Bandung 1955 (6) Kekurangan Sekolah, Kelangkaan Minyak Tanah dan Terungkapnya Kasus Korupsi

Jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo pada Agustus 1955 sebagai akibat pergantian pimpinan AD dan keluarnya NU dari koalisi merupakan isu yang ramai. Kabinet baru Burhanudin Harahap dibentuk dengan tugas menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Pertarungan kekuatan politik sebelum Pemilu tercermin dalam pemilihan kepala-kepala desa, umumnya pertarungan antara kelompok Islam dan kelompok kiri.
Pada Juli 1955 misalnya seorang tokoh PKI bernama Ojo terpilih sebagai Lurah Cibeunying dengan jumlah suara 3876, sementara Nunung yang dicalokan Persatuan Organisasi Pemuda Islam berada pada posisi kedua dengan 2411 suara. Wakil dari PNI bernama Somadipura terpuruk dan hanya meraih 386 suara. Dia berada di bawah calon independen wakil lurah sebelumnya Mochamad Nawai 1825 suara dan hanya selisih dua suara dengan lurah lama Gandawidjaja. Penduduk desa Cibeunying sendiri 36 ribu jiwa dan yang berhak memilih 14.717 jiwa (Pikiran Rakjat, 12 Juli 1955).
Pemilihan ini diwarnai dengan ketegangan karena sebelum hari pencoblosan rapat POPI dilaporkan diganggu oleh tamu tak dikenal dengan membawa penari dan gendang. Massa POPI berang dan menyerang para penari dan menghancurkan gendang-gendangnya. PKI menyatakan peneysalannya dan akhirnya POPI menggani gendang-gendang itu. Pemilihan lurah ini merupakan kedua kalinya di Kota Besar Bandung , sebelumnya di Andir dan dianggap sebagai latihan menghadapi Pemilu.1
Pada Juli 1955 partai-partai Islam seperti Masjumi, PSII, NU dan Perti mengeluarkan pernyataan bersama untuk tidak saling menyerang dan bersatu menghadapi Pemilu dengan suasana Uchuwwah Islamiah. Mereka meminta seluruh cabang, anak cabang dan ranting seluruh Indonesia mematuhinya. Ketua Masjumi Jawa Barat Tubagus Djaja Rahmat menyatakan optimismenya umat Islam keluar sebagai pemenang Pemilu. Begitu juga S.W. Subroto dari NU Jawa Barat dan Nunung Kusnadi, Komisariat PSII Jawa Barat (Pikiran Rakjat, 19 Juli 1955). Pada bulan itu juga tokoh Masyumi Mohammad Natsir mengeluarkan pernyataan bahwa tidak perlu melawan komunisme dengan cara-cara di luar hukum (Pikiran Rakjat, 20 Juli 1955).
Merasa tekanan kepada ormas-ormas Islam begitu kuat, pada akhir Agustus Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Bandung mengirimkan delegasi kepada alat-alat negara karena ada serangan terhadap anggotanya di sejumlah daerah di sekitar Bandung. Disebutkan bahwa 4 orang anggota GPII ditembak, tiga orang tewas dan seorang lagi dirawat di Rumah Sakit Rancabadak. Tidak disebutkan penyerangan dilakukan oleh kelompok mana. GPII meminta bahwa pemilu mendatang bebas dari ancaman dan intimidasi. (Pikiran Rakjat, 26 Agustus 1955).
Isu bidang pendidikan juga merupakan hal ramai dibicarakan menjelang Pemilu. Di antaranya prasarana pendidikan di Jawa Barat masih belum bisa menampung ledakan jumlah murid. Pada Juli 1955 R.Koesoemahardja, Kepala Inspeksi Sekolah Rakyat Kota Besar Bandung mengumumkan bahwa jumlah lulusan Sekolah Rakyat yang ikut ujian 9345 orang. Yang lulus ujian hanya 52 persen atau sekitar 4800 orang. Dari jumlah itu yang bisa diserap sekolah lanjutannya hanya 2000 orang, yaitu di 7 SMP, 3 SGB, 2 STP, 2 SKP, SMP Partikelir sebanyak 3 buah, serta 2 SGB dan 2 STP partikelir lainnya (Pikiran Rakjat 26 Juli 1955).
Bahkan untuk memasuki Sekolah Rakyat masih sulit. Pada tahun ajaran 1955-1956 tercatat 11 ribu anak-anak di Kota Besar Bandung ingin masuk Sekolah Rakyat Negeri. Persoalannya daya tampang sekolah yang ada hanya untuk tiga ribu anak. Bandung masih menghadapi kekurangan ruangan dan alat-alat (Pikiran Rakjat, 31 Agustus 1955). Stagnansi pada infrastruktur pendidikan ini tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan pengurangan subsidi dari pemerintah terhadap Propinsi Jawa Barat hingga 20 persen (Pikiran Rakjat, 2 September 1955).
Masalah yang dihadapi orangtua murid juga menyangkut buku-buku. Pada rubrik “Mimbar Ramai” yang dimuat Pikiran Rakjat tanggal 2 September 1955 seorang warga kota dengan nama AS. Alisjahbana menulis: “.. ketika anak kami jang sulung menduduki bangku kelas VI SR kami nasihatkan padanja supaja memakai buku-buku pelajaran itu harus dengan hati-hati dengan maksud agar kelak dapat dipergunakan oleh adik-adiknja hingga turun-menurun dan tentu tak usah beli lagi. Tetapi menjesal sebelum harapan kami meleset karena buku-buku bekas si sulung itu tidak bisa dipergunakan adiknja sebab kata gurunja harus diganti dengan buku-buku karangan si Anu. Terpaksa kami merogoh kantong membeli macam buku berjumlah sekian puluh rupiah lagi…
13704972521704747734
SMP Negeri 2 Bandung masa kini, salah satu sekolah bersejarah di Bandung (Kredit foto www.sepanjangjk.wordpress.com)

Kasus Korupsi
Di tengah kesulitan pembiayaan bidang pendidikan beredar kabar di kotaBandung bahwa pemerintah Propinsi membeli tiga buah mobil bekas Konferensi Asia Afrika yang sangat mentereng dengan harga berates ribu rupiah. Yang membuat gusar adalah para pembesar yang dibelikan mobil bekas itu sudah mempunyai mobil baru (surat pembaca dari S. Ambar dalam rubrik “Mimbar Ramai”, Pikiran Rakjat, 2 September 1955).
Keesokan harinya di harian Pikiran Rakjat edisi 3 September 1955 dimuat sebuah berita tentang empat buah mobil mewah, dua mobil merek Mercedes, yang lain Chevrolette dan Dodge ditahan di pelabuhan Tanjung Priuk. Seorang berkebangsaan Tionghoa di Jakarta ditahan untuk mengetahui apa sebabnya memasukkan mboil import sebanyak itu. Pihak berwajib menduga masuknya empat mobil mewah itu berkaitan dengan pelanggaran hukum. Pasalnya sebelumnya ada kejadian masuknya lima Mercedes mewah yang dimasukkan perwakilan RI di Singapura, Arsjad Astrajuda yang dituduh tersangkut masalah korupsi.2
Dua kasus korupsi yang cukup besar dibongkar Kepolisian Daerah Priangan pada akhir Agustus 1955. Kedua kasus itu menggemparkan, karena yang dikorup hal yang tidak disangka. Yang pertama seorang penduduk Tasikmalaya ditahan karena menimbun 36 bal dan 29 blok kain kafan seharga Rp 6.000.000, sedangkan 11 bal dijual kepada beberapa orang pembatik dengan harga Rp187.200. Ceritanya setiap bulan Kementerian Agama menyerahkan 1.000.000 yard guna pembungkus mayat di seluruh Indonesia untuk dibagikan kepada umat muslimin yang tertimpa musibah. Kain kafan ini yang digelapkan dan dijadikan komoditas. Penduduk Tasikmalaya yang ditangkap itu mengaku bahwa kain kafan itu didapatkan dari orang di dalam Kementerian Agama.
Yang kedua, polisi reskrim Kabupaten Bandung menahan dua orang pembuat dandang yang ternyata bahannya dalah tembaga dari kawat telepon. Mereka menyebutkan kawat telepon itu didapat dari dua orang pedagang Tionghoa. Setelah dipaska mengaku kedua pedagang Tionghoa itu mempunyai dua ton kawat telepon tembaga yang didapat dari CV Karanadjaja yang ada di Cimahi. Pemeriksaan polisi mendapatkan 25 ton kawat tembaga di gudang mereka. Pemimpin CV itu akhirnya mengaku mendapatkan kawat telepon itu dari instansi resmi di Surabaya (Pikiran Rakjat, 26 Agustus 1955).
Kelangkaan Minyak Tanah
Sejak pertengahan 1955 terjadi kenaikan harga minyak tanah yang semakin lama semakin tidak terkendali sehingga membuat Kantor Urusan Harga membuat patokan menekan para pedagang minyak tanah. Pada 30 Agustus 1955 Ikatan Pedagang Minyak membuat pengumuman di Pikiran Rakjat bahwa harga per liter minyak tanah Rp 0,65 untuk dalam kota Bandung. Namun pada prakteknya warga menghadapi kesulitan mendapatkan minyak tanah di warung-warung. Harga minyak tanah mencapai Rp 0,90, Rp 1,25 bahkan ada yang Rp 1,50 per liter. (Antara, 5 September 1955)
Selain harganya di atas harga patokan minyak tanah sukar didapat karena kualitasnya jelek. Yang dipertanyakan sebelum adanya IPM, jawatan-jawatan dan koperasi dapat membeli minyak tanah langsung dari agennya. Namun kemudian sejak kemunculannya hanya melalui IPM. Hingga timbul pertanyaan apakah memang harga minyak tanah yang naik atau nilai mata uang (pada masa itu) merosot? Jatah minyak tanah untuk Priangan 2911 liter ton. Dari jumlah itu 2118 ton liter ton dari BPM dan 793 ton liter dari Stanvac. Padahal Priangan membutuhkan 1500 ton liter minyak tanah lagi (Antara, 5 September 1955).
Produsen minyak di Indonesia utama masa itu salah satu di antaranya Stanvac mengeluarkan pernyataan pada pertengahan September 1955 bahwa produksi minyak tanah mereka sudah melebihi kekuatannya. Setiap bulan Stanvac dan BPM membanjiri pasar Indonesia dengan 84 juta liter. Stanvac menyanggupi membanjiri pasar untuk menekan harga catutan di warung-warung (Pikiran Rakjat 15 September 1955). Bensin juga mengalami kenaikan harga mengakibatkan juga kenaikan angkutan umum seperti oplet cukup drastis dari Rp 1,25 menjadi Rp2.
Kelangkaan barang dan juga dijual di atas harga bandroll juga dialami M.Eddy Prayitno ketika membeli rokok merek Escort. Warga Jalan Purnawarman,Bandung itu ditolak membeli rokok karena dia orang Indonesia yang dianggap tidak mampu membeli rokok. Sementara seorang wanita Belanda dilihatnya dilayani dengan baik dan rokok yang dimaksud ada. Akhirnya Eddy juga bisa membeli 2 pak (bungkus) rokok dengan harga Rp 4,50 (berarti satu bungkusnya Rp2,25) (Pikiran Rakjat, 30 Agustus 1955). Namun harga rokok Escort satu bungkus sampai pertengahan September mencapai Rp 3,00 untuk satu bungkus (Pikiran Rakjat, 13 September 1955).
Ekonom Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo pernah mengungkapkan bahwa kekacauan ekonomi disebabkan terlalu banyaknya peraturan yang berbelit-belit. Dalam ceramah di Surabaya itu Soemitro meminta agar jangan memberikan dasar hukum bagi mereka yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Menurut Soemitro pemerintah Ali Sastroamidjojo gagal memajukan ekspor Indonesia karena banyak orang pemerintah mensalahgunakan kekuasaan (Pikiran Rakjat, 4 Agustus 1955).
Bandung Menghadapi Pemilu
Sejak Agustus 1955 pusat kota Bandung mulai dibanjiri macam-macam tanda gambar yang seolah-olah telah memagari taman yang ada di sana. Tanda gambar dominan di Jalan Asia Afrika, Jalan Raya Timur, Jalan Pasir Kaliki, Jalan Pasar Baru, Jalan Dago, Jalan Diponegoro dan Jalan Braga. Tanda gambar yang paling besar dipasang oleh PNI (Kepala Banteng Segitiga) di Jalan Diponegoro dan Cicadas. Sementara tanda gambar Masyumi (Bulan Bintang) tampil menyolok di Lapangan Lodaya dan Jalan Kiara Condong (Pikiran Rakjat, 31 Agustus 1955).
Selama persiapan antara April hingga September 1955 saya hanya menemukan satu sumber yang menyebutkan terdapat laporan adanya pelanggaran di Jawa Barat, yaitu kasus di Babakan, Ciparai, Kabupaten Bandung. Lurahnya ditangkap berwajib karena isterinya yang beralfiasi ke Partai Komunis Indonesia dijadikan anggota PPPS. Padahal PKI sudah menempatkan orangnya sesuai peraturan bahwa PPPS harus mewakili golongan politik yang mengikuti Pemilu, yaitu golongan kebangsaan, agama, sosialis (Pikiran Rakjat, 6 September 1955).
Pada 2 September 1955 Kolonel Kawilarang selaku Koordinasi keamanan Daerah di Jawa Barat mengatakan bahwa Jawa Barat memang termasuk daerah dalam keadaan perang (SO). Penjagaan keamanan seperti pengiriman langsung kertas-kertas suara, tempat penyimpanan alat-alat dan surat pemungutan suara dilakukan oleh polisi. Satuan tentara lebih difokuskan tugas patroli dan pengejaran terhadap gerombolan bersenjata (Antara, 2 September 1955).
Pada Selasa, 20 September 1955 sebanyak 13 kompi tentara hadir dalam apel di lapangan dekat Gedung Sate. Tentara menyatakan siap menjaga tugas keamanan selama Pemilu. Apel dipimpin Komandan Militer Kota Besar Bandung yang baru menjabat masa itu Mayor Suprapto Wongso Pranoto (Pikiran Rakjat, 21 September 1955).
Suasana kampanye berlangsung cukup kondusif. Misalnya saja kampanye terakhir antara Partai Masyumi (Bulan Bintang) dan Partai Sosialis Indonesia (Bintang Padi) pada Rabu, 21 September 1955 menunjukkan ketika rombongan massa mereka menggunakan truk, oplet, sedan, pickup,becak, sepeda kumbang, berpapasan di Astananajar dan saling menyeru: Hidup PSI! Hidup Masyumi! (Pikiran Rakjat, 22 September 1955) Bandung siap menghadapi Pemilu 29 September 1955.
Irvan Sjafari


No comments: