Ballada Seorang Letkol Untung
Di pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku “Kesaksianku tentang G30S”. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Banyak kisah G30S yang tak habis-habisnya dikupas. Tetapi tak banyak informasi yang bisa digali tentang tokoh Letkol Untung ini. Riwayat hidupnya pun hampir tidak ada yang tahu, seperti yang dikatakan sejarawan Asvi Warman Adam. Bagaimana pun fakta-fakta, kesaksian, dan bukti-bukti yang meyakinkan, semakin terungkap dan tergali berkat investigasi gigih para pengamat independen.
Adalah Letkol CPM (Purn) Suhardi, saksi yang mengenal Letkol Untung dan masih hidup. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan juga bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun dengan hidup di rumah pamannya, Samsuri. “Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, badannya gempal, dan berpotongan seperti preman. Ditambah lagi sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. Setelah Jepang kalah Untung masuk Batalion Sudigdo, yang bermarkas di Wonogiri. Batalion yang sangat terkenal di daerah Boyolali dan satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia). Demikian menurut Suhardi.
Sesudah clash 1948 antara Republik dan Belanda Untung balik ke Solo dan kemudian masuk Korem Surakarta. Saat itu Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto yang sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. Disitulah perkenalan awal Untung dan Soeharto. Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 “Banteng Raiders” Diponegoro. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya yang mengantarkannya mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini; bahkan, Soeharto selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu. Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi Batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Berada di ring III pengamanan presiden yang tidak langsung berhubungan dengan presiden. Suhardi pun masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia menghormat kepada Untung. Untung menatapnya lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
Menurut Maulwi, atasan Untung, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. Tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi. Dalam bukunya, Soebandrio melihat kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar.
Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
“Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio. Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius ,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.
Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam, kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. Ada petunjuk teknisnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Dinihari, 1 Oktober 1965, kita seluruh bangsa Indonesia tahu, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi. K-U-D-E-T-A!! Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. Semuanya terserah kepada Bapak Presiden.
Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
Adapun Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta. “Itu tak masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.
Sumber: www.memobee.com, “Letkol Untung Bin Samsuri Perwira Tjakrabirawa Peliharaan Soeharto”. Diringkas dan di-rekomposisi.
Sotarnoe
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku “Kesaksianku tentang G30S”. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Banyak kisah G30S yang tak habis-habisnya dikupas. Tetapi tak banyak informasi yang bisa digali tentang tokoh Letkol Untung ini. Riwayat hidupnya pun hampir tidak ada yang tahu, seperti yang dikatakan sejarawan Asvi Warman Adam. Bagaimana pun fakta-fakta, kesaksian, dan bukti-bukti yang meyakinkan, semakin terungkap dan tergali berkat investigasi gigih para pengamat independen.
Adalah Letkol CPM (Purn) Suhardi, saksi yang mengenal Letkol Untung dan masih hidup. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan juga bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun dengan hidup di rumah pamannya, Samsuri. “Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, badannya gempal, dan berpotongan seperti preman. Ditambah lagi sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. Setelah Jepang kalah Untung masuk Batalion Sudigdo, yang bermarkas di Wonogiri. Batalion yang sangat terkenal di daerah Boyolali dan satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia). Demikian menurut Suhardi.
Sesudah clash 1948 antara Republik dan Belanda Untung balik ke Solo dan kemudian masuk Korem Surakarta. Saat itu Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto yang sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. Disitulah perkenalan awal Untung dan Soeharto. Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 “Banteng Raiders” Diponegoro. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya yang mengantarkannya mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini; bahkan, Soeharto selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu. Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi Batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Berada di ring III pengamanan presiden yang tidak langsung berhubungan dengan presiden. Suhardi pun masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia menghormat kepada Untung. Untung menatapnya lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
Menurut Maulwi, atasan Untung, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. Tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi. Dalam bukunya, Soebandrio melihat kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar.
Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
“Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio. Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius ,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.
Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam, kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. Ada petunjuk teknisnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Dinihari, 1 Oktober 1965, kita seluruh bangsa Indonesia tahu, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi. K-U-D-E-T-A!! Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. Semuanya terserah kepada Bapak Presiden.
Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
Adapun Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta. “Itu tak masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.
Sumber: www.memobee.com, “Letkol Untung Bin Samsuri Perwira Tjakrabirawa Peliharaan Soeharto”. Diringkas dan di-rekomposisi.
Sotarnoe
No comments:
Post a Comment