Detik-detik Robohnya Jenderal Kohler di Aceh

13707082561061592956
Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. Foto ini diambil dari bawah pohon geulumpang, tempat robohnya Jenderal JHR Kohler 14 April 1873.
Sejarah Aceh cukup unik dan menarik, penuh intrik dan pertarungan politik. Meskipun Belanda sudah menguasai hampir seluruh penjuru nusantara, entah kenapa mereka belum berani merebut Aceh. Mereka baru melakukan invasi ke Aceh pada hari Sabtu, 22 Maret 1873. Hal itu ditandai ketika empat kapal Belanda merapat ke daratan Aceh, tepatnya di Utara Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Kedatangan empat kapal Belanda itu, tulis M.H. Skelely Lulofs dalam buku “Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh,” merupakan awal dari sejarah masuknya Belanda ke Aceh. Lima belas hari setelah itu, datanglah armada Belanda dalam jumlah yang lebih besar. Salah satu kapal yang merapat ke daratan Aceh bernama Citadel van Antwerpen yang ditumpangi oleh Nieuwenhuyzen (Utusan Pemerintah Belanda).
Apa alasan mereka menyerbu Aceh? Dalam surat yang ditulis Nieuwenhuyzen, dia menuduh Sultan Aceh telah merugikan saudagar Belanda karena berkomplot dengan Inggris dan Amerika. Alasan paling menyedihkan, Nieuwenhuyzen menuduh Sultan Aceh Alaidin Mahmud Syah telah membiarkan para penyamun di perairan Aceh merampoki saudagar Belanda.
Ironisnya lagi, situasi internal Kesultanan Aceh saat itu kurang kondusif. Intrik-intrik politik dan pertikaian antar petinggi dibawah Kesultanan Aceh sedang memanas. Intrik politik dan kekacauan waktu itu, seperti ditulis Lulofs, bermuara ketika putra mahkota yang sudah dewasa meminta wakil sultan (wali) untuk menyerahkan kekuasaan kepadanya. Wakil sultan menolak, dia malah menyiapkan pasukan untuk menghadapi para pendukung putra mahkota.
Kisruh, perang saudara dan pengkhianatan tak pernah reda meski armada Belanda telah bersiap-siap dilepas pantai Ulee Lheue. Perang saudara inilah yang menyebabkan lasykar Aceh tidak siap menghadapi invasi Belanda. Mereka terlalu disibukkan dengan urusan mempertahankan kekuasaan, sementara musuh sesungguhnya sedang mengintai mereka.
Akhirnya, dinihari pada tanggal 8 April 1873, kapal-kapal Belanda menurunkan pasukannya ke daratan Aceh. Begitu meninggalkan pantai, barulah pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pejuang-pejuang Aceh. Kalah jumlah, akhirnya pejuang-pejuang Aceh mundur ke pedalaman. Pasukan Belanda berusaha mencari istana (kraton-dalem) tetapi mereka tidak mengetahui persis letaknya. Benteng alam berupa rumpun bambu berduri, rawa nipah, kebun, sawah dan bukit cukup menyulitkan pasukan Belanda mendekati istana.
Kemudian, pasukan Belanda berhasil menemukan tembok besar yang tinggi dan kokoh. Mereka mengira, tembok itu adalah bagian dari istana, ternyata tembok itu adalah gerbang dari Masjid Baiturrahman. Pasukan Belanda berusaha masuk, tetapi mendapat perlawanan sengit dari pejuang Aceh. Lalu pasukan Belanda menembaki komplek masjid itu dengan peluru api. Akhirnya, masjid yang baru diresmikan itu hangus dilalap api.
Setelah masjid itu rata dengan tanah, Panglima Pasukan Belanda Jenderal JHR Kohler melakukan peninjauan ke lokasi masjid itu pada tanggal 14 April 1873. Ketika sedang berada dibawah pohon geulumpang (kelumpang), tiba-tiba sebuah peluru pejuang Aceh melenting ke arah sang jenderal. Peluru itu menembus tubuh Jenderal JHR Kohler, dia pun roboh bersimbah darah di depan Masjid Baiturrahman.
Setelah si jenderal roboh, pasukan Belanda mundur ke arah pantai. Padahal, saat itulah kesempatan untuk mengalahkan mereka, tetapi para pejuang Aceh membiarkan pasukan Belanda kembali ke kapalnya. Pejuang-pejuang Aceh berpikir bahwa pasukan Belanda yang lari dari pertempuran itu tidak akan berani kembali lagi.
Ternyata, pada bulan November 1873, pasukan Belanda kembali lagi dengan membawa 8.000 pasukan dibawah pimpinan Jenderal van Swieten. Kehadiran pasukan Belanda yang kedua kalinya inilah, kemudian mengubah sejarah Aceh menjadi begitu rumit. Pertumpahan darah dan kematian tak terhindarkan. Tidak ada yang tahu, apakah sejarah ini akan terus berulang? Wallahualam bissawab.

 Buku “Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh,” karya M.H. Skelely Lulofs

Syukri

No comments: