Apakah Pahlawan Aceh Masih Relevan Disebut Pahlawan? ( artikel bikin Rusuh )
Apa yang saya tulis ini berdasarkan catatan dunia tentang Aceh. Bukan berdasarkan catatan Aceh tentang Aceh sendiri. Karena Aceh dan seluruh wilayah Indonesia saat itu belum punya perpustakaan pendukung. Kita tahunya nenek buyut kita lahir waktu gunung meletus, atau lahir waktu ada hama wereng, serta peristiwa-peristiwa penanda sejenisnya. Namun, negara-negara yang lebih maju sudah punya pencatatan tanggal, bulan dan tahun.
Perhatikan bagaimana bangsa lain mencatat kebesaran Aceh.
Abad 16. Untuk menambah kekuatan angkatan laut pasca jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, serta menjaga jalur perdagangan di selat Malaka, Sultan Alauddin II Mansur I Syah (1577-1589) menunjuk Malahayati, sebagai Admiral pertama.
Tahun 1599, Komandan ekspedisi Belanda, Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan Aceh. Pada awalnya, Sultan menerima de Houtman hingga kemudian de Houtman menghina Sultan. Belanda, yang sebelumnya sudah bertikai dengan Kesultanan Banten di Jawa Barat sebelum tiba di Aceh, memutuskan untuk menyerang Aceh. Admiral Malahayati memimpin pasukan Inong Balee (pasukan janda) untuk menyambut tantangan Belanda, yang berujung dengan tewasnya Cornelis de Houtman pada tanggal 11 September,1599 dalam pertarungan satu lawan satu di atas dek kapal.
Admiral Keumalahayati adalah komandan pasukan angkatan laut Aceh dengan kekuatan 100 kapal perang dan 50.000 personel, termasuk pasukan janda (Inong Balee).
Abad 18. Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Saat itu Aceh dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah. Tentara Belanda mengirimkan 3.000 tentara yang dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Kohler untuk merebut istana sultan. Aceh mendeklarasikan Holly War terhadap belanda. Sultan menerima bantuan militer dari Italy dan Inggris, sehingga pasukan Aceh berkembang dari 10.000 tentara menjadi 100.000 tentara. Belanda dikalahkan.
Aliansi Sultan Machmud Syah dengan Italy dan Inggris mengakibatkan Sultan Machmud Syah memiliki kekuatan pasukan 10x lipat dari sebelumnya.
Pada masa itu, Teuku Umar turut dalam perang Aceh. Tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar merampok tentara Belanda. 800 senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi, dan 18.000 dollar. Mari kita asumsikan itu adalah dollar Amerika. Setara Rp 216 juta rupiah. Jaman sekarang saja, uang 200 juta tidak sedikit. Apalagi untuk tahun 1896, uang sebanyak itu, senjata dan amunisi, menggoyahkan ekonomi kerajaan Belanda. Bayangkan dahsyatnya seorang Teuku Umar membangkrutkan Belanda.
Kematian Teuku Umar tanggal 10 Februari 1899 di Meulaboh dilanjutkan dengan perjuangan Cut Nyak Dhien sebagai pemimpin gerilya selama 25 tahun.
..
Teuku Umar tidak korupsi. Keumalahayati dan Cut Nyak Dhien tidak pakai jilbab. Cut Nyak Dhien tidak ditangkap karena janda malam-malam kelayapan di hutan bersama pria-pria yang bukan muhrimnya. Sultan Machmud Syah tidak membuat peraturan cara berpakaian dan cara perempuan duduk di atas kuda. Tidak juga mensweeping perempuan Belanda, Italy dan Inggris karena tidak pakai jilbab untuk menghormati masyarakat Aceh yang minta dihormati. (berita di sini)
Aceh sudah Serambi Mekkah jauh sebelum ada perda pakaian dan duduk ngangkang. Urusan remeh temeh begini tidak pernah diurusi pahlawan Aceh. Segala yang diperjuangkan mereka hanya demi kemakmuran rakyat Aceh. Bukan untuk kesombongan diri apalagi kantong sendiri.
Masihkah mereka relevan dianggap sebagai pahlawan Aceh, karena tidak bisa dijadikan acuan perda Aceh serta pencapaian tingkat korupsi Aceh saat ini?.
- Esther Wijayanti –
Perhatikan bagaimana bangsa lain mencatat kebesaran Aceh.
Abad 16. Untuk menambah kekuatan angkatan laut pasca jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, serta menjaga jalur perdagangan di selat Malaka, Sultan Alauddin II Mansur I Syah (1577-1589) menunjuk Malahayati, sebagai Admiral pertama.
Tahun 1599, Komandan ekspedisi Belanda, Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan Aceh. Pada awalnya, Sultan menerima de Houtman hingga kemudian de Houtman menghina Sultan. Belanda, yang sebelumnya sudah bertikai dengan Kesultanan Banten di Jawa Barat sebelum tiba di Aceh, memutuskan untuk menyerang Aceh. Admiral Malahayati memimpin pasukan Inong Balee (pasukan janda) untuk menyambut tantangan Belanda, yang berujung dengan tewasnya Cornelis de Houtman pada tanggal 11 September,1599 dalam pertarungan satu lawan satu di atas dek kapal.
Admiral Keumalahayati adalah komandan pasukan angkatan laut Aceh dengan kekuatan 100 kapal perang dan 50.000 personel, termasuk pasukan janda (Inong Balee).
Abad 18. Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Saat itu Aceh dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah. Tentara Belanda mengirimkan 3.000 tentara yang dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Kohler untuk merebut istana sultan. Aceh mendeklarasikan Holly War terhadap belanda. Sultan menerima bantuan militer dari Italy dan Inggris, sehingga pasukan Aceh berkembang dari 10.000 tentara menjadi 100.000 tentara. Belanda dikalahkan.
Aliansi Sultan Machmud Syah dengan Italy dan Inggris mengakibatkan Sultan Machmud Syah memiliki kekuatan pasukan 10x lipat dari sebelumnya.
Pada masa itu, Teuku Umar turut dalam perang Aceh. Tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar merampok tentara Belanda. 800 senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi, dan 18.000 dollar. Mari kita asumsikan itu adalah dollar Amerika. Setara Rp 216 juta rupiah. Jaman sekarang saja, uang 200 juta tidak sedikit. Apalagi untuk tahun 1896, uang sebanyak itu, senjata dan amunisi, menggoyahkan ekonomi kerajaan Belanda. Bayangkan dahsyatnya seorang Teuku Umar membangkrutkan Belanda.
Kematian Teuku Umar tanggal 10 Februari 1899 di Meulaboh dilanjutkan dengan perjuangan Cut Nyak Dhien sebagai pemimpin gerilya selama 25 tahun.
..
Teuku Umar tidak korupsi. Keumalahayati dan Cut Nyak Dhien tidak pakai jilbab. Cut Nyak Dhien tidak ditangkap karena janda malam-malam kelayapan di hutan bersama pria-pria yang bukan muhrimnya. Sultan Machmud Syah tidak membuat peraturan cara berpakaian dan cara perempuan duduk di atas kuda. Tidak juga mensweeping perempuan Belanda, Italy dan Inggris karena tidak pakai jilbab untuk menghormati masyarakat Aceh yang minta dihormati. (berita di sini)
Aceh sudah Serambi Mekkah jauh sebelum ada perda pakaian dan duduk ngangkang. Urusan remeh temeh begini tidak pernah diurusi pahlawan Aceh. Segala yang diperjuangkan mereka hanya demi kemakmuran rakyat Aceh. Bukan untuk kesombongan diri apalagi kantong sendiri.
Masihkah mereka relevan dianggap sebagai pahlawan Aceh, karena tidak bisa dijadikan acuan perda Aceh serta pencapaian tingkat korupsi Aceh saat ini?.
- Esther Wijayanti –
No comments:
Post a Comment