Islam Cheng Ho
Ayah dan kakek Laksamana Cheng Ho sudah beragama Islam dan telah menunaikan ibadah haji.
Asal muasal Kelenteng Sam Poo Kong terkait erat dengan muhibah atau perjalanan Laksamana Cheng Ho. Terkenal dalam sejarah, Cheng Ho merupakan laksamana besar Cina yang telah mengarungi samudra melintasi beragam negeri.
Salah satu kawasan yang dikunjungi Cheng Ho ialah Kota Semarang, Jawa Tengah. Dalam salah satu muhibahnya, Cheng Ho pernah mendarat di Bukit Simongan, Semarang. Di situ pula lokasi Kelenteng Sam Poo Kong yang sekarang tegak berdiri.
Dikatakan sejarawan Semarang Jongki Tio, waktu tepatnya Cheng Ho mendarat di Semarang masih belum jelas. Namun, menurut inskripsi di Kelenteng Sam Poo Kong yang ditulis dalam tiga bahasa, Inggris, Cina, dan Indonesia, tercatat, Cheng Ho telah dua kali datang di Kota Semarang, yakni pada 1406 dan 1416 M.
“Tempat yang saat ini dikunjungi banyak orang adalah Bukit Simongan, tempat bersejarah yang dipercayai sebagai tempat mendarat Cheng Ho. Tempat itu kini berdiri Kelenteng Sam Poo Kong,” kata Tio.
Sejarawan Amen Budiman di dalam bukunya, Semarang Riwayatmu Dulu menerangkan, kedatangan Cheng Ho pada 1416 dalam inskripsi yang dibuat pada 1966 tersebut perlu dikaji ulang. Karena, menurutnya, dalam sejarah Cina disebutkan bahwa Cheng Ho pulang dari misi muhibahnya yang keempat pada 12 Agustus 1415 M.
Sedangkan, perintah untuk melaksanakan misi berikutnya baru pada 28 Desember 1416 M. “Jadi, tidak masuk akal tahun 1416 Cheng Ho sudah tiba di Semarang,” kata Amen menganalisis.
Asal nama Sam Poo Kong pun diceritakan berasal dari nama Cheng Ho. Menurut Jongki Tio, ada beberapa versi dalam memaknai nama Sam Poo Kong. “Ada yang mengatakan Sam Po itu arti sebenarnya tiga orang pelindung masing-masing memiliki marga The, Ong, dan Be. Kemudian, mereka menyebar ke beberapa daerah, antara lain, marga The menetap di Semarang, marga Be ke Chenbon, dan marga Be pergi ke negeri Siam,” ujar Tio.
Versi lain, karena Laksamana Cheng Ho merupakan sidasida (pria yang dikebiri dan mengabdikan diri pada istana) yang berasal dari Yunan dan biasa disebut San Pau. Sementara, orang-orang dari daerah Fukien menyebut Sam Po. Sedangkan, orang-orang Cina perantauan di Simongan berasal dari Fukien.
“Maka, Cheng Ho disebut Sam Po Tay Djien atau Sam Po Tao Lang yang berarti Tuan Besar Sam Po,” jelas Tio.
Hal serupa juga dijelaskan oleh Amen Budiman di dalam bukunya. Dia menerangkan bahwa dalam sejarah Ming diceritakan Cheng Ho merupakan laki-laki dari daerah Yunan dan orang sida-sida.
Sedangkan, orang sida-sida dari Yunan biasa disebut dengan San Pau. Tak hanya di kalangan Cina Fukkien di tanah Jawa yang menyebutnya San Pao Tay Djien atau Sam Po Tao Lan. Namun, di kalangan Cina Mandarin, Cheng Ho juga disebut San Pao T’al Ren (sama dengan San Pao Tay Djien atau Sam Po Tao Lan). Juga dengan nama Sam Po Thay Kam, Sam Pao Tai Kien yang berarti Sam Po, orang sida-sida yang agung.
Amen Budiman dalam bukunya Semarang Riwayatmu Dulu menyatakan, dalam sejarah Ming diceritakan Cheng Ho merupakan laki-laki dari daerah Yunan dan orang sida-sida.
Dalam menghormati kedatangan Sam Po Tao Lan, warga Cina Semarang mendirikan sebuah kelenteng bernama Sam Poo Kong.
“Penduduk Kota Semarang berpendapat bahwa dikirimnya utusan Sam Poo Tay Djien merupakan peristiwa kebangsaan. Maka, untuk menghormatinya, didirikan kelenteng ini (Sam Poo Kong),” ujar Amen. Masyarakat Cina pun serta-merta bersembahyang di kelenteng tersebut.
Namun, sebenarnya pemujaan yang dilakukan itu agak membingungkan. Sebab, telah tercatat dalam sejarah bahwa Cheng Ho merupakan seorang Cina beragama Islam. Cheng Ho dilahirkan sebagai seorang Islam dan dibesarkan dalam keluarga Islam.
Sebagaimana dikatakan Amen, nama asli Cheng Ho ialah Ma Hou. Marga Ma merupakan sebuah nama keluarga khusus di antara orang-orang Islam yang mirip dengan suku kata pertama dari nama Muhammad. Ayah dan kakek Cheng Ho disebutkan sebagai orang Ha-Tche. Istilah Ha-Tche merupakan salinan kata “haji”.
“Jelas sekali, baik ayah maupun kakek Cheng Ho adalah orang Islam dan telah menunaikan rukun Islam kelima,” kata Amen dalam bukunya. Bahkan, lebih jauh dimungkinkan Cheng Ho merupakan keturunan Mongol dan Arab.
Hal tersebut didapat dari keterangan moyang laki-laki Cheng Ho yang merupakan seorang Pai-Yen, sebuah nama asli Mongol. Pai-yen merupakan salinan dari Bayan. Sedangkan, Bayan disebut-sebut sebagai keturunan orang Mongol dan Arab.
Meski demikian, warga Cina tetap memuja dan menyembahyanginya. Bahkan, di dalam goa yang diyakini warga Cina Semarang, pernah menjadi tempat persinggahan Cheng Ho, dibuat sebuah patung kecil Cheng Ho dan dilengkapi dupa-dupa peralatan sembahyang.
Dalam perkembangannya, yakni pada masa penjajahan Belanda, sekitar pertengahan 1800 Masehi, kawasan Simongan dikuasai oleh seorang keturunan Yahudi. Hal tersebut membuat warga Cina kesulitan menggelar ritual di Kelenteng Sam Poo Kong karena harus membayar pajak yang sangat mahal kepada sang penguasa.
Kejadian tersebut sempat membuat warga Cina membangun kelenteng baru, Tay Kak Sie, di tepi Sungai Semarang. Kelenteng tersebut masih berdiri hingga kini di Gang Lombok Pecinan Semarang.
Meski demikian, Kelenteng Sam Poo Kong tak dapat tergantikan. Warga Tionghoa sering kali menggelar upacara di Kelenteng Gedung Batu tersebut sebagai ungkapan syukur atas rasa aman dan kesuksesan dalam perdagangan.
Setelah Simongan di tangan Yahudi, upacara tak dapat digelar. Maka, seorang pedagang Cina pun kemudian bertekad, jika usahanya sukses maka tanah Simongan akan dia beli dari si Yahudi.
Nyatanya, sang pedagang yang bernama Oei Tjie Sien tersebut sukses dan dapat membeli tanah Simongan. Kelenteng Sam Poo Kong pun kemudian dibuka bebas dan gratis kembali. Tak hanya itu, Oei Tjie Sien juga merenovasi kelenteng.
Dalam menghormati kedatangan Sam Po Tao Lan, warga Cina Semarang mendirikan sebuah kelenteng bernama Sam Poo Kong.
“Penduduk Kota Semarang berpendapat bahwa dikirimnya utusan Sam Poo Tay Djien merupakan peristiwa kebangsaan. Maka, untuk menghormatinya, didirikan kelenteng ini (Sam Poo Kong),” ujar Amen. Masyarakat Cina pun serta-merta bersembahyang di kelenteng tersebut.
Namun, sebenarnya pemujaan yang dilakukan itu agak membingungkan. Sebab, telah tercatat dalam sejarah bahwa Cheng Ho merupakan seorang Cina beragama Islam. Cheng Ho dilahirkan sebagai seorang Islam dan dibesarkan dalam keluarga Islam.
Sebagaimana dikatakan Amen, nama asli Cheng Ho ialah Ma Hou. Marga Ma merupakan sebuah nama keluarga khusus di antara orang-orang Islam yang mirip dengan suku kata pertama dari nama Muhammad. Ayah dan kakek Cheng Ho disebutkan sebagai orang Ha-Tche. Istilah Ha-Tche merupakan salinan kata “haji”.
“Jelas sekali, baik ayah maupun kakek Cheng Ho adalah orang Islam dan telah menunaikan rukun Islam kelima,” kata Amen dalam bukunya. Bahkan, lebih jauh dimungkinkan Cheng Ho merupakan keturunan Mongol dan Arab.
Hal tersebut didapat dari keterangan moyang laki-laki Cheng Ho yang merupakan seorang Pai-Yen, sebuah nama asli Mongol. Pai-yen merupakan salinan dari Bayan. Sedangkan, Bayan disebut-sebut sebagai keturunan orang Mongol dan Arab.
Meski demikian, warga Cina tetap memuja dan menyembahyanginya. Bahkan, di dalam goa yang diyakini warga Cina Semarang, pernah menjadi tempat persinggahan Cheng Ho, dibuat sebuah patung kecil Cheng Ho dan dilengkapi dupa-dupa peralatan sembahyang.
Dalam perkembangannya, yakni pada masa penjajahan Belanda, sekitar pertengahan 1800 Masehi, kawasan Simongan dikuasai oleh seorang keturunan Yahudi. Hal tersebut membuat warga Cina kesulitan menggelar ritual di Kelenteng Sam Poo Kong karena harus membayar pajak yang sangat mahal kepada sang penguasa.
Kejadian tersebut sempat membuat warga Cina membangun kelenteng baru, Tay Kak Sie, di tepi Sungai Semarang. Kelenteng tersebut masih berdiri hingga kini di Gang Lombok Pecinan Semarang.
Meski demikian, Kelenteng Sam Poo Kong tak dapat tergantikan. Warga Tionghoa sering kali menggelar upacara di Kelenteng Gedung Batu tersebut sebagai ungkapan syukur atas rasa aman dan kesuksesan dalam perdagangan.
Setelah Simongan di tangan Yahudi, upacara tak dapat digelar. Maka, seorang pedagang Cina pun kemudian bertekad, jika usahanya sukses maka tanah Simongan akan dia beli dari si Yahudi.
Nyatanya, sang pedagang yang bernama Oei Tjie Sien tersebut sukses dan dapat membeli tanah Simongan. Kelenteng Sam Poo Kong pun kemudian dibuka bebas dan gratis kembali. Tak hanya itu, Oei Tjie Sien juga merenovasi kelenteng.
Keluar dari Misi KaisarSebelum kedatangan Cheng Ho ke Semarang, telah bermukim orang-orang Cina yang berhijrah ke Tanah Jawa.
Simongan, lokasi Sam Poo Kong kini, menjadi awal la pemukiman mereka. Mereka telah mendiami kawasan tersebut, menurut catatan Belanda JR Van Berum, sebelum tahun 1000 Masehi.
Kemudian, Muhammad Husayn dalam disertasinya, menyatakan orang-orang Cina telah bermukim di Semarang sejak 921 Masehi.
Meski demikian, tahun awal mula kedatangan mereka ke Semarang masih tak dapat dipastikan. Hal itu kemudian dikaitkan dengan saat kedatangan Cheng Ho di abad ke-16. Ada catatan atau inskripsi yang menyebutkannya.
Lalu, dengan adanya permukiman tersebut, muncul pertanyaan, apakah perjalanan Cheng Ho menuju Semarang memiliki maksud tertentu?
Sejarawan Semarang Amen Budiman, justru mengindikasikan perjalanan Cheng Ho ke Semarang memiliki suatu maksud. Namun, maksud itu berbeda dengan tujuan muhibah-muhibah yang diceritakan dalam sejarah Dinasti Ming.
Dalam sejarah Dinasti Ming (Ming Shih), disebutkan bahwa muhibah Cheng Ho memiliki dua tujuan, yakni untuk memburu dan menangkap Chu Yun Wen serta tujuan kedua untuk memamerkan kekuatan Kekaisaran Cina.
Chu Yun Wen atau Hwui Ti merupakan mantan kaisar Cina yang dijatuhkan oleh Chu Ti dengan pemberontakan pada 1399-1402 Masehi. Cheng Ho pun ikut andil dalam memenangkan Kaisar Chuti. Pascakemenangannya, Kaisar Chu Ti terus memburu Hwui Ti.
Maka itu, ia memberikan tugas tersebut kepada Cheng Ho. Tak hanya itu, kekuatan militernya pun ingin diperagakan melalui muhibah Cheng Ho. Tujuannya, supaya kekaisaran Cina dapat dikenal sebagai kerajaan yang kuat oleh dunia.
Mengemban misi ini, sebayak 37 negeri telah berhasil dikunjungi Cheng Ho. Di antaranya, Chao Wa (Jawa), Sun La (Sunda), San Fo Chi (Palembang), A Lu (Aru, Sumatra), Po Ni (Brunai dan Kalimantan), Peng Heng (Pahang), Man La Kia (Malaka), Chi Lan Tan (Ke lantan), Hsien Lo (Siam), Ku Li (Ka likut India), His Lan Shan (Sailan), Hu Lu Mo Ssu (Hormus), A Tan (Aden), Mu Ku Tu Shu (Mogadishu Somalia), dan lain sebagainya.
Kedatangannya ke Chao Wa (Jawa), atau lebih khusus ke Semarang, menurut Amen, tak bermaksud mencari Hwui Ti ataupun sekadar memamerkan kekuatan Kerajaan Chu Ti.
Simongan, lokasi Sam Poo Kong kini, menjadi awal la pemukiman mereka. Mereka telah mendiami kawasan tersebut, menurut catatan Belanda JR Van Berum, sebelum tahun 1000 Masehi.
Kemudian, Muhammad Husayn dalam disertasinya, menyatakan orang-orang Cina telah bermukim di Semarang sejak 921 Masehi.
Meski demikian, tahun awal mula kedatangan mereka ke Semarang masih tak dapat dipastikan. Hal itu kemudian dikaitkan dengan saat kedatangan Cheng Ho di abad ke-16. Ada catatan atau inskripsi yang menyebutkannya.
Lalu, dengan adanya permukiman tersebut, muncul pertanyaan, apakah perjalanan Cheng Ho menuju Semarang memiliki maksud tertentu?
Sejarawan Semarang Amen Budiman, justru mengindikasikan perjalanan Cheng Ho ke Semarang memiliki suatu maksud. Namun, maksud itu berbeda dengan tujuan muhibah-muhibah yang diceritakan dalam sejarah Dinasti Ming.
Dalam sejarah Dinasti Ming (Ming Shih), disebutkan bahwa muhibah Cheng Ho memiliki dua tujuan, yakni untuk memburu dan menangkap Chu Yun Wen serta tujuan kedua untuk memamerkan kekuatan Kekaisaran Cina.
Chu Yun Wen atau Hwui Ti merupakan mantan kaisar Cina yang dijatuhkan oleh Chu Ti dengan pemberontakan pada 1399-1402 Masehi. Cheng Ho pun ikut andil dalam memenangkan Kaisar Chuti. Pascakemenangannya, Kaisar Chu Ti terus memburu Hwui Ti.
Maka itu, ia memberikan tugas tersebut kepada Cheng Ho. Tak hanya itu, kekuatan militernya pun ingin diperagakan melalui muhibah Cheng Ho. Tujuannya, supaya kekaisaran Cina dapat dikenal sebagai kerajaan yang kuat oleh dunia.
Mengemban misi ini, sebayak 37 negeri telah berhasil dikunjungi Cheng Ho. Di antaranya, Chao Wa (Jawa), Sun La (Sunda), San Fo Chi (Palembang), A Lu (Aru, Sumatra), Po Ni (Brunai dan Kalimantan), Peng Heng (Pahang), Man La Kia (Malaka), Chi Lan Tan (Ke lantan), Hsien Lo (Siam), Ku Li (Ka likut India), His Lan Shan (Sailan), Hu Lu Mo Ssu (Hormus), A Tan (Aden), Mu Ku Tu Shu (Mogadishu Somalia), dan lain sebagainya.
Kedatangannya ke Chao Wa (Jawa), atau lebih khusus ke Semarang, menurut Amen, tak bermaksud mencari Hwui Ti ataupun sekadar memamerkan kekuatan Kerajaan Chu Ti.
Amen dalam bukunya menuliskan, ketika Cheng Ho mengunjungi kawasan Semarang, keadaan kawasan di sekitar daerah tempat ia mendarat tidak begitu berbeda dengan keadaan pada pertengahan abad ke-15.
Walaupun demikian, Cheng Ho tetap mengunjungi kawasan itu. Mengingat keadaan kawasan Semarang pada masa itu, menurut Amen, kedatangan Cheng Ho tentunya tidak dengan niat untuk memenuhi maksud utama dari misi-misi muhibahnya, sebagaimana tersurat dalam sejarah Dinasti Ming.
“Justru kedatangannya dengan maksud lain, yakni untuk memenuhi kepentingan-kepentingan komersial yang telah disandang oleh misi-misi muhibah yang dipimpinnya,” kata Amen.
Amen mengutip pendapat Prof Duyvendak yang menceritakan jatuhnya pemerintahan Mongol telah mengakhiri hubungan antara Cina dan negeri-negeri yang berada di sebelah barat dan seberang lautan.
Akibatnya, beragam hasil produksi berharga yang sebelumnya diperoleh melalui para pedagang Arab dan Persia tidak lagi diperoleh. Sedangkan Harem-harem di istana kaisar sangat membutuhkan wewangian, manik-manik, dan ratna mutu manikam.
Kepada orang sida-sida seperti Cheng Ho, mereka menitipkan pesanan untuk mendapatkannya di pasar-pasar mancanegara.
“Saya menyimpulkan kedatangan Cheng Ho ke kawasan Semarang kemungkinan besar justru untuk mencari barang-barang titipan dari para harem yang bersemayam di istana kaisar Tiongkok,” ujar Amen.
“Jadi, tidak dengan maksud untuk mencari dan menangkap kembali bekas kaisar Tiongkok Chu Yun-wen alias Hwui Ti. Tidak pula dengan maksud untuk memamerkan kekayaan serta kekuatan kerajaan Tiongkok.”
Perahu JonkDiceritakan oleh Jonki Tio, dahulu orang-orang Cina datang naik kapal-kapal layar besar yang disebut perahu Jonk atau Wakang Tjoen dan mendarat di daerah Mangkang.
Kapal-kapal itu berlabuh untuk berdagang ataupun membawa penumpang-penumpang yang akan menetap di kawasan tersebut. Oleh karena itu, penduduk kemudian menyebut daerah itu Wakang, yang kemudian menjadi Mangkang hingga sekarang.
Di dekat Mangkang, terdapat Ngaliyan. Asal nama Ngaliyan diceritakan berasal dari nama seorang pemuda Cina bernama Na Lie Ang dari Gedong Batu. Dia hendak berguru kepada Ki Dapu di Boja.
Dalam perjalanannya, Na Lie Ang mengalami beragam kejadian dan akhirnya meninggal dunia. Ia kemudian dimakamkan di daerah yang kini dikenal dengan Ngaliyan.
Menurut Jonki Tio, banyak warga Cina ke pedalaman dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membuka pemukiman baru, seperti Kranggan, Damaran, dan Petudungan. Sementara itu, dusun-dusun baru juga bermunculan di sekitarnya, seperti Pandean, Jeruk Kingkit, Ambengan, dan lain-lain.
“Daerah Pekojan saat itu merupakan pekuburan warga Tionghoa. Daerah sekitar dan sepanjang Kali Semarang saat itu juga masih hutan dan tegalan. Sekitarnya ada dusun-dusun permukiman Tionghoa, seperti Gang Besen, Gang Tengah, Gang Gambiran, dan lain-lain,” kata Jongki.
Oleh: Afriza Hanifa
Walau Laksamana Cheng Ho beragama Islam, warga Cina non–Muslim tetap memujanya. Sosok Cheng Ho sangat dihormati tak hanya oleh warga Tionghoa, namun juga warga setempat.
Bagi warga Cina, sebuah penghormatan ada seorang laksamana utusan Kaisar Tiongkok menginjakkan kaki di Kota Semarang. Bagi masyarakat Jawa, Cheng Ho memiliki andil dalam penyebaran Islam di Semarang.
Cheng Ho bersama Juru Mudi yang beragama Islam membuat masyarakat Islam Jawa, terutama kejawen, mendatangi Kelenteng Sam Poo Kong.
Setiap malam Jumat Kliwon, mereka berkunjung ke Sam Poo Kong. Dengan membawa bunga, mere ka mendatangi patung Cheng Ho layaknya mendatangi makam wali atau sunan.
Hal tersebut tak beda jauh dengan apa yang dilakukan warga Tionghoa yang menyembah Cheng Ho layaknya dewa. Meski telah diketahui secara jelas bahwa Cheng Ho beragama Islam, namun tak menyurutkan masyarakat Cina untuk menyembah dan memujanya.
Menurut Jongkie Tio, penyembahan tersebut berawal dari salah kaprah menyikapi patung yang dibuat orang-orang pendahulu. Berawal satu dua orang yang menyebut keinginannya di depan patung Cheng Ho, namun ternyata terkabul.
Kabar pun berkembang, warga Tionghoa mulai percaya patung Cheng Ho dapat menjadi perantara doa mereka kepada Tuhan. Mereka pun mulai menyembahnya.
Padahal, menurut Jongkie, pembuatan patung Cheng Ho oleh pemukim Cina bersama Juru Mudi Cheng Ho yang beragama Islam tidaklah ditujukan untuk menyembah laksamana besar itu. Patung Cheng Ho dibuat sebagai rasa penghormatan.
“Bukan untuk menyembah, tetapi hanya untuk menghormati. Sama halnya seperti kita membuat patung Soekarno, Sudirman. Namun, orang Cina salah kaprah. Berawal mengucap hajat dan terjadi, jadi salah kaprah,” ujarnya.
Bahkan, saat kawasan Simongan dikuasai Yahudi, warga Cina yang biasa menyembah Cheng Ho di Kelenteng Sam Poo Kong merasa kesulitan. Mereka pun akhirnya membuat patung baru Cheng Ho dan diletakkan di Kelenteng Tay Kak Sie.
Hingga kini, setiap tahun digelar arak-arakan Cheng Ho, sekitar akhir Juli atau Agustus. Kegiatan tersebut ditujukan untuk mengiring patung “tiruan” Cheng Ho di Tay Kak Sie menuju patung “asli” di Sam Poo Kong kemudian di bawa kembali ke Tay Kak Sie.
“Patung Cheng Ho yang baru dianggap kesaktiannya kurang. Sehingga, patung baru itu perlu dibawa ke Simongan. Menuju patung Cheng Ho, diambil beberapa abu, kemudian patung baru dibawa kembali ke Gang Lombok (Tay Kak Sie),” jelas Jongkie.
Walau Laksamana Cheng Ho beragama Islam, warga Cina non–Muslim tetap memujanya. Sosok Cheng Ho sangat dihormati tak hanya oleh warga Tionghoa, namun juga warga setempat.
Bagi warga Cina, sebuah penghormatan ada seorang laksamana utusan Kaisar Tiongkok menginjakkan kaki di Kota Semarang. Bagi masyarakat Jawa, Cheng Ho memiliki andil dalam penyebaran Islam di Semarang.
Cheng Ho bersama Juru Mudi yang beragama Islam membuat masyarakat Islam Jawa, terutama kejawen, mendatangi Kelenteng Sam Poo Kong.
Setiap malam Jumat Kliwon, mereka berkunjung ke Sam Poo Kong. Dengan membawa bunga, mere ka mendatangi patung Cheng Ho layaknya mendatangi makam wali atau sunan.
Hal tersebut tak beda jauh dengan apa yang dilakukan warga Tionghoa yang menyembah Cheng Ho layaknya dewa. Meski telah diketahui secara jelas bahwa Cheng Ho beragama Islam, namun tak menyurutkan masyarakat Cina untuk menyembah dan memujanya.
Menurut Jongkie Tio, penyembahan tersebut berawal dari salah kaprah menyikapi patung yang dibuat orang-orang pendahulu. Berawal satu dua orang yang menyebut keinginannya di depan patung Cheng Ho, namun ternyata terkabul.
Kabar pun berkembang, warga Tionghoa mulai percaya patung Cheng Ho dapat menjadi perantara doa mereka kepada Tuhan. Mereka pun mulai menyembahnya.
Padahal, menurut Jongkie, pembuatan patung Cheng Ho oleh pemukim Cina bersama Juru Mudi Cheng Ho yang beragama Islam tidaklah ditujukan untuk menyembah laksamana besar itu. Patung Cheng Ho dibuat sebagai rasa penghormatan.
“Bukan untuk menyembah, tetapi hanya untuk menghormati. Sama halnya seperti kita membuat patung Soekarno, Sudirman. Namun, orang Cina salah kaprah. Berawal mengucap hajat dan terjadi, jadi salah kaprah,” ujarnya.
Bahkan, saat kawasan Simongan dikuasai Yahudi, warga Cina yang biasa menyembah Cheng Ho di Kelenteng Sam Poo Kong merasa kesulitan. Mereka pun akhirnya membuat patung baru Cheng Ho dan diletakkan di Kelenteng Tay Kak Sie.
Hingga kini, setiap tahun digelar arak-arakan Cheng Ho, sekitar akhir Juli atau Agustus. Kegiatan tersebut ditujukan untuk mengiring patung “tiruan” Cheng Ho di Tay Kak Sie menuju patung “asli” di Sam Poo Kong kemudian di bawa kembali ke Tay Kak Sie.
“Patung Cheng Ho yang baru dianggap kesaktiannya kurang. Sehingga, patung baru itu perlu dibawa ke Simongan. Menuju patung Cheng Ho, diambil beberapa abu, kemudian patung baru dibawa kembali ke Gang Lombok (Tay Kak Sie),” jelas Jongkie.
Sesaji halalPemujaan Cheng Ho hampir dilakukan di setiap kelenteng di Semarang. Uniknya, warga Cina memberikan sesaji dengan makanan-makanan halal karena Cheng Ho beragama Islam.
Keunikan masyarakat Cina di Semarang dilihat dari pemujaan kepada tokoh atau leluhur dilakukan tanpa melihat dasar kepercayaan atau agamanya.
Dengan beragamnya kepercayaan dan etnis yang menyembah Cheng Ho, Kelenteng Sam Poo Kong pun tak lagi hanya beraroma dupa. Namun, aroma kembang dan menyan juga mendampingi asap dupa dan lilin. “Yang beragam agama. Mulai Islam, Kejawen, Konghucu, Tao, dan sebagainya,” tutur Jongkie.
Bahkan, Sam Poo Kong, menurut Jongkie, menjadi sebuah kelenteng karena dikembangkan oleh masyarakat Cina. Jika melihat agama Cheng Ho yang Islam, namun mengapa justru yang didirikan sebuah kelenteng bukan masjid.
Menurut Jongkie, terdapat kemungkinan maksud pendirian Sam Poo Kong sebagai masjid. Melihat model bangunan masjid di Cina memang tak berbeda dengan kelenteng.
Namun pada akhirnya, bangunan menjadi kelenteng karena banyaknya warga Cina yang datang meminta hajat dan ternyata terkabul. Sehingga, mereka pun mengembangkan Sam Poo Kong menjadi kelenteng pemujaan.
Ada pun warga Jawa Islam Ke jawen hingga kini masih sering menziarahi “makam” Cheng Ho. Meski lokasinya berada di tengah kelenteng, mereka tetap melakukan kunjungan ziarah.
Mereka bersama-sama warga Tiong Hoa, “menyembah” sosok yang sama, di tempat yang sama. Hanya “persembahan” saja yang berbeda, Kejawen membawa bunga, Tionghoa membawa dupa.
Dalam kepercayaan Cina, mereka memang menyembah banyak dewa yang tak terhitung jumlahnya. Menurut kepercayaan tersebut, mereka tak dapat meminta langsung kepada Tuhan karena jarak hamba dan Tuhan sangat jauh. Sehingga, diperlukan dewa-dewa yang akan “mengantarkan” pesan kepada Tuhan.
Meskipun warga Cina memeluk agama Konghucu, Buddha, Hindu, Kristen, Katolik, atau agama lain selain Islam, mereka akan tetap menuju kelenteng setelah menuju gereja, wihara, dan lain sebagainya. Hal tersebut dijelaskan oleh Jongkie Tio.
“Warga Cina setelah menyembah Tuhan, mereka tetap berkunjung ke kelenteng. Karena, dalam kepercayaan memang Tuhan sangat tinggi sehingga memerlukan dewa-dewa tersebut sebagai perantara. Namun, warga Cina yang memeluk beragama Islam, mereka tak lagi pergi ke kelenteng,” ujarnya.
Dalam ajaran Islam, memang hanya meng-Esakan Allah. Hanya satu Tuhan dan tak ada perantara dalam berdoa. Berbeda dengan ajaran Cina, Islam mengajarkan Tuhan sangat dekat dengan hambanya.
Oleh karena itu, Muslim tak memerlukan perantara seperti dewa untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan.
Meski demikian, di tanah Jawa terdapat nilai Kejawen yang merasuki ajaran Islam. Sehingga, sebagian masyarakat Jawa menganut Kejawen dan mendatangi para tokoh sebagai perantara.
No comments:
Post a Comment