendera terdapat tulisan sebagai berikut, “Bi-smi l-lahi al rahmani al rahim, Asadu l-lahi al-ghalib, Ali ibnu Abi Talib Karrama l-lahu wajhah, Nadi Aliyyan muzhira l-aja’ib, tajib awnan laka fi l-nawa’ib, bikulli hammin wa ghammin sayajil, binubuwwatika ya Muhammad wa biwilayatika ya Ali, la fata illa Ali, la sayfa illa za’faqar, khairu khalqi al-rahmani kabiru al-muminin, ya huwa kabiran azim, ya man huwa, ya man la illaha illa huwa.”  Artinya, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, singa Allah Ta’ala yang perkasa, Ali bin Abi Talib, semoga Allah memuliakan wajahnya, panggillah Ali yang dapat melahirkan berbagai keajaiban, Anda akan mendapat pertolongan dalam kesusahan, bagi tiap-tiap kegelisahan dan duka cita akan lenyap, dengan berkat kenabianmu ya Muhammad dan dengan pimpinanmu ya Ali, tiada pemuda (yang paling perkasa) selain Ali, tidak ada pedang (yang paling tajam) selain pedang zulfakar, makhluk yang paling baik dari Tuhan Yang Maha Pemurah! Orang-orang yang paling besar di antara orang-orang mukmin, wahai Dia, Yang Maha Besar lagi Maha Agung, wahai Dia, tiada Tuhan melainkan Dia.

Pada bagian sebelah luar bendera di bagian gagang pedang terdapat tulisan, “Hadha l-murabba u kana mauwdhu an ala liwa’i l-Iskandar (Segi empat ini terletak pada bendera Iskandar).” Pada ujung pedang terdapat kalimat La illaha illa Allah (Tiada Tuhan melainkan Allah). Dalam segi empat bendera tersebut terdapat pula 10 buah segi empat kecil yang memuat nama Allah sebanyak sepuluh nama, yaitu Qaim (menjaga), Qayyum (berdiri sendiri), Quddus (maha suci), Qadir (maha menentukan), Qawi (maha kuat), Qahir (maha menguasai), Qadim (tidak berawal), Qabid (menyempitkan rizki), Qarib (maha dekat), Qabilu l-tawab (maha menerima taubat).

Pada sekeliling segi empat bendera terdapat tulisan, “Wa ya qadiran ahlik aduwwi wolanda bi-kaidihi, aw muqtadiran arrazi l-kadzuba l-muqawilla wolandu, wa ya qadiran  ahlik aduwwi wolanda bi-kaidihi wa muqtadiran arrazi l-kadquba l-muqawwila wolanda (Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa hancurkanlah musuhku Belanda dengan tipu dayanya, atau zat yang menguasai orang yang dihinakan, bagi pembohong dan banyak omong, yaitu orang-orang Belanda, dan wahai Tuhan Yang Maha Kuasa hancurkanlah musuhku Belanda dengan tipu dayanya, dan zat yang menguasai orang yang dihinakan; bagi pembohong dan banyak omong, yaitu orang-orang Belanda).

Asal-usul Alam Peudeueng yang digunakan pada zaman Kerajaan Aceh boleh jadi terinspirasi oleh model bendera Turki. Sultan Aceh, Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar (1537), mengambil kebijakan resmi menjalin hubungan dengan kerajaan Turki. Sebagai imbalannya, sultan Turki memberikan bantuan militer kepada Aceh untuk mengusir penjajahan Portugis. Kenangan-kenangan dari hubungan itu terus dihidupkan di Aceh dengan bendera merah Ottoman yang dikibarkan oleh para sultan dan meriam besar Lada Secupak yang ditempatkan di dalam (istana). Bendera dan meriam tersebut begitu dihormati di Aceh sebagai pemberian khalifah Turki dan sebagai lambang perlindungannya kepada kerajaan Aceh.
 
Sudirman
Penulis adalah PNS pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh-Sumut. E-mail: dirmanaceh@ymail.com

No comments: