Karbala
Musik yang paling pilu pun tak akan mampu menjadi musik pengiring ketika scene demi scene jengkal demi jengkal tanah yang tandus di padang yang gersang itu ditampilkan dalam pembukaan film dokumenter.
Darah yang sucipun mengakui bahwa di dalam butiran debu debu di tempat itu ada yang tersimpan darah yang seidentik dengan darah Nabi akhir zaman.
Langit yang pernah berubah ke kuning kuningan menyimpan kenangan perubahan warnanya.
Angin yang pernah melewati tempat itu pernah terhenti beberapa saat karna menyaksikan tragedi yang tak akan sebegitu tragis.
Itulah Karbala yang Husein Ra mengambil tanah tersebut sambil bertanya :” Tanah mana ini?.” Seseorang yang bersamanya menjawab:” Karbala!.”
” “Demi Allah, inilah tanah karbun (duka cita) wa bala (dan musibah/ujian). Di sinilah para perempuan akan dijadikan tawanan. Di sini anak-anakku dianiaya, dan di sini para pejuang akan berguguran. Di sini (kehormatan) ahli bayt Rasulullah Saw dihinakan! Di sini, janggutku akan berlumuran darah! Di sini sepetak bumi akan digali untuk jasad kita.” (Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-‘Asqalani)
Ucapan beliau ini tidaklah tanpa dasar, karna ketika Sang Nabi Saw masih hidup pernah kedatangan Jibril dan Huseinpun nyelonong masuk ke majlis di mana Nabi berbincng dengan Jibril.
“Kamu menyayanginya?.” Tanya Jibril.
“Ya.” Jawab Nabi.
“Ummat mu akan membunuhnya, maukah kamu aku tunjukkan di mana dia terbunuh?.” Jibril menyampaikan kabar langit sambil memperlihatkan tanah merah Karbala.
Sejak saat itu Nabi Saw sering memeluk dan menciumi leher Husein, ketika ayahnya, Ali Ra bertanya kenapa beliau sering menciumi lehernya. Beliau tak sanggup menjawab hanya air mata yang membasahi janggut beliau.
Dalam riwayat hadist yang terkenalpun, kita ketahui bersama bahwa Hasan dan Husein sering memanjat ketika sang kakek mendirikan sholat bersama kaum mukminin namun beliau dengan sayang menurunkan keduanya ketika sujud dan menggendong kembali ketika berdiri.
“Siapa yang tidak menyayangi yang kecil maka yang di langitpun tak akan menyayangi..”
Kabar dari Jibril As ini telah menyulut emosi Nabi dan menguak sisi-sisi kemanusiaanya, menggugah dimensi perasaannya seakan ingin merongrong ketegaran jiwanya yang teruji menghdapi ribuan ujian dan bala. Tapi Husein ini memang lain, cucu tetaplah darah dagingnya. Pergulatan batin beliau ini tergambar dengan baik dengan linangan air mata ketika ditanya oleh Ali Ra kenapa beliau sering memeluk tubuh Husein dan menciumi leher yang putih bagaikan susu tersebut.
Darah yang sucipun mengakui bahwa di dalam butiran debu debu di tempat itu ada yang tersimpan darah yang seidentik dengan darah Nabi akhir zaman.
Langit yang pernah berubah ke kuning kuningan menyimpan kenangan perubahan warnanya.
Angin yang pernah melewati tempat itu pernah terhenti beberapa saat karna menyaksikan tragedi yang tak akan sebegitu tragis.
Itulah Karbala yang Husein Ra mengambil tanah tersebut sambil bertanya :” Tanah mana ini?.” Seseorang yang bersamanya menjawab:” Karbala!.”
” “Demi Allah, inilah tanah karbun (duka cita) wa bala (dan musibah/ujian). Di sinilah para perempuan akan dijadikan tawanan. Di sini anak-anakku dianiaya, dan di sini para pejuang akan berguguran. Di sini (kehormatan) ahli bayt Rasulullah Saw dihinakan! Di sini, janggutku akan berlumuran darah! Di sini sepetak bumi akan digali untuk jasad kita.” (Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-‘Asqalani)
Ucapan beliau ini tidaklah tanpa dasar, karna ketika Sang Nabi Saw masih hidup pernah kedatangan Jibril dan Huseinpun nyelonong masuk ke majlis di mana Nabi berbincng dengan Jibril.
“Kamu menyayanginya?.” Tanya Jibril.
“Ya.” Jawab Nabi.
“Ummat mu akan membunuhnya, maukah kamu aku tunjukkan di mana dia terbunuh?.” Jibril menyampaikan kabar langit sambil memperlihatkan tanah merah Karbala.
Sejak saat itu Nabi Saw sering memeluk dan menciumi leher Husein, ketika ayahnya, Ali Ra bertanya kenapa beliau sering menciumi lehernya. Beliau tak sanggup menjawab hanya air mata yang membasahi janggut beliau.
Dalam riwayat hadist yang terkenalpun, kita ketahui bersama bahwa Hasan dan Husein sering memanjat ketika sang kakek mendirikan sholat bersama kaum mukminin namun beliau dengan sayang menurunkan keduanya ketika sujud dan menggendong kembali ketika berdiri.
“Siapa yang tidak menyayangi yang kecil maka yang di langitpun tak akan menyayangi..”
Kabar dari Jibril As ini telah menyulut emosi Nabi dan menguak sisi-sisi kemanusiaanya, menggugah dimensi perasaannya seakan ingin merongrong ketegaran jiwanya yang teruji menghdapi ribuan ujian dan bala. Tapi Husein ini memang lain, cucu tetaplah darah dagingnya. Pergulatan batin beliau ini tergambar dengan baik dengan linangan air mata ketika ditanya oleh Ali Ra kenapa beliau sering memeluk tubuh Husein dan menciumi leher yang putih bagaikan susu tersebut.
Husein bin Ali bin Abi Thalib lahir pada 3 sya’ban tahun ke
empat Hijriah atau bertepatan dengan 8 Januari 626 Masehi. Enam tahun
lebih lima bulan kemudian tepatnya pada 28 shafar tahun ke sebelah
Hijriah bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632 Masehi sang kakek yang
sering memeluknya dan mencium lehernya meninggal dunia setelah beberapa
hari sakit menurut riwayat sampai 10 harian beliau sakit demam setelah
memakan daging pemberian wanita Yahudi walaupun dimuntahkan , bekas
racun itu tetap berbisa.
Babak baru dari kehidupan Husein kecil dimulai, ketika tampuk pimpinan Ummat Islam dipimpin oleh Abu Bakar Asshiddiq, menantu dari kakeknya. Namun kepemimpinan Abu bakar ini tidaklah panjang, 27 bulan beliau memimpin ummat Islam menggantikan Nabi Muhammad ﷺ’.
Meski hanya dua puluh tujuh bulan memimpin, Abu bakar telah menundukkan imperium Persia dan memulai perluasan ke daerah daerah yagn menjadi kekuasaan Romawi yang kelak diteruskan oleh Umar bin Khottob dengan salah satu pencapaian fenomenal yakni penaklukan Jerussalem, kota tiga agama. 21 Jumadil akhir 13 Hijriah tahun 23 Agustus 634 beliau meninggal dunia dan diteruskan oleh Umar bin Khottob. Tidak banyak keterangan yang bisa saya peroleh bagaimana interaksi Husein bin Ali yang waktu Umar menjabat khalifah sudah menjadi pemuda belasan tahun sampai di suatu subuh Umar terbunuh oleh Abu Lu’ Lu’ seorang Persia pada 23 Zul Hijjah 23 Hijriah yang bertepatan dengan 3 November 644 Masehi.
Terbunuhnya Umar bin Khottob ini tidak menimbulkan kontroversi dan setelah kematiannya pun tidak menimbulkan fitnah kecuali ada sedkit selentingan di zaman kita ini , kuburan pembunuh Umar diperlakukan istimewa oleh Syiah Iran. Namun tetap tidak memberikan kontribusi terhadap pemikiran dalam Islam.
Proses peralihan kekuasaan berlangsung alot sampai akhirnya Usman bin Affan di baiat pada 3 Muharram 24 Hijriah selang beberapa hari setelah wafatnya Umar.
Enam tahun pemerintahannya berjalan dengan baik sampai 6 tahun paruh terakhir menurut tarikh khulafa karya Al Khafid Jalaluddin assuyuthi, Ustman banyak mengangkat kerabat dekatnya dan memberikan harta kepda kerabat dekatnya dengan mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar tak pernah mengambil haknya ini sedangkan Ustman mengambilnya. Menurut Ibnu Saad, manusia pada waktu itu mengingkari apa yagn dilakukan oleh Ustman ini. Keingkaran dan ketidakpuasan para sahabat juga menyebabkan perseteruan Ustman dengan Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan Ammar bin Yasir. Gunung es itu akhirnya pecah setelah surat misterius yang ditujukan kepada Gubernur Mesir Ibnu Abi Sarh memerintahkan pembunuhan terhadap Muhammad bin Abu Bakar dan rombongannya menuju Mesir untuk menggantikannya sebagai gubernur Mesir.
Surat yang mengatasnamakan Khalifah Ustman Ra menjadi pemicu pengepungan rumah Ustman Ra sampai kepada peristiwa terbunuhnya beliau. Kontroversi seputar terbunuhnya Ustman inilah yang berbuntut panjang sampai Muawiyah tidak mengakui Khalifah Ali Ra, bapak dari Husein bin Ali bin Abi Thalib yang kala itu berumur 30 tahun dan benang merah Karbala semakin terlihat dari tumpukan benang kusut yang ada.
Nurkholis
Babak baru dari kehidupan Husein kecil dimulai, ketika tampuk pimpinan Ummat Islam dipimpin oleh Abu Bakar Asshiddiq, menantu dari kakeknya. Namun kepemimpinan Abu bakar ini tidaklah panjang, 27 bulan beliau memimpin ummat Islam menggantikan Nabi Muhammad ﷺ’.
Meski hanya dua puluh tujuh bulan memimpin, Abu bakar telah menundukkan imperium Persia dan memulai perluasan ke daerah daerah yagn menjadi kekuasaan Romawi yang kelak diteruskan oleh Umar bin Khottob dengan salah satu pencapaian fenomenal yakni penaklukan Jerussalem, kota tiga agama. 21 Jumadil akhir 13 Hijriah tahun 23 Agustus 634 beliau meninggal dunia dan diteruskan oleh Umar bin Khottob. Tidak banyak keterangan yang bisa saya peroleh bagaimana interaksi Husein bin Ali yang waktu Umar menjabat khalifah sudah menjadi pemuda belasan tahun sampai di suatu subuh Umar terbunuh oleh Abu Lu’ Lu’ seorang Persia pada 23 Zul Hijjah 23 Hijriah yang bertepatan dengan 3 November 644 Masehi.
Terbunuhnya Umar bin Khottob ini tidak menimbulkan kontroversi dan setelah kematiannya pun tidak menimbulkan fitnah kecuali ada sedkit selentingan di zaman kita ini , kuburan pembunuh Umar diperlakukan istimewa oleh Syiah Iran. Namun tetap tidak memberikan kontribusi terhadap pemikiran dalam Islam.
Proses peralihan kekuasaan berlangsung alot sampai akhirnya Usman bin Affan di baiat pada 3 Muharram 24 Hijriah selang beberapa hari setelah wafatnya Umar.
Enam tahun pemerintahannya berjalan dengan baik sampai 6 tahun paruh terakhir menurut tarikh khulafa karya Al Khafid Jalaluddin assuyuthi, Ustman banyak mengangkat kerabat dekatnya dan memberikan harta kepda kerabat dekatnya dengan mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar tak pernah mengambil haknya ini sedangkan Ustman mengambilnya. Menurut Ibnu Saad, manusia pada waktu itu mengingkari apa yagn dilakukan oleh Ustman ini. Keingkaran dan ketidakpuasan para sahabat juga menyebabkan perseteruan Ustman dengan Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan Ammar bin Yasir. Gunung es itu akhirnya pecah setelah surat misterius yang ditujukan kepada Gubernur Mesir Ibnu Abi Sarh memerintahkan pembunuhan terhadap Muhammad bin Abu Bakar dan rombongannya menuju Mesir untuk menggantikannya sebagai gubernur Mesir.
Surat yang mengatasnamakan Khalifah Ustman Ra menjadi pemicu pengepungan rumah Ustman Ra sampai kepada peristiwa terbunuhnya beliau. Kontroversi seputar terbunuhnya Ustman inilah yang berbuntut panjang sampai Muawiyah tidak mengakui Khalifah Ali Ra, bapak dari Husein bin Ali bin Abi Thalib yang kala itu berumur 30 tahun dan benang merah Karbala semakin terlihat dari tumpukan benang kusut yang ada.
No comments:
Post a Comment