Menelusuri Jejak H. Hayun
Persisnya, Ahad 2 Februaru 2014, sekitar Pukul 16.30 WITA, di ruangan kecil berukuran 4×4. Saat itu, suasana kantor Lembaga Bantuan Hukum Progresif Tolitoli sepi. Dalam kesendirian yang hanya ditemani dua buah lemari dengan sejumlah buku yang menjadi etalasenya, mengugah keinginanku untuk mencari referensi mengenai sosok H. Hayun, pemuka masyarakat yang paling dikagumi sebagian warga di Kabupaten Tolitoli.
Cursor laptop berwarna biru, yang diletakkan di atas meja setengah biro inventaris kantor ku gerakkan. Sejumlah website saya kunjungi, mulai dari website milik Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, perpustakaan sejarah Universitas Gajah Mada, hingga website balai penelitian milik Universitas Tadulako.
Dari beberapa website itu saya menemukan sejumlah judul tulisan tentang perjuangan H. Hayun yang ditulis oleh sejumlah peneliti, antaralain adalah Juraid, dalam tesisnya, ia menulis karya ilmiah dengan judul “Pemberontakan Rakyat Tolitoli 1919”. Tesis ini diterbitkan oleh Universitas Gajah Mada pada tahun 1996.
Judul tulisan lainnya adalah “Perlawanan Rakyat Tolitoli Terhadap Penjajah, 1919-1945” yang ditulis oleh H. Baso Siodjang. Laporan penelitain tersebut diterbitkan oleh balai penelitian milik Universitas Tadulako. Namun sayang, saya sama sekali tidak bisa mengakses isi dari dua tulisan tersebut, karena isi yang merupakan subsatansi tulisan tidak dipublish secara gratis.
Lain halnya dengan website Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Saya tidak menemukan kata kunci tentang H. Hayun, sehingga mesin pencari data website tidak dapat menemukan apa yang saya cari. Atau mungkin sejarah H. Hayun tidak diarsipakn pada laman website milik pemerintah ini.
Tidak berhenti sampai disitu, saya kembali membuka laman (searcing google), saya menuliskan kalimat “Perlawanan Rakyat Tolitoli”, setelah menunggu beberapa menit, muncul sebuah laman, disitu tertulis kalimat “Pemberontakan Rakyat Toli-Toli 1919”. Tidak menunggu lama cursor laptop langsung saya arahkan ke situs itu. Saya tidak mencari tau lebih banyak mengenai situs yang diberi nama http://www.berdikarionline.com ini apakah sebuah media elktronik. Jelasnya, saya hanya tertuju pada apa yang saya cari yakni referensi mengenai H. Hayun.
Satu alasan mengapa sore itu saya begitu responsive mencari situs yang memuat sejarah H. Hayun, tujuannya yakni untuk menganalisis lebih jauh apakah H. Hayun “pemberontak” atau “pejuang”. Sebelum melakukan pencarian referensi, saya juga sempat menuliskan kalimat “H. Hayun pemberontak atau pejuang kemerdekaan” di halaman jejaring sosial. Banyak kalangan yang menanggapi status itu. Semuanya bersepakat bahwa H. Hayun adalah pejuang kemerdekaan, ia dengan berani melawan kolonialisme Belanda, demi memperjuangkan hak dan harga diri rakyat Salumpaga.
Melalui tulisan ini saya ingin mencoba menganilisis siapakah sebenarnya H. Hayun, apakah ia seorang “pemberontak” yang mempin pemberontakan lokal sehingga menewaskan Controil de Kat Angelino (Prajurit Hindia-Belanda) dengan sejumlah luka bacokan, serta mendalangi pembantaian Raja Haji Ali yang mendampingi sang controil, ataukah H. Hayun seorang “pejuang” yang membela mati-matian diskriminasi hak asasi manusia untuk tidak ditindas, hak ummat muslim untuk bebas beribadah tanpa tendensi, hak tidak dieksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan dan perintah Belanda untuk kerja paksa (heerendienst).
Meletusnya Pemberontakan
Di Salumpaga, seiring dengan datangnya controlir, kepala distrik, dan empat orang polisi, rakyat menggelar pertemuan besar di rumah seorang tokoh SI bernama Haji Hayun. Pertemuan itu menghasilkan keputusan berupa permintaan penundaan hukuman terhadap para heerendienst. Alasannya, waktu pelaksanaan hukuman itu bersamaan dengan ibadah puasa.
Namun, permintaan itu ditolak oleh controlir. Ia memerintahkan empat orang polisi pengawalnya untuk tetap menangkapi para heerendienst. Orang hukuman itu kemudian digiring oleh polisi menuju tempat hukuman. Situasi itulah yang memicu kemarahan rakyat Salumpaga.
Dengan teriakan “Allahu Akbar”, Haji Hayun memimpin rakyat Salumpaga menyerang Controlir dan pengawalnya. Controlir de Kat Angelino mendapat bacokan klewang berkali-kali. Bacokan pertama menghantam tulang pipi-kirinya. Kemudian bacokan kedua mengenai paha kirinya. Controlir itu pun tersungkur ke tanah. Lalu, bacokan ketiga merenggut nyawanya.
Raja Haji Ali, yang turut mendampingi controlir, tidak lepas dari amukan massa-rakyat. Sebuah lemparan tombak mengenai lambung kanannya. Lalu, massa rakyat yang marah menebas lehernya. Sebagian besar pengirim dan pasukan pengawal juga turut tewas.
Yang selamat hanya kepala distrik Mohamad Saleh dan seorang pengawalnya. Saat itu ia berhasil bersembunyi dari massa. Dia-lah yang kemudian membawa kabar kerusuhan ke Toli-Toli. (Sumber : “Pemberontakan Rakyat Toli-Toli 1919”, www.berdikarionline.com yang di poskan oleh Sigid Budiarto pada Minggu, 1 Desember 2013).
Coba kita kaji secara harfiah tentang kata pemberontakan. Dalam kamus Bahasa Indonesia, pengertian umum kata pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas. Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini juga sering digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Terkadang, sebuah pemberontakan bisa dibilang revolusi oleh pemimpin pemberontakan tersebut. Tengok saja pemberontakan Amerika Serikat terhadap Ingris pada era perang kemerdekaannya. Atau gerakan milisi di Irlandia yang disebut dengan IRA. Memang hal itu bisa terjadi jika syarat-syarat revolusi bisa tercapai. (Sumber : Ensiklopdeia bebas)
Kebanyakn pemberontakan dilaksanakan untuk menggulingkan tirani pemerintahan, menggantinya dengan pemerintahan yang baru, baik dari segi keseluruhan nation, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada perang saudara Amerika atau seperti yang dilakukan GAM di Aceh, SPLM di Sudan, Checnya di Rusia, atau sejarah perjuangan Fidel Castro dan Che Guevara di Amerika Latin.
Pemberontakan tidak saja hanya gerakan anti-pemerintah yang dilakukan dengan mengangkat senjata. Setidaknya, ada beberapa tipe pemberontakan sebagai bagian ketidakmauan berkolaborasi dan berkorporasi serta bekerjasama dengan pemerinta, seperti yang dilakukan oleh Mahatmah Gandhi, gerakan mempertahankan wilayah yang dikuasai oleh musuh, seperti perang revolusi Indonesia pada 1945-1949. Gerakan revolusi yang mengakar dan dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan yang ada, seperti Revolusi Rusia. Pemberontakan lokal, seperti Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Dipanigara. Pembangkangan militer pada pemimpinyya, layaknya yang dilakukan militer Filipina pada masa presiden Gloria Macapagal Arroyo.
Sementara itu, dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “pejuang” diartikan sebagai seorang prajurit atau orang yang berjuang. Kongkritnya, “pejuang” adalah mereka yang berusaha keluar dari bentuk diskriminasi dan eksploitasi sosial. Jika dipersempit lagi, “pejuang” adalah orang yang berupaya mengembalikan hak dasar manusia yakni merdeka dari segala macam bentuk penjajahan dan penindasan. Merdeka didefinisikan sebagai suatu hak setiap orang untuk mengendalikan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain, sinonimnya adalah kebebasan.
Pejuang kemerdekaan pada konteks ke Indonesiaan dideskripsikan sebagai gerakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda yang mengeksploitasi sumber daya alam wawasan nusantara termasuk rakyatnya selama ratusan tahun lamanya.
Pada kondisi tertekan seperti ini, H. Hayun bersama sejumlah koloninya melakukan perlawanan terhadap kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda yang mengharuskan heerendienst (kerja paksa) dalam pembangunan dermaga, letaknya di Tanjung Batu, dulu disebut Tanjung Beringin, tepatnya di Kelurahan Baru, Kecamatan Baolan. Kala itu, rakyat Salumpaga mendapat giliran kerja rodi saat memasuki Bulan Ramadhan.
Imam besar Salumpaga ini dengan gigih mengumandangkan anti penindasan terhadap kaum penjajah yang sewenang-wenang merebut kemerdekaan rakyat. Perjuangan masyarakat lokal ini mendapat sambutan hangat dan apresiasi serta pemicu semangat perlawanan masyarakat desa di sejumlah daerah pada era tahun 1920. Bentuk perlawanannya ini merupakan corong referensi perlawanan rakyat di sejumlah daerah, semisal meletusnya perang perlawanan di Donggala dan di Garut, Jawa Barat.
Sejatinya, pejuang gerakan anti diskriminasi dan eksploitasi sosial terhadap tirani kekuasaan tidak layak kita anggap sebagai “pemberontak”, melainkan harus diapresiasi sebagai “pejuang”. Apalagi di era modern seperti sekarang ini, kebebasan adalah hak mutlak setiap mahluk hidup. Kebebasan yang saya maksudkan adalah kebebasan mendapatkan kemerdekaan hidup, baik pada konteks sosial, penghidupan yang layak dan kepastian hukum.
Bentuk perlawanan H. Hayun, sejatinya harus menjadi referensi utama bagi kita. Sebab, perjuangan tidak hanya semata membela individu, melainkan kolektifitas rakyat yang haknya dirampas paksa, kesempatannya dicuri, kebebasannya dirantai, tenaganya diperas, keluarganya tidak merasa nyaman, sebab bayangan-bayangan siksaan selalu menjadi hantu yang mengerikan.
“Lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan, Tunduk tertindas atau bangkit untuk melawan, sebab diam adalah sebuah penghianatan,” (Soe Hok Gie).
Saya kira, tidak ada salahnya jika pemerintahan di Kabupaten Tolitoli membuat rumusan untuk mendorong legalitas nama H. Hayun agar dapat dikukuhkan sebagai pahlawan.
Penulis adalah :
Staf Lembaga Bantuan Hukum Progresif
Tolitoli
No comments:
Post a Comment