Membumikan Perintah Langit

BULAN Rajab mulai terbenam menuju ufuk Syakban. Rajab yang menawarkan pintu taubat bagi seorang pendosa, menambah pintu kebaikan bagi muslim yang gemar berbuat kebajikan. Mungkin bagi kita Rajab sama dengan bulan yang lain, tidak ada keistimewaannya. Namun, jauh 14 abad silam, tepatnya pada 27 Rajab satu tahun sebelum Hijrah, Allah swt mengajak seorang hambanya yang mulia, Baginda Rasulullah untuk melakukan Israk dan Mikraj.

Israk adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjid Aqsha di Palestina. Sedangkan Mikraj adalah perjalanan beliau dari Aqsha setelah memimpin shalat naik ke langit menuju tempat di luar batas jangkauan manusia yaitu Sidratul Muntaha. Firman Allah dalam Surah Al-Isra ayat 1 menyebutkan, perjalanan ini dilakukan pada malam hari (asra).

Imam Qurthuby (671 H) dalam Jami’ li ahkamil Quran menyebutkan bahwa hadis tentang peristiwa Israk dan Mikraj diriwayatkan lebih 20 sahabat, bahkan derajatnya mencapai mutawatir. Atas dasar ini, ulama sepakat bahwa peristiwa perjalanan nabi benar-benar terjadi dan wajib kita imani. Imam Qusyairi (465 H) mengumpulkan keajaiban ini dalam buku Kitabul Mi’raj.

 Paling spektakuler
Israk dan Mikraj adalah perjalanan paling spektakuler yang pernah dilakukan oleh Nabi. Perjalanan ini selalu menawarkan telaga inspirasi. Sebagai kesempurnaan eksistensi kenabian, peristiwa isra dan mikraj dapat pula kita sebut sebagai puncak spritualitas dan penggemblengan batin bagi Nabi Muhammad.

Ikutnya jasad Nabi dalam perjalanan ini menjadikan Isra dan Mikraj begitu fenomenal. Kalau saja hanya ruh --sebagaimana yang diyakini sebagian muslim-- tentu sisi mukjizatnya sangat minim, ini juga dikuatkan dengan firman Allah yang menyebut “menjalankan hambanya” (`abdun). `Abdun secara bahasa digunakan untuk bentuk fisik seorang manusia. Kalau benar pendapat perjalanan ini dengan ruh, kita tentu harus bertanya apa gunanya buraq dan di mana letak kesahihan Rasul menjadi imam bagi Nabi-nabi terdahulu.

Dimulai dengan tahun kesedihan, di mana Nabi ditinggal oleh orang-orang terkasihnya. Kemudian dilakukan operasi fisik terhadap Nabi Muhammad. Bukan karena hati Nabi kotor, namun agar menjadi pelajaran bahwa awal perjalanan suci harus diawali dengan pembersihan hati. Penyucian hati juga menggambarkan bahwa pusat kontrol keimanan terletak pada hatinya.

Perjalanan kenabian tersebut juga menjadi dasar keutamaan Nabi, di mana Nabi menyaksikan sendiri kekuasaan Allah dengan mata yang meyakini, tidak sebatas nalar. Imam Hasan Al Banna juga menyebut bahwa Israk dan Mikraj merupakan proses pengukuhan Nabi sebagai sayyidul mursalin (rajanya para Nabi). Di mana keistimewaan di dalam perjalanan ini tidak pernah diberikan kepada Nabi sebelumnya.

Siapa dapat menerima dengan akalnya, bahwa seorang manusia telah mengalami perjalanan luar biasa, bukan hanya membelah samudera, namun sampai ke puncak Sidratul Muntaha. Anehnya lagi peristiwa ini hanya terjadi dalam waktu yang singkat, hanya satu malam. Logika yang tidak diisi dengan keimanan tentu akan bertanya; Bagaimana nasib jasad Nabi melewati batas gravitasi, kehilangan oksigen di langit sementara materi tubuh Nabi adalah materi manusia pada umumnya?

Diuji dengan berbagai analisa maupun uji coba ilmu pengetahuan, hasilnya tentu akan membimbing kita ke arah keraguan. Tak heran jika pada masa tersebut muncul kehebohan. Orang yang murtad semakin yakin untuk menjauhi Islam. Namun bagi sahabat yang telah beriman kepada nabi, peristiwa ini malah memperkokoh keimanan mereka. Abu Bakar mendapat gelar Al Shiddiq (yang membenarkan) juga berawal dari pengakuannya terhadap perjalanan Israk dan Mikraj ini.

Islam tidak melulu soal logika akal, karena beberapa perihal prinsipil sekali pun di dalam Islam tidak memberikan ruang bagi akal. “Logika hati” sangat berpengaruh dalam menguatkan keyakinan seorang muslim.

Kita tidak bisa mengingkari kekuatan pikiran sahabat semisal Umar ra, selain bijaksana, beliau juga orang yang sangat cerdas. Akan tetapi keimanan beliau benar benar teruji. Tidak ada komplain pada peristiwa isra dan mikraj. Bukan karena termakan dogma. Tapi karena mereka yakin bahwa Islam tidak hanya mengandung unsur-unsur logis, namun ada perkara ghaib dan konkret yang sifatnya ta’abbudi,  diimani sebagaimana datangnya dari Rasulullah.

Mengapa shalat di Masjidil Haram lebih utama dibanding shalat di Masjid Baiturrahman, mengapa debu bisa menggantikan posisi air sehingga kita boleh menunaikan shalat, mengapa bilangan rakaat shalat harus dalam jumlah tertentu. Dimana akal kita ketika itu? Semuanya tunduk pada ketentuan Allah. Belum lagi terbatasnya akal kita dalam mencerna perintah-perintah logis yang Allah bebankan kepada kita.

 Keutamaan shalat
Hal yang paling kentara dari peristiwa Israk dan Mikraj adalah diturunkannya perintah shalat. Sebelumnya sahabat telah mengenal shalat, namun bukan shalat yang diwajibkan pada kita hari ini. Shalat merupakan perintah langit yang diambil langsung dari langit. Hal ini tentu menunjukkan keutamaan shalat. Allah sendiri menegaskan bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Namun yang menjadi tanda tanya, banyak orang mengerjakan shalat, tapi ternyata shalat tersebut tidak mengubah kepribadiannya. Shalat tidak memperbaiki kesalehan individu dan kesalehan sosial. Dalam tataran ini, shalat hanya dimaknai sebagai ritual. Menjadikan ibadah sebagai adat, bukan menjadikan adatnya sebagai ibadah. Secara kasat mata sujud mengagungkan Allah, tapi pikiran dan hatinya jauh dari mengingat Allah. Bagi orang seperti ini, shalat hanya gerakan badan secara lahiriah. Sedang nuraninya tetap bungkam dalam keingkaran.

Efek shalat secara simbolis memang sering dimaknai dengan bekas sujud yang terletak pada wajah. Namun ini hanya simbol. Para ahli tafsir memiliki makna beragam dari kalimat atsar sujud. Intinya jangan sampai sengaja menggosokkan jidat agar dikira sebagai ahli shalat, pada akhirnya hanya mirip lutut unta yang selalu tergosok batu.

Imam Al Alusi (1270 H) dalam Ruhul Ma’any menyebutkan atsar sujud adalah kondisi khusyu’ dan tawadhu’ ketika shalat dan perbaikan sikap di luar shalat. Inilah hakikat dari efek sujud hamba kepada Tuhannya. Mengalami perbaikan psikis dan fisik dalam kehidupan sehari hari, selain cahaya ibadah yang terpancar dari wajahnya.

Momen Israk dan Mikraj, hendaknya kita tidak mengerjakan perintah Allah sebatas peulheuh droe, hanya untuk membebaskan diri dari kewajiban. Namun harusnya kita menghayati di dalam segenap perintah Allah, tersimpan rahasia perbaikan bagi diri kita, untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita sesama manusia. Jika ternyata ibadah kita belum mampu mengarahkan hidup dan kepribadian kita, maka pertanyakanlah kualitas ibadah kita. Sudah benarkah atau hanya sebatas riya. Wallahu a’lam.

* Zahrul Bawady M. Daud, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa. Email: zahrulbawady@yahoo.com

No comments: