Keadilan dalam Islam
FILOSOFIS keadilan dalam perspektif Islam adalah kemaslahatan universal dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di muka bumi, dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna (Agustianto, 2004). Alquran dan hadis sebagai pedoman memiliki daya jangkauan yang luas. Universalitas keadilan dalam Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia, baik pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Esensi ajaran Islam terhadap aspek keadilan sosial dan ekonomi adalah sebuah keharusan yang harus dijalankan oleh umat manusia. Karena keadilan dalam pandangan Islam merupakan kewajiban dan keharusan dalam menata kehidupan setiap manusia. Selain sebagai sebuah dari kewajiban dan keharusan. Keadilan sosial dan ekonomi juga memiliki nilai transedental terhadap Allah (ibadah) sebagaimana firman Allah Swt: “Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan, amat sedikitlah kamu bersyukur.” QS. Al-A’raf: 10)
Ibadah dalam ajaran Islam bersumber kepada dua kutub. Kutub vertikal antara manusia dengan Allah. Kutub horizontal antarsesama manusia. Jadi esensi ajaran Islam tentang keadilan sosial dan ekonomi bisa berada pada kedua kutub. Namun dominasi berada pada interaksinya antarsesama manusia. Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid. Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami.
Setidaknya, ada prinsip utama keadilan dalam Islam, yakni: Pertama, tidak boleh ada saling mengeksploitasi sesama manusia, dan; Kedua, tidak boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja (monopoli). Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukan-Nya.
Interaksi sosial
Manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Kehidupan bermasyarakat dalam Islam sebagai satu aspek untuk mencapai kebahagiaan, merupakan sesuatu yang sangat penting. Oleh karena itu, Islam meletakkan dasar-dasar bagi manusia tentang tata cara hidup bermasyarakat dengan baik (Adnan, 2003:38). Islam membentuk suatu tatanan atas dasar pandangan hidup dan mengangkatnya sebagai modal dasar masyarakat sejahtera. Apabila masyarakat yang mempunyai cita-cita keadilan sosial ingin mendapatkan hasil nyata, maka mereka harus mengorganisasikan diri untuk berusaha mencapai cita-cita tersebut. Jadi, hanya dalam organisasi masyarakatlah diharapkan keadilan sosial itu dapat direalisasikan.
Falsafat ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle: yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme (Agustianto, 2004). Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli atau apa pun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Keadilan ekonomi dalam ajaran Islam adalah adanya aturan main (rules of the game) tentang hubungan ekonomi yang dilandaskan pada etika dan prinsip ekonomi yang bersumber pada Tuhan dan fatwa manusia. Etika dan keadilan ekonomi memiliki keterkaitanya yang tidak dapat dipisahkan. Etika sebagai pondasi dalam membangun sebuah keadilan. Tanpa etika yang kuat, maka implimentasi ekonomi akan terjadi ketimpangan. Islam sangat fokus pada persaudaraan dalam melahirkan keadilan ekonomi. Karena keadilan ekonomi akan membuka ruang dan kesempatan bagi semua manusia di muka bumi untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Tanpa ada saling melakukan eksploitasi.
Menurut Imam Ali, defenisi tentang keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, dapat dikatakan bahwa keadilan ekonomi adalah mengantarkan semua anggota masyarakat kepada hak-hak ekonomi mereka masing-masing. Pandangan Islam tentang sistem ekonomi itu berpijak pada tiga faktor: Pertama, faktor akidah yang berpengaruh kuat pada jiwa seseorang dan pada sikap hidupnya; Kedua, faktor moral yang menjadikan seseorang mempunyai rasa kemanusiaan (humanis) dan bertanggungjawab pada setiap perilakunya, dan; Ketiga, faktor syariah yang berfungsi sebagai sistem komando seseorang dalam bersosialisasi dengan masyarakat luas (M. Faruq an-Nabahan, 2000:3)
Dalam sistem ekonomi Islam, pengorganisasian aktivitas-aktivitas pribadi maupun kolektif yang bersifat ekonomis harus diarahkan untuk mewujudkan suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya kemaslahatan umat. Di samping itu, aktivitas ekonomi juga harus dijadikan sebagai suatu cara untuk mencapai kesejahteraan umat manusia telah ditentukan oleh prinsip-prinsip dan kandungan-kandungan ajaran Islam. Islamlah yang telah memberikan nilai-nilai kepada keadilan sosial. Dengan kata lain, egalitarianisme ekonomi akan menjadi batu uji bagi keadilan sosialisme Islami (Adnan, 2003:53).
