Cagar Budaya dan Masa Depan Sejarah

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kesempatan ikut acara Jelajah Budaya yang diselenggarakan oleh Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh. Acara ini diikuti oleh anak-anak muda perwakilan beberapa komunitas di Banda Aceh seperti Lamp On Aceh Film Community, Aceh Blogger Community, Aceh Bicycle Community, Vespa, I Love Aceh, dan Komunitas Kanot Bu.

Dari program Jelajah Budaya tersebut, kami yang muda-muda ini mendapat gambaran segar terkait Aceh di masa lampau. Pematerinya adalah Drs. Nurdin AR MHum selaku kepala museum Aceh, Adian Yahya Abu S E sebagai pakar sejarah Aceh dan Ibu Laila Abdul Jalil, arkeolog alumnus Universitas Gajah Mada. Dari modul dan penjelasan mereka kami mengetahui bahwa peradaban dan sistem pemerintahan Aceh sudah ada berabad-abad sebelum masehi. Dan tempat yang menjadi sorotan adalah Bandar aceh. Di sini dulu berdiri sebuah kerajaan bernama Lamuri.

Bukti-bukti tentang kerajaan ini masih dapat kita temui di Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh. Di kampung ini masih ada makam raja-raja dan ulama yang ditandai dengan batu nisan yang diukir. Batu-batu nisan ini dulu diimpor dari India Selatan dan sebagian lain berasal dari Pulau Batee, berdekatan dengan Pulau Aceh sekarang. Ornamen-ornamen pada nisan tersebut bermotif bingkai cermin, tumpal, flora, sulur-suluran dan kaligrafi berisi nama tokoh-tokoh yang dikuburkan. Salah satunya adalah Machdum Ali Abdullah Abdul Manaf Al-bagdady, ulama dari Bagdad yang datang ke Aceh ketika negerinya diserang Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol.

Selain nisan, di kawasan Gampong Pande kami juga menemukan pecahan keramik. Arkeolog yang menyertai kami menerjemahkan asal-usul keramik tersebut berdasarkan motif dan materialnya. Sebagian keramik-keramik tersebut berasal dari Dinasti-dinasti Cina, Burma dan Eropa. Keramik-keramik ini menjadi bukti bahwa di tempat itu pernah terjadi perdagangan skala luas berabad-abad silam.

Selain Gampong Pande, tempat lain yang menjadi bahasan kami adalah Masjid Raya Baiturrahman. Saya pribadi baru mengetahui bahwa masjid ini merupakan desain Belanda setelah mereka sendiri membakarnya.  Bentuk asli masjid ini tidak memiliki kubah. Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda menggambarkan bahwa Masjid Baiturrahman memiliki bentuk yang khas dengan bentuk bujur sangkar, dikelilingi oleh tembokbergerigi dengan atap bersusun empat dengan bubungan yang langsing mirip pagoda.

Arsitek dalam pembagunan ulang ini adalah orang Belanda sendiri, bernama Bruins dari Departemen Van Burgelijke Openbare Warken (Departemen Pekerjaan Umum) Batavia (Jakarta sekarang). Agar polanya tidak menyalahi aturan-aturan Islam, Belanda meminta nasihat dari penghulu besar dari Garut. Sedangkan bangunan masjid ini diborong oleh orang Cina bernama Lie A Sie, seorang Letnan Cina yang berkedudukan di Aceh waktu itu. Material bangunan didatangkan dari Pulau Pinang, batu marmer dari Cina, besi untuk jendela dibawa dari Belgia, kayu dari Birma, dan tiang-tiang besi dari Surabaya. Pada tahun 1927 masjid ini dilengkapi dengan menara  yang dibiayai oleh perusahaan perkebunan swasta Belanda, Deli Maatschappij (Modul Jelajah Budaya Disbudpar 2013).

Konon setelah diperbarui oleh Belanda, berbulan-bulan lamanya orang Aceh menolak menggunakan masjid tersebut dengan alasan  “dibangun oleh kafir”. Untuk selanjutnya, pada tahun 1958, terjadi penambahan-penambahan di bawah Gubernur Aceh, Ali Hasjmy dan juga Ibrahim Hasan. Kelak tempat ibadah ini menjadi icon masjid berkubah pertama di Asia Tenggara.

Selain Masjid Raya Baiturrahman, terdapat juga masjid Baiturrahim yang terletak di Kecamatan Meuraksa, Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.  Masjid ini adalah hadiah yang  diberikan Belanda karena Teuku Ne’ Raja Muda Seutia beserta pengikutnya dan Teuku Lampaseh bersedia tunduk dan bersahabat dengan Belanda. Pembangunan masjid Baiturrahim menjadi lambang kekuasaan Belanda atas wilayah Ulee Balang Meuraksa kala itu. Di dinding teras bagian atas masjid juga dapat kita lihat relief yang merepresentasikan negara Belanda yaitu bunga tulip.

Situs sejarah penting yang juga kami kunjungi adalah masjid Indrapuri. Masjid kuno ini pernah dipakai sebagai tempat penobatan sultan Aceh yaitu Tuanku Muhammad Daud Syah pada tahun 1817. Dipilihnya masjid ini sebagai tempat penobatan Sultan Aceh karena Masjid Raya Baiturrahman dibakar oleh Belanda. Mesjid ini disebut juga sebagai Masjid Lhee Sagoe atau mesjid Peuneugot Poteumeuruhom Meukuta Alam karena didirikan oleh Sultan Iskandar Muda. Namun tidak disebutkan secara pasti tanggal masjid ini didirikan. Masjid ini disebut juga masjid benteng karena memiliki dinding sekeliling yang tebal tersusun berundak-undak. Setiap undakan terdapat halaman atau pelataran. Semakin ke atas semakin kecil, yang mengindikasikan kesinambungan budaya prasejarah dan Hindu kemudian diadopsi oleh budaya Islam.

Bangunan historis lain yang menjadi simbol kolonial masa lampau di Aceh adalah Bank Indonesia yang terletak di kawasan Keudah Banda Aceh. Pimpinan Bank ini menjelaskan bahwa asal-muasal bank tersebut adalah dari pemerintah Hindia Belanda bernama De Javasche Bank. Pertama kali bank ini dibangun di Batavia pada 24 Januari 1828. De Javasche Bank cabang Aceh didirikan pada tahun 1918. Tujuan pembangunannya adalah memonopoli dan mengontrol roda ekonomi pemerintah Hindia Belanda di Aceh. Pada tahun 1951 De Javasche Bank diambil alih oleh pemerintah Indonesia menjadi Bank Indonesia.

Inilah secuil dari situs sejarah yang sempat kami kunjungi di Banda Aceh dan Aceh Besar.Namun kami juga mendapati sisi lain yang amat memprihatinkan. Bapak Adian Yahya sendiri mengaku sempat menangis melihat banyak batu-batu nisan yang terbengkalai. Sebagian telah patah-patah terendam dalam air tambak dan pinggir laut terutama di kawasan titik nol Kota Banda Aceh. Sementara sebagian dipakai warga sebagai batu asah parang.  Sangat mudah untuk disimpulkan bahwa cagar budaya yang merupakan kekayaan kita ini nyaris tidak dilestarikan.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada bangunan-bangunan sejarah yang dimodifikasi masyarakat sehingga menghilangkan keaslian material lama yang historis seperti yang mulai terjadi di Masjid Baiturrahim dan Masjid Indrapuri yang lantainya telah ditimbun menjadi lebih tinggi kemudian dipasangi keramik mewah.  Ada yang mengatakan bahwa wawasan masa lalu penting untuk masa depan sebuah bangsa. Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, masih dapatkah kita memperkenalkan budaya dan sejarah secara segar untuk anak cucu kita kelak?

Jelajah Budaya seperti ini juga pembelajaran sejarah dan budaya yang sangat efektif untuk membangun kesadaran sejarah bagi generasi muda di tengah kentaranya hegemoni budaya asing. Akan sangat apik jika ini dimasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah di Aceh.  Juga menjadi masukan bagi pemerintah bahwa selain memperhatikan kembali  cagar alam, selama ini kampus-kampus di Aceh juga masih  sepi dari spesifikasi sejarah dan budaya Aceh. Bukankah sangat disayangkan ketika justru orang-orang seperti Denys Lombard, Anthony Reid dan orang luar lainnya yang lebih tahu tentang Aceh ketimbang orang Aceh sendiri, terutama generasi muda.

Putra Hidayatullah
*Penulis adalah peserta Jelajah Budaya Disbudbar 2013,  perwakilan Lamp On Aceh Film Community.


No comments: