Khidir & Musa Berkelana di Bali dan NTT
Kisah perjalanan Khidir dan Musa di
QS Al-Kahfi menyimpan pelajaran mendalam tentang takdir manusia.
Perjalanan yang lebih tepat dikatakan sebagai time traveling melalui
majma’al bahrain (pertemuan dua lautan) ini hingga kini menyisakan
beragam pertanyaan tentang waktu dan lokasi kejadian.
http://news.liputan6.com/read/296493/sumber-air-tawar-di-dalam-laut
Seperti kita ketahui, NTT dan NTB adalah penghasil mutiara dengan kualitas terbaik di dunia, dan menyumbang 26% pasar mutiara dunia. Perahu yang dilubangi oleh Khidir ini, bertolak dari laut nangalili NTT menuju Bali, dan karam tidak jauh dari bibir pantai nanga lili, sehingga terhindar dari dirampas oleh Raja Bali saat itu.
Tujuan hak tawan karang adalah menjaga dan melindungi territorial atau wilayah kekuasaan dari musuh-musuh asing sehingga dianggap sebagai local genius dan menjadi embrio hukum adat antarbangsa. Namun, dalam pelaksanaannya, dengan menganalisa hikmah perbuatan Khidir, aturan ini penuh ketidakadilan, utamanya bagi nelayan2 miskin yg bergantung hidup pada perahu miliknya satu2nya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil………” (QS. An Nisaa’: 29)
Salaam
tvespasianus
QS
18:71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki
perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi
perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya
kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.
QS
18:78-79 Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu;
kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Siapakah
raja yang merampas tiap-tiap bahtera? Dari sejarah di dunia, kita
dapatkan bahwa aturan seperti ini merupakan keunikan dari HAK TAWAN
KARANG BALI.
Tawan karang (taban karang) merupakan salah satu hukum tradisi / adat
yang berlaku di Bali pada masa lalu. Hukum ini memperbolehkan seorang
raja menyita kapal yang terdampar di wilayah mereka beserta muatannya
dan menjadikan penumpangnya sebagai budak atau kadang-kadang dibunuh.
Penyebutan
tawan karang sudah ada sejak abad X Masehi pada masa Bali Kuno seperti
tertulis dalam prasasti Sembiran (923 M) yang terbuat dari tembaga.
IIIb. 3. “me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma
IIIb. 4. katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?”
IIIb. 4. katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?”
Terjemahan:
IIIb. 3. “dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah
IIIb. 4. diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang”
IIIb. 3. “dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah
IIIb. 4. diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang”
Senada
dengan hal tersebut, dalam sebuah prasasti yang lebih tua yaitu
prasasti Bebetin A.I (818 Saka atau 896 M) menyebutkan penyitaan
langsung terhadap perahu yang rusak:
IIb.
3. “anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana
mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan
papagerangen kuta”
Terjemahan:
II.b 3. “jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng”
II.b 3. “jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng”
Jadi
letak majma’al bahrain tidak akan jauh dari sekitar pulau bali, karena
perahu ini adalah perahu sederhana milik nelayan miskin, yang tidak akan
mampu menempuh jarak terlalu jauh. Terdapat beberapa ayat yang menjadi
petunjuk untuk mengetahui lokasi pertemuan dua lautan ini.
QS 35.12 Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap
diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu
kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya.
Perhiasan yang dimaksud pada ayat QS 35.12 diatas adalah mutiara, sebagaimana dijelaskan di QS. Ar-Rahman: 19-22, sebagai berikut:
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.
Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.
Dari 2 ayat tersebut di atas dapat kita peroleh
petunjuk yang jelas tentang lokasi pertemuan dua lautan, yaitu harus
memenuhi 3 syarat:
- Berada di sekitar pulau Bali
- Penghasil mutiara
- Terdapat bukti adanya pertemuan dua lautan, yaitu air tawar dan air asin
http://news.liputan6.com/read/296493/sumber-air-tawar-di-dalam-laut
Seperti kita ketahui, NTT dan NTB adalah penghasil mutiara dengan kualitas terbaik di dunia, dan menyumbang 26% pasar mutiara dunia. Perahu yang dilubangi oleh Khidir ini, bertolak dari laut nangalili NTT menuju Bali, dan karam tidak jauh dari bibir pantai nanga lili, sehingga terhindar dari dirampas oleh Raja Bali saat itu.
Tujuan hak tawan karang adalah menjaga dan melindungi territorial atau wilayah kekuasaan dari musuh-musuh asing sehingga dianggap sebagai local genius dan menjadi embrio hukum adat antarbangsa. Namun, dalam pelaksanaannya, dengan menganalisa hikmah perbuatan Khidir, aturan ini penuh ketidakadilan, utamanya bagi nelayan2 miskin yg bergantung hidup pada perahu miliknya satu2nya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil………” (QS. An Nisaa’: 29)
Salaam
tvespasianus
No comments:
Post a Comment