Syariat Islam
Secara legal formal, Aceh sebagai satu provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, hingga kini masih terus mencari format ideal dalam mengimplentasikannya. Berbagai teori dan pemahaman tentang syariat Islam dikonsepkan dalam rangka mencari pemantapan dan kesesuaian antara teks dan realitas penerapan syariat Islam, bagaimana yang seharusnya. Meskipun nantinya ditemukan berbagai persoalan dan kesenjangan dalam penyesuaian penerapan antara teks dengan realitasnya. Namun di balik itu, ada esensi keadilan sosial dan ekonomi dalam implimentasi syariat Islam (Syamsul Bahri, 2012:13).
Dalam perspektif Aceh kontemporer, syariat Islam bagian dari alat untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi. Jadi tidak ada alasan bagi siapa pun, untuk menyalahkan syariat Islam sebagai penghambat dalam pencapaian keadilan sosial dan ekonomi. Satu hambatan ketercapaian keadilan sosial dan ekonomi dalam perspektif Aceh adalah berada pada tataran politik baik konseptual maupun praktis. Secara konseptual, seharusnya pemangku kepentingan harus memiliki roadmap yang jelas dalam mencapai keadilan sosial dan ekonomi.
Membangun Aceh yang lebih baik salah satunya harus melalui desain ekonomi yang benar-benar menguntungkan masyarakat kelas bawah. Tidak mudah untuk menyusun desain ekonomi Aceh yang mampu membawa perubahan signifikan dalam tatanan sosial masyarakat Aceh pascatsunami dan konflik. Artinya, untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Aceh dan keadilan ekonomi bagi semua lapisan masyarakat Aceh harus dengan basis ekonomi kerakyatan, yang sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan kemampuan dan karakter Aceh (Apridar, 2013:2).
Dalam ajaran Islam kehidupan masyarakat harus merata. Orang kaya membantu yang miskin. Maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.
Firman Allah Swt: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.” (Qs. An-Nahl: 71)
Jadi keadilan sosial dan ekonomi dalam perspektif keacehan dalam konteks implimentatif sangat tergantung pada political will pada pemangku kebijakan. Kalau pemangku kebijakan membangun berbasis pada kepentingan golongan, maka mustahil keadilan sosial dan ekonomi terwujud. Ini berarti, keadilan sosial dalam pembangunan di Aceh harus berbasis pemberdayaan sumber daya manusia seluruh masyarakat Aceh. Dan, sebagai sebuah epilog dari tulisan mengenai ajaran Islam tentang keadilan terutama pada bidang sosial dan ekonomi setidaknya harus dapat membawa virus dalam mereduksi kemiskinan di Aceh.
* Dr. Apridar, SE, M.Si, Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Lahokseumawe. Email: apridarunimal@yahoo.com
Esensi ajaran Islam terhadap aspek keadilan sosial dan ekonomi adalah sebuah keharusan yang harus dijalankan oleh umat manusia. Karena keadilan dalam pandangan Islam merupakan kewajiban dan keharusan dalam menata kehidupan setiap manusia. Selain sebagai sebuah dari kewajiban dan keharusan. Keadilan sosial dan ekonomi juga memiliki nilai transedental terhadap Allah (ibadah) sebagaimana firman Allah Swt: “Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan, amat sedikitlah kamu bersyukur.” QS. Al-A’raf: 10)
Ibadah dalam ajaran Islam bersumber kepada dua kutub. Kutub vertikal antara manusia dengan Allah. Kutub horizontal antarsesama manusia. Jadi esensi ajaran Islam tentang keadilan sosial dan ekonomi bisa berada pada kedua kutub. Namun dominasi berada pada interaksinya antarsesama manusia. Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid. Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami.
Setidaknya, ada prinsip utama keadilan dalam Islam, yakni: Pertama, tidak boleh ada saling mengeksploitasi sesama manusia, dan; Kedua, tidak boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja (monopoli). Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukan-Nya.
Interaksi sosial
Manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Kehidupan bermasyarakat dalam Islam sebagai satu aspek untuk mencapai kebahagiaan, merupakan sesuatu yang sangat penting. Oleh karena itu, Islam meletakkan dasar-dasar bagi manusia tentang tata cara hidup bermasyarakat dengan baik (Adnan, 2003:38). Islam membentuk suatu tatanan atas dasar pandangan hidup dan mengangkatnya sebagai modal dasar masyarakat sejahtera. Apabila masyarakat yang mempunyai cita-cita keadilan sosial ingin mendapatkan hasil nyata, maka mereka harus mengorganisasikan diri untuk berusaha mencapai cita-cita tersebut. Jadi, hanya dalam organisasi masyarakatlah diharapkan keadilan sosial itu dapat direalisasikan.
Falsafat ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle: yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme (Agustianto, 2004). Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli atau apa pun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Keadilan ekonomi dalam ajaran Islam adalah adanya aturan main (rules of the game) tentang hubungan ekonomi yang dilandaskan pada etika dan prinsip ekonomi yang bersumber pada Tuhan dan fatwa manusia. Etika dan keadilan ekonomi memiliki keterkaitanya yang tidak dapat dipisahkan. Etika sebagai pondasi dalam membangun sebuah keadilan. Tanpa etika yang kuat, maka implimentasi ekonomi akan terjadi ketimpangan. Islam sangat fokus pada persaudaraan dalam melahirkan keadilan ekonomi. Karena keadilan ekonomi akan membuka ruang dan kesempatan bagi semua manusia di muka bumi untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Tanpa ada saling melakukan eksploitasi.
Menurut Imam Ali, defenisi tentang keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, dapat dikatakan bahwa keadilan ekonomi adalah mengantarkan semua anggota masyarakat kepada hak-hak ekonomi mereka masing-masing. Pandangan Islam tentang sistem ekonomi itu berpijak pada tiga faktor: Pertama, faktor akidah yang berpengaruh kuat pada jiwa seseorang dan pada sikap hidupnya; Kedua, faktor moral yang menjadikan seseorang mempunyai rasa kemanusiaan (humanis) dan bertanggungjawab pada setiap perilakunya, dan; Ketiga, faktor syariah yang berfungsi sebagai sistem komando seseorang dalam bersosialisasi dengan masyarakat luas (M. Faruq an-Nabahan, 2000:3)
Dalam sistem ekonomi Islam, pengorganisasian aktivitas-aktivitas pribadi maupun kolektif yang bersifat ekonomis harus diarahkan untuk mewujudkan suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya kemaslahatan umat. Di samping itu, aktivitas ekonomi juga harus dijadikan sebagai suatu cara untuk mencapai kesejahteraan umat manusia telah ditentukan oleh prinsip-prinsip dan kandungan-kandungan ajaran Islam. Islamlah yang telah memberikan nilai-nilai kepada keadilan sosial. Dengan kata lain, egalitarianisme ekonomi akan menjadi batu uji bagi keadilan sosialisme Islami (Adnan, 2003:53).
Syariat Islam
Secara legal formal, Aceh sebagai satu provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, hingga kini masih terus mencari format ideal dalam mengimplentasikannya. Berbagai teori dan pemahaman tentang syariat Islam dikonsepkan dalam rangka mencari pemantapan dan kesesuaian antara teks dan realitas penerapan syariat Islam, bagaimana yang seharusnya. Meskipun nantinya ditemukan berbagai persoalan dan kesenjangan dalam penyesuaian penerapan antara teks dengan realitasnya. Namun di balik itu, ada esensi keadilan sosial dan ekonomi dalam implimentasi syariat Islam (Syamsul Bahri, 2012:13).
Dalam perspektif Aceh kontemporer, syariat Islam bagian dari alat untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi. Jadi tidak ada alasan bagi siapa pun, untuk menyalahkan syariat Islam sebagai penghambat dalam pencapaian keadilan sosial dan ekonomi. Satu hambatan ketercapaian keadilan sosial dan ekonomi dalam perspektif Aceh adalah berada pada tataran politik baik konseptual maupun praktis. Secara konseptual, seharusnya pemangku kepentingan harus memiliki roadmap yang jelas dalam mencapai keadilan sosial dan ekonomi.
Membangun Aceh yang lebih baik salah satunya harus melalui desain ekonomi yang benar-benar menguntungkan masyarakat kelas bawah. Tidak mudah untuk menyusun desain ekonomi Aceh yang mampu membawa perubahan signifikan dalam tatanan sosial masyarakat Aceh pascatsunami dan konflik. Artinya, untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Aceh dan keadilan ekonomi bagi semua lapisan masyarakat Aceh harus dengan basis ekonomi kerakyatan, yang sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan kemampuan dan karakter Aceh (Apridar, 2013:2).
Dalam ajaran Islam kehidupan masyarakat harus merata. Orang kaya membantu yang miskin. Maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.
Firman Allah Swt: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.” (Qs. An-Nahl: 71)
Jadi keadilan sosial dan ekonomi dalam perspektif keacehan dalam konteks implimentatif sangat tergantung pada political will pada pemangku kebijakan. Kalau pemangku kebijakan membangun berbasis pada kepentingan golongan, maka mustahil keadilan sosial dan ekonomi terwujud. Ini berarti, keadilan sosial dalam pembangunan di Aceh harus berbasis pemberdayaan sumber daya manusia seluruh masyarakat Aceh. Dan, sebagai sebuah epilog dari tulisan mengenai ajaran Islam tentang keadilan terutama pada bidang sosial dan ekonomi setidaknya harus dapat membawa virus dalam mereduksi kemiskinan di Aceh.
* Dr. Apridar, SE, M.Si, Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Lahokseumawe. Email: apridarunimal@yahoo.com
No comments:
Post a Comment