Bung Karno Salah Perhitungan

Jika Korea Selatan dan Korea Utara memiliki memori kolektif yang sangat kuat berupa Perang Korea tahun 1950-1953, maka Indonesia dan Malaysia (yang didukung Inggris) memiliki sejarah kelam yang bahkan nyaris dilupakan dalam konfrontasi Dwikora tahun 1964-1966. Inggris yang tidak tinggal diam menyaksikan negara persemakmurannya diobok-obok militer Indonesia yang berkedok sukarelawan dalam membantu perjuangan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) atas perintah Presiden Sukarno, kemudian menggelar operasi militer rahasia bersandikan Operation Claret yang sebagian besar detailnya masih bersifat rahasia hingga saat ini karena berisikan strategi anti gerilya dan perang hutan tropis (operasi gabungan polisi dan militer, informasi intelijen yang cepat dan akurat, mobilitas dan fleksibilitas, dominasi atas hutan rimba, dan memenangkan kepercayaan penduduk asli) yang efektif mematahkan perlawanan militer Indonesia.
Pasca Perang Dunia II, kekuatan AD Inggris hanya bertumpukan pada 60 batalyon infanteri, kavaleri dan zeni yang tidak seluruhnya bersiaga di tanah air. Sebanyak 20 batalyon ditempatkan di Timur Tengah untuk mencegah eskalasi konflik Arab-Isr4el yang makin memanas. 24 batalyon lainnya ditempatkan di Eropa Barat (Jerman dan sekitarnya) untuk membendung pengaruh komunisme Uni Soviet. Sehingga secara riil kekuatan AD Inggris yang dapat dikerahkan di Semenanjung Malaya dan Borneo berjumlah tidak sampai 10 batalyon mengingat harus ada pasukan yang stand by menjaga keamanan dalam negeri. Karenanya agar operasi militernya berjalan efisien, Inggris mengerahkan tiga pasukan elit terbaiknya, yaitu Special Air Service (SAS), British Parachute Regiment, dan tentara legendaris dari pegunungan Nepal yang telah malang melintang dalam berbagai pertempuran terbrutal di dunia, Gurkha. Belum termasuk bantuan pasukan elit dari negara persemakmuran lainnya seperti SAS Australia.
Indonesia sendiri meskipun selalu menyangkal menerjunkan pasukan regulernya, diam-diam menerjunkan pasukan khusus terbaiknya yang disamarkan sebagai sukarelawan TNKU, yaitu Raiders dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD/Kopassus) dari Angkatan Darat, Korps Komando (KKO/Marinir) dari Angkatan Laut, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT/Paskhas) dari Angkatan Udara. Semangat tempur pasukan Indonesia di tingkat bawah masih lumayan tinggi karena Indonesia baru saja sukses mengalahkan Belanda dalam Kampanye Trikora merebut Irian Barat tahun 1961-1963. Sebaliknya jenderal-jenderal militer terbaik Indonesia, khususnya dari Angkatan Darat, diliputi keraguan mendalam karena lawan yang dihadapinya kali ini adalah militer Inggris yang kemampuan bertempurnya beberapa tingkat di atas militer Belanda. Angkatan Darat juga sudah sampai pada titik jenuh berperang karena diperintahkan bertempur oleh Presiden Sukarno secara terus menerus tanpa jeda, mulai dari memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958, DI/TII Jabar dan Aceh tahun 1949-1962, sampai merebut Irian Barat tahun 1961-1963.
Jika dibandingkan pasukan komando Belanda, Korps Special Tropen (KST) yang menjadi acuan pembentukan Kopassus sekalipun, kemampuan pasukan komando Inggris jelas berada jauh di atasnya karena sanggup mempecundangi pasukan komando Jerman, Waffen SS, dan pasukan komando Jepang, Imperial Guards, selama berlangsungnya Perang Dunia II. Para jenderal AD seperti Ahmad Yani dan Suharto mengkalkulasi bahwa dalam konfrontasi kali ini di atas kertas, TNI tidak akan mampu mengimbangi kehebatan militer Inggris yang diperkuat pasukan khusus terbaiknya. Secara kualitas persenjataan, senapan serbu Inggris adalah AR-15 (kelak menjadi senapan legendaris M-16) yang berbobot ringan dan sangat unggul dalam akurasi. Sementara TNI sejak tahun 1962 menggunakan AK-47 yang “bandel”, tetapi berat dan kurang akurat.
Ada dua pertempuran legendaris antara militer Indonesia melawan Inggris (Malaysia tidak masuk hitungan karena bisanya hanya bersembunyi di balik ketiak Inggris) yang tercatat dalam sejarah selain penyerangan ke Kalabakan, Sabah, oleh KKO pada akhir tahun 1963. Keduanya adalah serangan RPKAD ke markas batalyon 2nd Para di Plaman Mapu, dan serangan Gurkha ke pos Batalyon 428 Raiders Diponegoro di Gunung Tepoi, dua-duanya terjadi di perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak. Serangan-serangan sporadis berupa infiltrasi dan inkursi yang dilakukan militer Indonesia dan Inggris sendiri biasanya berjarak maksimal 10 km dari perbatasan untuk menjaga rantai logistik sekaligus memudahkan pengunduran diri baik dengan berjalan kaki maupun operasi mobil udara menggunakan helikopter.
Dalam raid ke Plaman Mapu tanggal 23 April 1965, 3 peleton RPKAD berhasil mempermalukan 2nd Para yang menderita korban tewas 9 orang sementara di pihak RPKAD sendiri 2 prajuritnya gugur diberondong senapan mesin GPMG dari jarak sangat dekat. Inggris yang merasa sangat malu dan kecolongan atas peristiwa ini kemudian menyebarkan propaganda bohong bahwa pihaknya berhasil menewaskan 300 orang prajurit RPKAD dengan barang bukti senapan serbu AR-15 dan pelontar granat XM-148. Kelak kebohongan Inggris terbongkar karena pada kenyataannya sampai dengan peristiwa pemakaman tujuh pahlawan revolusi korban tragedi G30S/PKI, RPKAD belum pernah menggunakan AR-15, apalagi pelontar granat XM-148. Lagipula hampir mustahil mengerahkan pasukan dalam jumlah besar mendekati setengah batalyon sekaligus di tengah belantara Kalimantan.
Serangan RPKAD tersebut kemudian dibalas dengan telak oleh 2nd Gurkha Rifles yang menyerang pos penjagaan Batalyon 428 Raiders dari Divisi Diponegoro di Gunung Tepoi pada tanggal 21 November 1965 yang menewaskan 24 prajurit Indonesia dan “hanya” menewaskan 3 prajurit Gurkha. Prajurit Indonesia yang gugur rata-rata dalam kondisi lengah seperti tengah mencuci pakaian dan mandi. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia mengakuinya dengan besar hati dan tidak menyebarkan berita bohong seperti yang dilakukan oleh Inggris pada kasus serangan RPKAD di Plaman Mapu. Indonesia yang situasi di dalam negerinya tengah guncang akibat peristiwa G30S/PKI memilih untuk tidak melakukan pembalasan. Sampai dengan akhir konfrontasi, korban tewas di pihak Indonesia mencapai 570 orang dan di pihak Inggris tidak sampai 100 orang. Sisi positifnya, sebagai negara muda yang baru merdeka selama kurang dari 20 tahun, Indonesia mampu menunjukkan perlawanan yang berarti kepada negara yang angkatan perangnya pernah merajai 1/3 wilayah dunia.
Pelajaran yang dapat diambil dari Kampanye Dwikora yaitu jika negara ragu-ragu untuk berperang, maka lebih baik menahan diri daripada menderita kekalahan karena akhirnya rakyat jugalah yang menanggung akibatnya. Militer Indonesia yang ragu-ragu dan tidak siap berperang dengan Inggris akhirnya disusupi oleh kekuatan asing yang menusuk Presiden Sukarno dari belakang, yang menjadi pembuka pintu bercokolnya neokolonialisme di Indonesia. Hasilnya, rakyat Indonesia sekarang menanggung hutang luar negeri 1.700 trilyun rupiah dan tidak bisa menikmati sepenuhnya emas serta kekayaan alam yang terkandung di perut buminya. Dalam hal ini, saya berseberangan dengan Sukarno yang terlalu memaksakan diri berperang tanpa mengkalkulasi dampak fatalnya. Apa yang dilakukan Sukarno dalam Kampanye Dwikora seolah mengulangi sejarah ketika pada tahun 1275-1292 raja Singasari, Kertanegara, membiarkan pertahanan negaranya kosong karena sebagian besar kekuatan militernya dikerahkan ke Sumatera untuk mendukung Ekspedisi Pamalayu, sehingga dapat dengan mudah dikalahkan oleh pasukan dari Gelang-Gelang (sebagian sejarawan menyatakan Kediri, sisanya menyatakan Madiun) yang dipimpin oleh menantunya sendiri, Jayakatwang.

Rizka bayu

No comments: