Bandung 1955 (5) Menolak Miss Pekan Raya, Perjudian dan Insiden Bioskop Rivoli

Pada 17 Agustus 1955 Republik Indonesia merayakan proklamasi kemerdekaannya yang ke sepuluh. Perayaan sepuluh tahun kemerdekaan ini diadakan lebih lega, khususnya di kota Bandung setelah berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika dengan sukses. Tahun 1955 menjadi tahun yang penting karena untuk pertama kalinya diselenggarakan Pemilu pada 29 September 1955. Sekalipun Kabinet Ali Sastroamidjojo juga bubar, namun untuk pertama kalinya sebuah kabinet bisa bertahan lebih dari satu tahun.
Di beberapa tempat perayaan kemerdekaan ke sepuluh tampaknya sudah mencoba menyelenggarakan beberapa event yang tidak hanya berbau “nostalgia perjuangan”. Sayangnya event yang disebut akan diselenggarakan segera menuai resistensi. Misalnya saja kabar akan diselenggarakannya pameran pemilihan puteri pada Pekan Raya Jakarta ke III untuk menyambut perayaan ke sepuluh Proklamasi Kemerdekaan RI ini justru memicu reaksi keras di kota Bandung.
Di antara yang bereaksi adalah Hadijah Salim, anggota DPRDS Kota Besar Bandung (anggota parlemen yang paling reaktif kalau ada hal-hal yang dianggapnya menyimpang dari nilai-nilai ketimuran, tepatnya Islam). Dalam pernyataannya yang dimuat di Pikiran Rakjat pada 2 Agustus 1955 mempertanyakan ke mana arah pameran puteri yang diselenggarakan Dewan Exhibition Indonesia Pusat (Dexip). Wanita menurut Hadijah bukanlah barang tontonan, permainan atau benda mati. Wanita adalah mahluk Tuhan yang mempunyai perasaan halus, ibu masyarakat dan ibu rumah tangga. Oleh karena itu wanita harus dihormati. Dia menuding bahwa wanita yang mau dipertontonkan itu sudah bejat moralnya, sesat dan tidak tahu diri.
Pernyataan yang dilontarkan Hadijah Salim merupakan lanjutan dari resistensi yang ditunjukkan sejumlah organisasi wanita Bandung terhadap apa yang disebut sebagai Pemilihan Miss Pekan Raya Jakarta. Organisasi-organisasi yang menentang anatara lain Muslimat, Daya Sunda, Perkiwa, Perwari dan GPII Puteri . Di antara barisan penentang terdapat Ny. Samedi dari Perkiwa yang menyebutkan bahwa beauty contest bertentangan sekali dengan kesusilaan kita sebagai bangsa timur.
Rekannya Ny. Sudji juga menyebutkan bahwa anak-anak gadis Indonesia disuruh hidup di luar batas kesopanan. Kontes itu lebih besar bahayanya daripada faedahnya. Toko yang lantang bersuara lainnya adalah Ny.Kosasih dari Daja Sunda yang menyebutkan bahwa pemilihan miss keterlaluan. Kita tidak bisa ketawa melihat rakjat dan masjarakat kita jang senantsiasa menderita, baik karena gangguan keamanan di desa-desa dan karena tekanan ekonomi jang meningkat terus (Pikiran Rakjat, 15 Juli 1955).
Seakan angin lalu pekan raya itu tetap terselenggara di kawasan Jendral Sudirman, Jakarta dan dibuka pada 19 Agustus 1955. Laporan Pikiran Rakjat 20 Agustus 1955 pembukaannya di bawah hujan gerimis tidak mengurangi keramaian. Dimulai dengan pidato-pidato, menekanan knop tanda permulaan, hingga arak-arakan bendera negara peserta yang berjumlah 16 negara termasuk Republik Rakyat Cina dan Filipina yang sampai mengirim band. Hadir dalam acara itu sejumlah anggota kabinet baru Burhanuddin Harahap, yaitu Wakil Perdana Menteri R. Djanu Ismadi, Menteri Luar Negeri Anak Agung Gde Agung, Menteri Perekonomian Kasimo, Menteri pertanian Sardjan, Menteri Sosial Sudibjo, Walikota Jakarta Sudiro dan Ny.Fatmawati Sukarno. Dalam pekan raya itu Amerika Serikat memperkenalkan televisi pada masyarakat Indonesia yang waktu itu merupakan barang baru (lihat juga Antara 19 Agustus 1955).
Warga Bandung lebih reaktif dengan penyimpangan moral di kotanya sendiri. Misalnya saja penyelenggaraan pasar malam di Lapangan Lodaya, Bandung bulan Juli 1955 juga menimbulkan protes. Seorang warga kota bernama I.Danaatmadja dalam tulisannya “Dibiarkan Judi” juga dimuat dalam Pikiran Rakjat, 15 Juli 1955 mengkhawatirkan adanya stand-stand permainan dalam arena. Bangunan yang dituturkannya berada paling sudut di sebelah selatan , bangunan terbesar dipenuhi orang-orang mengadu untung dengan meja tombola (semacam meja permainan ketangkasan). Di antara mereka terdapat pegawai negeri sipil dan militer yang seharusnya tidak diperbolehkan masuk. Kebanyakan yang hadir adalah warga negara Indonesia dan harusnya mencabut izin permainan tersebut.
Pihak berwajib menjawab bahwa terjadinya perjudian di pasar malam diakibatkan tekanan ekonomi yang semakin berat. Meskipun perjudian kentara, tetapi Kepolisian Keresidenan Priangan mengklaim bahwa angka kejahatan pada triwulan kedua terjadi 3740 kasus kejahatan atau turun 7 persen dibanding triwulan pertama 3993 kasus. Dari 3740 kasus itu, sebanyak 189 kasus pembunuhan, 19 kasus penculikan dan 1054 kasus perampokan. Jumlah kerugian masyarakat Rp16 juta dan hanya Rp1,5 juta kembali ke pemiliknya. Di pihak polisi 9 personel gugur dan 6 luka dalam menghadapi gerombolan dalam wilayah Keresidenan Priangan. Dari jumlah kasus dan korban di pihak polisi jelas bahwa Priangan masih terbilang rawan (Pikiran Rakjat, 29 Juli 1955).
Pada Agustus 1955 sebuah laporan dari warga yang dimuat di Pikiran Rakjat 10 Agustus 1955 soal judi sudah diadakan di pemukiman, Jalan Pagarsih, Bandung di belakang sebuah rumah nomor 8 yang disebutnya sebagai rumah Gan liong Hoat. Judi yang diadakan di sana sabung ayam, main domino hingga adu muncang (semacam buah). Bahkan beberapa alat negara tampak ada di arena. Suasana waktu diadakan permainan sangat gaduh dan lokasi itu banyak tinggal para pelajar sekolah.
Perayaan 17 Agustus di Bandung dipusatkan di Tegallega juga sudah semakin variatif. Setelah upacara yang dihadiri sekitar setengah juta warga kota dan perwakilan dari 90 partai dan ormas yang ada di Bandung menurut Pikiran Rakjat 18 Agustus 1955. Setelah upacara diadakan pawai yang disaksikan oleh Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata, walikota Bandung Enoch dan Ketua DPRDS Kota Besar Bandung EZ Muttaqien. Pawai keliling kota dimulai jam 10.25 mulai dari Angkatan darat,Mobil Brigade, Barisan Pejuang Islam, disusul barisan barongsai dan unta.
Di Lapangan Tegallega juga diadakan hiburan rakyat mulai dari adu layang-layang dan balapan karung . Kegiatan lain ialah pawai obor keliling pada 18 Agustus 1955 malam hari dari lapangan Tegallega, Pasarbaru, Jalan Raya Barat, Kebun Jati, Kebun Kawung, Gubernuran hingga berakhir di alun-alun. Acara peringatan proklamasi di kota Bandung juga diperingati dengan pawai kendaraan bunga di jalan utama kota kembang itu.
Justru di Bandung perayaan proklamasi sempat diwarnai ketegangan yang tidak perlu. Upacara di Balai Penyelidikan Tekstil yang dihadiri oleh para pelajar mendadak ricuh ketika barisan massa dari sejumlah partai politik mendesak maju membawa poster-poster dan atributnya. Para pelajar puteri terdesak dan terjepit di antara mereka. Padahal rombongan ini datang terlembat sampai satu jam sekitar pukul pagi. Peristiwa diprotes dari seorang menamakan dirinya Leoo Lahael dalam tulisannya “Panitya Celaka 17” dalam Pikiran Rakjat, 24 Agustus 1955. Kemungkinan masuknya massa parpol itu luapan rasa antusias menghadapi pemilu, sekaligus berkampanye.
Insiden Bioskop Rivoli, Tukang Becak dan “Koboi”
Ketegangan yang paling membuat gempar warga kota terjadi pada 5 September 1955. Sekitar pukul 16.00 di bioskop Rivoli, Kosambi, diputar film A Song To Remember. Semua film drama musikal produksi 1945 sebetulnya untuk semua umur dan bukan sebuah film yang bisa menstimulus penonton untuk berbuat kekerasan. Tapi pada jam itu hadir 5 orang pelajar SMP berusia 15-16 tahun dari berbagai sekolah, seperti SMP 4, SMP 5, SMP Wishnu dan SMP Jalan Airlangga berpakaian ala cowboy.
Ketika hendak menonton dan mengambil tempat duduk, lewat seorang pemuda berbadan tegap yang kemungkinan adalah anggota Mobil Brigade yang tidak menyukai penampilan para pelajar itu. Dia berkata sambil menuding kea rah anak-anak remaja itu : “Ah, ini koboi-koboi yang harus diberantas!” Pemuda itu mengambil tempat duduk tidak jauh dari lima pelajar itu. Kemudian ia melempar kertas yang sudah digumpalkan ke arah mereka dan mengenai salah satu di antaranya.
Pelajar itu menoleh dan berhadapan muka dengan pemuda itu. Pemuda berbadan tegab itu itu bangkit dan berkata : “Apa lu lihat-lihat!” dia menghampiri dan memegang leher baju pelajar itu dan tinju pun melayang. Para pelajar lain mencoba menengahi tetapi mendapat bagian pula. Mereka kemudian lari keluar. Namun rupanya pemuda ini kemudian mengejar dan berlari menuju Kantor Polisi Kosambi untuk meminta polisi menangkap para “cowboy” itu.
Tak lama kemudian datang polisi dan dua truk penuh personel Mobil Brigade. Empat dari lima pelajar tertangkap dan seorang lagi lolos. Yang tertangkap diserahkan ke Mobil Brigade dan mendapatkan pukulan dan tendangan, bahkan siksaan seperti menghadapi tentara musuh. Para pelajar itu dipukul dengan ganggan senapan dan sepatu berpaku besi. Bahkan para tukang becak yang mengerumuni para pelajar juga ikut melakukan pemukulan. Akibatnya keempat pelajar luka-luka dan mendapat perawatan di Rumah Sakit Rancabadak (Pikiran Rakjat, 6 September 1955).
13704230931186153778
Tukang becak di Jalan Pasteur Bandung pada 1950-an (Kredit foto www.luk.staff.UGM.ac.id juga Troppen Museum)

Insiden itu rupanya berkaitan perkelahiran antara kelompok pemuda Indo dan yang berasal dari Ambon dengan sejumlah tukang becak di Jalan Progo, Bandung, beberapa waktu sebelumnya. Tidak banyak informasi soal perkelahian berbau ras ini karena mungkin pihak berwajib menutup akses pada wartawan. Sumber lain saya dapatkan dari Berita Antara No.251 A Kamis 8 September 1955 menyebutkan sebagai “keadaan apa-apa” di kalangan tukang becak. Sewaktu-waktu para tukang becak itu berkumpul atau berbondong-bondong di salah satu jalan terutama malam hari sejak berapa hari sebelumnya.
Menurut informasi dari Antara keadaan “apa-apa”ini diketahui sejak Jum’at malam tanggal 2 September 1955 dengan adanya perkelahian antara tukang becak dengan sejumlah pemuda di Jalan Progo, di tempat seorang pendeta pengadakan “pengobatan-pengobatan ajaib”. Pada waktu itu paling sedikit dua orang pengendara becak mendapatkan luka-luka dan dibawa ke Pos PMI, sedang para pemuda yang mengeroyok lari ke tengah orang banyak. Alat-alat negera mengambil tindakan seperlunya agar tidak terjadi kejadian yang lebih panas. Golongan pemuda itu adalah golongan yang suka memakai pakaian koboi.
Pada Rabu pagi 8 September 1955 seorang pemuda dibawa ke rumah sakit akibat pukulan dan seorang tukang becak mendapatkan luka-luka akibat pukulan dalam sebuah perkelahian di suatu daerah di Bandung Selatan. Kejadiannya bermula dari serempetan itu menundang berpuluh-puluh tukang becak. Kejar-mengejar terjadi membuat kampung di sekelilingnya menjadi gaduh. Para gerombolan pemuda ini dikabarkan selalu membawa semacam alat pemukul.
Pada 9 September 1955 untuk meredakan keadaan pihak kepolisian mengadakan pertemuan dengan pihak pendidik (seperti Kepala Sekolah SMP dan SMA seluruh Kota Bandung) membicarakan kedua masalah yang berpotensi bisa menimbulkan masalah baru bagi keamanan kota. Hadir dalam pertemuan itu Komisaris Besar Mustafa Pane,Kepala Polisi Keresidenan Priangan bersama Kepala Reskrim-nya Hasan Machbul, serta Komsiaris Nazaruddin dari bagian lalu lintas.
Dalam pertemuan itu polisi berjanji mengusut kasus Insiden Rivoli dan tukang becak yang berkelahi disebut sebagai bukan bagian dari perkumpulan becak yang ada di Bandung alias becak liar. Sementara kelompok pemuda Indo dan Ambon itu dikenal sebagai kelompok anak nakal yang suka mengganggu becak. Akibat perkelahian itu becak menghilang di sejumlah titik di bagian utara Bandung untuk berapa lama terutama malam hari membuat masalah lain bagi warga kota (Pikiran Rakjat 10 September 1955).
Kecaman terhadap Mobile Brigade mengalir dalam rubrik “Mimbar Ramai” di Pikiran Rakjat. Seorang bernama Budhi mengecam polisi yang tega menyerahkan 4 anak itu untuk dipukuli anggota Mobiel Brigade sampai dirawat di rumah sakit, Bahkan ada tindakan memasukan pelajar ke dalam drum berisi air dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas sebagai sifat penjajahan yang membenci pemberontak. Tak sepantasnya seorang alat negara yang gagah melawan remaja yang berpakaian cowboy sekalipun karena mereka dalam masa pubertas (Pikiran Rakjat, 12 September 1955). Seorang warga kota bernama Enoch menuding peristiwa Rivoli adalah perkosaan terhadap hukum (Pikiran Rakjat, 14 September 1955).
Penulis surat pembaca lain Nuriata memeprtanyakan mengapa polisi tidak menangkap 4 pelajar itu dan memeriksanya. Jika memang anak-anak itu salah menurut undang-undang patut dihukum. “Saya kira tak ada undang-undang yang hukumannya badan berlaku di negeri kita. Malah polisi menyerahkan pada MB yang mengadakan suatu keputusan tanpa penyelidikan menyiksa anak-anak itu,” katanya pada Pikiran Rakjat tanggal yang sama.
Warga Bandung lainnya Hendrik Latumessy juga menyesalkan kejadian itu dilakukan oleh Mobile Brigade yang seharusnya pelindung rakyat. Tidak ditemukan penjelasana lebih lanjut apakah para pelajar berpakaian cowboy di Bioskop Rivoli itu adalah bagian geng pemuda di Jalan Progo atau mereka hanya kebetulan berpakaian cowboy.
Kemungkinan sejak 1950-an di Bandung sudah ada fenomena apa yang disebut cross boys. Bukan saja di Bandung tetapi juga di beberapa kota lain di Indonesia. Sebuah sumber menarik soal munculnya crossboy di Bandung ialah dari sebuah blog bertajuk Bandungvariety 1 yang menyebutkan bahwa pada 1950-an, Geng Tiger Mambo sangat terkenal di kalangan cross boys. Para remaja yang umumnya etnik Ambon “Indo-Belanda” itu biasa mangkal di sekitar Jln. Riau (Jln. L.L.R.E. Martadinata sekarang). Mereka sangat disegani karena anggotanya pemberani dan jagoan berkelahi. Pada masa berikutnya, di kawasan Jl. Cipaganti dan sekitarnya, ada pula geng remaja yang disegani, mereka dikenal dengan nama Boxty. Para anggotanya bukan sekadar pemberani, tetapi memiliki keterampilan tinju, karena mereka petinju-petinju amatir.
Ada yang tersirat dalam wawancaranya televisi AS dengan Dutabesar Indonesia untuk AS masa itu Mukarto Notowidigdo di Washington. Mukarto menjawab tudingan pihak barat Indonesia cenderung semakin dekat dengan RRC. Orang-orang Tionghoa di Indonesia punya hubungan tradisional dengan perusahaan Belanda daripada dengan RRC. Bahkan yang terjadi menurut Mukarto justru pemuda-pemuda Indonesia dipengaruhi oleh film Amerika Serikat (Pikiran Rakjat, 22 Agustus 1955).
Semakin maraknya kaum muda berdansa, kemudian fenomena cross boys merupakan indikasi kuatnya pengaruh budaya barat pada kaum muda di perkotaan masa itu, termasuk di Bandung. Perlahan tapi pasti memberikan konstribusi positif dan tentunya juga implikasi yang tidak menyenangkan, yaitu persoalan sosial kelak.
Irvan Sjafari
1. http://bandungvariety.wordpress.com/2008/03/12/geng-remaja-dalam-sejarah-kota-bandung/. Diakses pada 4 Juni 2013 merukan salah satu sedikit referensi saya dapat tentang keberadaan cross boys. Namun fenomena ini juga terjadi di kota-kota lain. Menurut Agus Sopian dalam tulisannya “Majalah Aktuil: Putus Dirudung Malang” yang dimuat dalam situs http://indonesiabuku.com yang saya akses pada 4 Juni 2013 memuat sedikit informasi soal cross boys. Disebutkan dalam tulisan itu di negeri asalnya, baik di daratan Eropa maupun Amerika Serikat, pemberontakan anak muda dimulai setidak-tidaknya sejak 1950-an dalam bentuk tumbuhnya subkultur rock’n roll, dengan embrio munculnya generasi cross boy. Film-film Hollywood yang dibintangi James Dean macam East of Eden atau Rebel Without a Cause, memberi siluet bagaimana pemberontakan itu dilakukan, bagaimana kebebasan berekspresi menentukan nasibnya sendiri.
Irvan S

No comments: