Asimilasi Budaya Islam dan Jawa

Pintu gerbang menuju makam raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta.
Pintu gerbang menuju makam raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta.

Islamisasi Mataram melahirkan Islam Kejawen yang hingga kini masih dianut sebagian masyarakat.

Saat Mataram berkuasa, tanah Jawa telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya. Pascakesultaan Demak, estafet dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram. Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.

Meski Demak mampu mengislamkan tanah Jawa, aktivitas keislaman lebih banyak terjadi di kawasan pesisir. Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun, Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.

Saat Mataram berkuasa, dakwah Islam mulai berubah. Mereka sangat erat memadukan budaya Islam dan budaya sebelumnya. “Dalam segi keagamaan masanya (Sultan Agung) cenderung mengadakan pertimbangan antara Islam dan Hindu,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia.

Sutiyono dan Ahmad Dzulfikar dalam buku Benturan budaya Islam: puritan & sinkretis mengatakan, Kerjaan Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa atau kurang lebih berada di pusat tanah Jawa menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang ortodoks dengan paham Jawa-Hindu. Islamisasi Jawa semakin kuat, dan sebaliknya, Jawanisasi Islam juga sangat kuat. Terlebih setelah Mataram menaklukkan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir utara Jawa, seperti Pasuruan (1617), Tuban (1619), Surabaya (1625), Pati (1627), dan Giri (1636).

“Kota-kota itu dihancurkan karena kharisma Islam pesisir yang puritan masih bergema memengaruhi wilayah pedalaman. Penghancuran wilayah pesisir jelas mempunyai maksud politik, yakni pimpinan negara Mataram akan menerapkan Islam sinkretis, mengingat rakyat pedalaman masih kental dengan paham pra-Islam (Kejawaan). Dengan demikian, berdirinya kerajaan Mataram berimplikasi pada perubahan dari Islam ortodoks menjadi Islam kejawen (percampuran antara Islam dan paham kejawen),” ujarnya.

Dalam buku tersebut juga disebutkan, Islam pada awalnya disebarkan ke Jawa masih dalam bentuknya yang asli. Tetapi, setelah dibawa ke wilayah pedalaman harus menyesuaikan dengan budaya Jawa atau tradisi lokal. Ketika kerajaan Demak masih kokoh, Islam disebarkan secara puritan. Namun demikian, para penguasa Jawa yang kental dengan tradisi lokal, seperti Hadiwijaya dan Senopati, memantapkan Kerajaan Islam bergeser dari wilayah pesisir ke wilayah pedalaman yang masih bergelut secara mengakar dengan budaya Jawa agraris-tradisional zaman Majapahit. Oleh karena itu, sinkretisme Islam di wilayah pedalaman lebih menguat. Terlebih setelah penguasa Mataram (Sultan Agung) menghancurkan pusat-pusat kota peradaban Islam puritan di wilayah pesisir.

Dalam sejarah, Sultan Agung memang tercatat lebih cenderung pada sinkretisme. Selain memindahkan pusat peradaban Islam ke daerah pedalaman, sultan juga tak lagi dekat dengan keturunan Walisongo. Kesultanan Mataram juga membiarkan para ulama yang menganut paham mistis. Selain itu, Sang sultan pernah melakukan zaiarah ke Tembayat. Ia juga memilih menggunakan kalender Saka ketimbang Islam.

Ziarah agung
Ziarah agung pada 1633 tampaknya merupakan titik balik dalam Islamisasi di Jawa. Sampai saat ini, ketika Islam telah menyebar di seluruh pulau Jawa (berkat Islamisasi Demak), tampaknya dinasti Mataram masih belum menganut agama baru itu dengan antusiasme penuh. Paling tidak, kerajaan ini masih menggunakan sistem penanggalan solar Hindu-Saka untuk acara-acara kerajaan, bukannya sistem penanggalan-lunar Islam.

“Dan di antara musuh-musuh utamanya adalah keturunan Sunan Giri yang dikenal sebagai salah satu wali Islam yang paling senior di Jawa. Ziarah Sultan Agung ke Tembayat meniggalkan bukti yang mengesankan bahwa sekarang Agung berusaha menempatkan dinasti Mataram di pusat dan bukannya di tempat yang jauh dari proses Islamisasi,” ujar Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

Senada, Mark R Woodward dalam Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan menuturkan, tradisi tekstual Mataram begitu memelihara sintesis Jawa modern. Banyak interpretasi sufi mengenai Islam yang digunakan sebagai suatu aksioma untuk mengatur, menjelaskan, dan menanamkan makna ke dalam metafisika, mitos, dan ritual Hindu-Jawa. Mereka menjadikan unsur syirik, sihir, serta epik-epik hindu dan teori kesaktian lain dapat masuk kedalam aturan kosmologis dan teologis Islam.

Mataram melakukan proses Islamisasi yang mensyaratkan sejumlah prinsip, seperti teori mengenai sihir, tauhid, kewalian, dan jalan mistik, harus diseleksi untuk membuat kategori-kategori pengetahuan ensiklopedik yang bisa didefinisikan sebagai “Hindu”.

Kondisi masyarakat Muslim era Mataram mungkin sangat pas dengan teori Clifford Geertz yang memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama, yakni santri yang merupakan kalangan Muslim ortodoks, yang menerapkan syariat Islam murni; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; dan abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.
 Afriza Hanifa
Redaktur : Heri Ruslan

No comments: