Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional

Sebelumnya saya ingin mengucapkan turut berbela sungkawa atas meninggalnya Ketua MPR-RI Taufik Kemas pada tanggal 8 Juni 2013. Mudahan-mudahan diterima segala amal kebaikannya dan diampuni segala dosa-dosanya. Kepada yang ditinggalkannya semoga diberikan ketabahan.
Seperti diketahui, jenazah beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata hari ini, tanggal 9 juni 2013. Pemakaman jenazah beliau di TMP Kalibata adalah sebagai penghormatan atas jasa-jasa beliau untuk bangsa dan negara, terutama selama menjadi Ketua MPR-RI. Sikap politik yang kerap disuarakan beliau adalah tentang pentingnya empat pilar kebangsaan: UUD 1945, Pancasila, NKRI dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Untuk kegigihannya menyuarakan sikap ini, Universitas Trisakti di Jakarta memberikannya gelar Doktor Honoris Causa bidang Kebangsaan.
Terkait dengan pemakaman jenazah beliau di TMP Kalibata, saya ingin membahas tentang gelar pahlawan nasional, siapa yang berhak atas gelar tersebut dan kontroversi yang pernah terjadi terkait hal tersebut. Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia (wikipedia).
Mengenai orang yang berhak dimakamkan di TMP Kalibata, adalah warga negara yang telah dianggap sebagai Pahlawan dengan keputusan presiden atau memiliki salah satu atau lebih tanda-tanda kehormatan, bisa berupa Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputera, Bintang Gerilya, maupun Bintang-bintang lain yang menurut peraturan perundang-undangan berhak dimakamkan di TMP dan TMPN. Seseorang yang mempunyai jasa-jasa kepada negara dan diusulkan oleh presiden juga berhak. Usulan dari Presiden tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Sosial Republik Indonesia.
Penganugerahan gelar pahlawan sendiri didasarkan pada tindak kepahlawanan dan nilai kepahlawanan yang dimiliki oleh tokoh pahlawan. Ada pun tindak kepahlawanan adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya. Sedangkan nilai kepahlawanan adalah suatu sikap dan prilaku perjuangan yang mempunyai mutu dan jasa pengabdian serta pengorbanan terhadap bangsa dan negara.
Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional
Penganugerahan gelar pahlawan ternyata tidak selalu berjalan mulus. Pengajuan nama-nama pahlawan dalam prosesnya kadang diliputi dengan kontroversi. Atau kadang negara juga mempunyai bias politik dalam menetapkan seseorang pantas disebut pahlawan atau tidak. Kontroversi yang masih terngiang di telinga kita adalah tentang gelar pahlawan untuk Soeharto, mantan persiden kita di masa orde baru. Pro dan kontra yang terjadi masing-masing memiliki dasar yang kuat. Ada yang berbicara dengan argumen faktual, namun tidak sedikit yang berbicara dalam kerangka politik. Soeharto dinilai berhasil dan dijuluki sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Namun Soeharto juga dinilai sebagai penguasa diktator dalam menjalankan pemerintahannya selama 32 tahun.
Sementara itu pada masa orde baru, sangat kental terjadi bias politik dalam soal pengangkatan pahawan nasional. Muhammad Natsir adalah salah satu contohnya. Keterlibatan Muhammad Natsir dalam kelompok Petisi 50 (bersama Hugeng, Ali Sadikin, SK Trimurti, dsb) diduga menjadi sebab alotnya penganugerahan gelar pahlawan untuk beliau. Padahal Natsir berjasa besar terhadap negara, yaitu mengembalikan bentuk pemerintahan federal menjadi negara kesatuan. Keprihatinannya terhadap proses disintegrasi negara-bangsa, melahirkan Mosi Integral Natsir pada sidang DPR Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 3 April 1950. Natsir mengusulkan agar RIS melebur kembali menjadi negara kesatuan Republik Indonesia. Atas jasanya, Sukarno meminta Natsir untuk membentuk kabinet yang pertama dari negara kesatua Republik Indonesia (1950-1951). Pada masa presiden BJ Habibie, Natsir mendapat penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Dan pada tahun 2008, Natsir dikukuhkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres No. 41/TK/2008.
Sementara di sisi lain, ada sosok warga negara yang telah diangkat menjadi pahlawan nasional berdasarkan Keppres tahun 1963, namun riwayat hidupnya menjadi off the record dalam pengajaran sejarah semasa orde baru. Padahal mestinya pengajaran perjuangan pahlawan menjadi inspirasi dan teladan segenap anggota masyarakat, termasuk generasi muda. Sosok pahlawan tersebut adalah Tan Malaka. Upaya mengecilkan atau bahkan menghilangkan kepahlawanan Tan Malaka di masa orde baru ini tak lain adalah karena pernah berhubungan dengan gerakan komunis pada masa penjajahan Belanda. Namun tak dapat disangkal, bahwa Tan Malaka adalah pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner, dan banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.
Banyak tokoh yang semestinya sangat layak untuk mendapat gelar pahlawan, namun terhalang karena bias politik pada era orde baru. Sjafruddin Prawiranegara baru ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 2011, setelah pada tahun 2007 pengusulannya kandas di tangan presiden. Padahal Sjafruddin Prawiranegara memiliki jasa besar terhadap negara. Apa jadinya Indonesia jika Sjafruddin tidak memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintahan gerilya yang bergerak di Sumatera. Tentu terjadi kevakuman pemerintahan, atau republik mengalami mati suri sesaat.
Bias politik dalam penentuan pahlawan juga menimpa warga negara keturunan Tionghoa. Kebijakan politik masa orde baru seperti ini terkait dengan stigma politik terkait peristiwa G30S PKI pada tahun 1965. Di antara sekian banyak tokoh keturunan Tionghoa yang berjasa pada bangsa dan negara, baru satu yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional, yaitu Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie atau yang lebih dikenal dengan nama Jahja Daniel Dharma. Mengawali perjalanan hidup sebagai seorang pelaut, John Lie ikut sebuah kapal dagang Belanda sebelum bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi dan akhirnya menjadi Kapten di Angkatan Laut Republik Indonesia. Beliau berjasa mengawal barang-barang yang ditukar dengan senjata di Singapura untuk melawan penjajah Belanda.
Pahlawan Nasional dalam Semangat Zaman
Untuk menghindari terulangnya kontroversi dalam penetapan gelar pahlawan nasional, sejarawan Asvi Warman Adam, dalam bukunya “Membongkar Manipulasi Sejarah”, menyatakan pentingnya penataan dalam pengangkatan pahlawan nasional. Pengangkatan pahlawan nasional hendaknya melibatkan profesi sejarah seperti Masyarakat sejarawan Indonesia, Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia.Selai itu hendaknya kriterianya hendaknya disempurnakan, dikaitkan dengan moral atau hokum (tidak boleh terlibat korupsi, pelanggaran HAM dan sebagainya).
Pengangkatan pahlawan nasional hendaknya disesuaikan dengan semangat zaman, tersambung dengan nilai-nilai yang sedang diperjuangkan pada masa itu. Pengangkatan musisi Ismail Marzuki (pada tahun 2004) yang banyak mengarang lagu perjuangan sudah tepat karena pahlawan nasional tidak harus pejuang bersenjata. Karena bangsa ini sedang giat-giatnya memberantas korupsi dan menegakkan hokum, Jaksa Agung Soeprapto (1950-1959) yang berani menyeret beberapa menteri ke pengadilan, layak diangkat sebagai pahlawan nasional. Begitu juga dengan Munir yang berjuang menegakkan keadilan dan HAM.
Sekat-sekat politik dan segala bentuk manipulasi sejarah, harus disingkirkan dalam mempertimbangkan pengangkatan gelar pahlawan nasional. Bangsa ini berhak mengetahui sejarah bangsanya sendiri, sebagai teladan dan inspirasi bagi perjalanan bangsa ke depan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.

 Wikipedia, Kementerian Sosial RI dan buku “Membongkar Manipulasi Sejarah”

Fandi W

No comments: