Ilustrasi
Manusia dengan kombinasi kekuatan jamaliyyah dan jalaliyyah mampu mencapai maqam “sintesa ketuhanan”.
Sifat dan asma Allah SWT dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu sifat jalaliyyah dan jamaliyyah. Sifat jalaliyyah ialah sifat yang menggambarkan kemahaperkasaan dan kemahakerasan Allah.
Sedangkan, sifat-sifat jamaliyyah ialah sifat yang menggambarkan kelembutan dan dan kemahapengasihan Allah. Satu-satunya makhluk yang mampu mengaktualisasikan sekaligus menjadi lokus penampakan (mazhhar) asma dan aushaf (sifat) Allah hanyalah manusia. Dan, itulah mengapa manusia dipilih menjadi khalifah-Nya.
Makhluk-makhluk lain, termasuk malaikat, hanya mampu mengaktualisasikan sekaligus menjadi mazhhar lokus sifat jamaliyyah-Nya karena mereka tidak memiki kekuatan jalaliyyah, yaitu kekuatan amarah (al-quwwah al-gadhabiyyah) dan kekuatan birahi (al-quwwah al-syahwatiyyah).
Malaikat melakukan “protes” terhadap rencana Tuhan menciptakan manusia, apalagi sebagai khalifah di bumi karena khawatir akan kedua kekuatan tersebut.
Padahal, justru kekuatan jalaliyyah itu (tentunya disamping kekuatan jamaliyyah) menjadi keunggulan manusia. Setelah Allah menunjukkan kehebatan manusia maka para malaikat sujud kepada manusia (Adam) (QS al-Baqarah [2]: 30)
Konsekuensi penggabungan kedua kekuatan tersebut (jalaliyah dan jamaliyyah) membuat manusia bisa mengemban fungsinya sebagai khalifah. Fungsi inilah yang memungkinkan manusia melahirkan peradaban. Manusia juga satu-satunya makhluk yang menurut S H Nasr disebut makhluk eksistensialis, yaitu makhluk yang bisa turun naik derajatnya di sisi Allah.
Manusia memiliki potensi dan kemampuan untuk menjadi makhluk termulia (ahsan taqwim) (QS at-Tin [95]: 4), hingga menembus Sidratil Muntaha. Tapi, manusia juga bisa jatuh ke lembah paling hina (asfalas safilin) (QS at-Tin [95]: 5), bahkan bisa lebih rendah dari binatang. (QS al-A'raf [7]: 179).
Malaikat tidak mungkin berdosa karena tidak memiliki quwwatul jalaliyyah. Mereka hanya memiliki quwwatul jamaliyyah sebagaimana makhluk Tuhan lainnya. Malaikat dan makhluk lainnya hanya bisa merepresentasikan aspek perbedaan dan ketakterbandingan (tanzih), tetapi tidak bisa merepresentasikan aspek keserupaan dan keterbandingan (tasybih).
Sebaliknya, manusia dengan kombinasi kekuatan jamaliyyah dan jalaliyyah mampu mencapai maqam “sintesa ketuhanan” (al-jam'iyyat al-ilahiyyah). Manusia mampu menampilkan sifat jalaliyyah disamping sifat jamaliyyah.
Ilustrasi
Manusia yang sudah mencapai makrifat tingkat lebih tinggi akan memahami sekaligus menyadari sepenuhnya setiap akibat atau kenyataan apa pun yang menimpa dirinya merupakan konsekuensi dirinya sebagai makhluk lokus/mazhhar Allah.
Tidak mungkin manusia secara kolektif bersih dari dosa seperti halnya malaikat. Manusia sengaja diciptakan untuk mazhhar sejumlah asma dan sifat-sifat Allah. Misalnya, Allah mempunyai nama dan sifat Maha Pencipta (al-Khaliq) dan Maha Pemberi (al-Wahhab).
Sulit kita bayangkan Tuhan Mahapencipta dan Mahapemberi tanpa ada makhluk dan objek yang akan menerima pemberian. Sulit dipahami Allah sebagai Tuhan (Rabb), tanpa ada penyembah-Nya (marbub) atau Ilah tanpa ma'luh.
Demikian pula, Mahapenerima taubat (al-Tawwab), Mahapengampun (al-Gafur), dan Mahapemaaf (al-'Afuw). Asma dan sifat-sifat itu sulit dipahami tanpa ada makhluk pendosa. Rasulullah pernah menjelaskan, “Seandainya semua manusia tidak ada lagi yang berdosa maka Allah akan menciptakan makhluk lain yang berdosa.”
Manusia yang sudah mampu mencapai makrifat tingkat lebih tinggi akan memahami dan sekaligus menyadari sepenuhnya setiap akibat atau kenyataan apa pun yang menimpa dirinya merupakan konsekuensinya sebagai makhluk lokus/mazhar Allah SWT. Tidak mungkin manusia secara kolektif bersih dari dosa seperti halnya malaikat.
Manusia sengaja diciptakan untuk mazhhar sejumlah asma’ dan sifat-sifat Allah. Misalnya, Allah mempunyai nama dan sifat Mahapencipta (al-Khaliq) dan Mahapemberi (al-Wahhab).
Hanya di sini perlu ditegaskan bahwa manusia sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk berdosa tidak bisa dijadikan alasan pembenaran dosa. Meskipun Allah at-Tawwab, al-Gafur, dan al-‘Afwu, tetapi Allah juga Mahapembalas (al-Muntaqim) dan Mahaadil (al-‘Adl).
Siapa tahu bukan diri kita yang didatangi Tuhan bukan sebagai al-Tawwab, al-Gafur, dan al-‘Afuw maka malapetaka bagi kita. Namun, jika kita sudah telanjur berdosa maka Allah berhak membukan pintu maaf bagi yang dikehendakinya.
Konsekuensi manusia sebagai penyandang al-jam’iyyah Ilahiyyah, harus menyadari bahwa hidup ini tidak hanya datar, penuh keindahan, kebahagiaan, dan kedamaian. Tetapi, hidup manusia juga penuh kesulitan, kesusahan, dan penderitaan.
Manusia bukan malaikat yang sepanjang hidupnya jamaliyyah atau mungkin iblis sepanjang hidupnya jalaliyyah.
Manusia harus bersedia menjalani kehidupannya penuh dengan tawa dan tangis, berimbang antara harapan (raja’) dan ketakutan (khauf), terkadang berperasaan jauh dengan Tuhan (tanazzuh), terkadang pula berperasaan sangat dekat (tasybih), bahkan menyatu dengan Tuhan (ittihad).
Itulah manusia, senantiasa dibayangi
mix feeling dan fluktuasi kehidupan. Untuk mengatasi masalah ini, ada Alquran dan hadis Nabi yang dapat dijadikan penuntun dan kekuatan stabilisator dalam menjalani kehidupan.
Orang yang sudah mencapai makrifat sulit membedakan antara seonggok batu dan seonggok berlian atau antara musibah dan rahmat. Mereka merasakan keindahan keduanya. Tidak ada lagi kutub yang berbeda. Hanya orang yang belum mencapai tingkat makrifat yang sulit mengerti nama dan sifat Allah al-Awwal dan al-Akhir serta az-Zhahir dan al-Bathin.
Jika seseorang selalu saja mengelak dan membenci musibah serta terus berharap dan mencintai rahmat-Nya maka itu pertanda masih kuatnya ego yang bersangkutan. Jika ego manusia sudah tenggelam, apa pun yang datang kepadanya adalah nikmat. Karena, ia sudah meniru kehidupan malaikat yang dipadati kekuatan jamaliyyah.
Allahu a’lam.
Dalam kitab-kitab tafsir Syiah dan umumnya para sufi secara terus terang mengatakan bahwa roh yang ada di dalam diri Adam, “
Wa nafakhtu fihi min ruhi (Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku),” (QS al-Hijr [15]: 29), yaitu “roh dari Tuhan”.
Karena itu, setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai maka para makhluk lain termasuk, para malaikat dan jin, bersujud kepadanya dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi (QS al-An’am [6]: 165) disamping sebagai hamba (QS az-Dzariyaat [51]: 56).
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis. Karena, hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim) (QS at-Tin [95]: 4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat “paling rendah” (asfala safilin) (QS at-Tiin [95]: 5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (QS al-A’raf [7]:179).
Eksistensi kesempurnaan manusia dapat dicapai manakala ia mampu menyinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang dimilikinya. Yaitu, kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasan rohani (SI).
Prof Dr Nasaruddin Umar
No comments:
Post a Comment