Pelabuhan Aceh dalam Catatan Sejarah

Pelabuhan Aceh dalam Catatan Sejarah
Pelabuhan Sabang tahun 1923. @repro Mawardi Umar
Catatan sejarah ini merupakan bukti yang cukup kuat bahwa pelabuhan dagang Aceh sudah ada sejak dulu kala
GUBERNUR Zaini Abdullah bersama Wakil Gubernur Muzakir Manaf hendak membangun kembali kejayaan Aceh dengan membangkitkan pelabuhan-pelabuhan strategis yang ada di daerah ini. Diantara pelabuhan itu yaitu Sabang, Malahayati, Kuala Langsa, Krueng Geukuh dan Teluk Surin yang pernah berjaya pada era kerajaan tempo dulu.

Pelabuhan-pelabuhan ini sudah berdiri sejak Kerajaan Aceh Darussalam belum terbentuk. Bahkan sudah ada sejak kehidupan primitif menguasai daratan Sumatera. Banyak versi yang menyebutkan sejarah berdirinya pelabuhan di Aceh dan cerita rakyat di dalamnya. Apalagi di abad 16 saat Aceh “ditemukan” Portugis, daerah ini sudah memiliki pelabuhan dagang yang sudah maju pada perbatasan dua dunia.

Selain itu, sejarah pelabuhan Aceh juga pernah dinukilkan dalam sumber dari beberapa negara seperti Cina, Arab, India bahkan Eropa. Catatan sejarah ini merupakan bukti yang cukup kuat bahwa pelabuhan dagang Aceh sudah ada sejak dulu kala. Pelabuhan dagang ini ketika didapati sudah menjadi persimpangan internasional. Menurut Sejarah Dinasti Liang abad ke 6, seperti dinukilkan Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda, telah menyebutkan adanya kerajaan Poli yang rajanya beragama Budha. Saat itu, negara yang berada di ujung Pulau Sumatera ini sudah mengirimkan utusannya ke istana raja-raja Liang pada tahun 518.

Sementara mulai abad ke-9 beberapa teks Arab menyebut suatu daerah yang bernama R?mi atau Ramni serta terkadang disebut Lamri yang terletak di ujung Sumatera. Sementara pada tahun 1030 atau 1031, menurut Denys Lombard, prasasti Thanjavur menyebutnya dengan tanah Il?muride?am. Prasasti itu menyebutkan tanah tersebut terletak dekat M?nakkav?ram atau Pulau Nikobar Besar yang diperintah oleh R?jendraco?adeva I.
Di abad ke 13 teks-teks dari Cina menyebut nama Lanwuli atau Lanli yang mengingatkan akan daerah bernama Lamuri. Sementara pada akhir abad ke 13, Marco Polo singgah di pelabuhan-pelabuhan bagian utara Sumatera dan memberitakan terdapatnya agama Islam di salah satu dari enam pelabuhan dagang yang dikunjunginya. Diantaranya, tulis Denys Lombard merujuk pada kesaksian Marco Polo, yaitu Ferlec, Basman, Sumatra, Dagroian, Lambri, dan Fansur.
Penyebutan nama Lamuri juga disampaikan oleh Ibnu Sa’id di akhir abad ke 13 oleh Rasyid ad Din pada tahun 1310 dan oleh Abulfida pada 1273 hingga 1331. Rasyid ad Din bahkan menyebutkan Lamuri saat itu telah memiliki raja sendiri. Sementara Abulfida memperkenalkan daerah itu sebagai tempat utama penghasil komoditas kayu sapang dan bambu.
Pada tahun 1323 biarawan Odoric de Pordenone dengan marah menunjuk adat kebiasaan biadab atau poligami dan kanibalisme di negeri Lamuri. Sumber lainnya yang menyebutkan adanya negara Lamuri juga termaktub dalam Kitab N?garakert?gama. Kitab Majapahit tersebut menyebut Lamuri bersama Tamiang, Perlak, Samudra, Barus dan Barat merupakan sekutu “setia” kerajaan di Jawa tersebut.
Dari beragam catatan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan adanya pelabuhan dagang di pesisir sebuah daerah di ujung Sumatera. Pelabuhan-pelabuhan ini diramaikan oleh pedagang-pedagang asing yang berlabuh di sana. Seperti kapal dari India atau Cina yang membawa hasil-hasil alam seperti kamper, kayu sapang, kayu gaharu dan kasturi. Persaingan dagang telah terjadi antara penjelajah asing saat itu di pelabuhan yang kerap disebut dengan Lamuri.
Namun di abad ke 14 terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut. Setidaknya campur tangan pedagang asing seperti dari India telah mempengaruhi sistem perekonomian di beberapa pelabuhan dagang ini, termasuk Lamuri. Penjelajah dari Asia Selatan ini telah memperkenalkan penanaman lada kepada penduduk setempat sebagai mata pencaharian hidup dan barang yang bisa diekspor saat itu.
Sementara di saat bangsa Portugis mendatangi Pulau Sumatera di tahun 1509, posisi Lamuri telah digantikan oleh dua pelabuhan dagang lainnya seperti Pasee dan Pidir. Pengarang suma oriental Tome Pires menyebutkan, Pasee bagi sebagian penjelajah saat itu disebut dengan Camotora. Daerah ini memiliki 20 ribu penduduk yang didominasi oleh Benggali yang telah menjadi muslim berkat bangsa Mor.
“Pidir dahulu kala menguasai pintu masuk ke selat-selat, memegang seluruh perniagaan dan lebih ramai didatangi daripada Pacee,” kata Tome Pires seperti dikutip Denys Lombard. Namun, kata Pires, para pedagang masih terus berdatangan setiap tahunnya ke daerah ini seperti dari Kambay dan dari Benggala serta dari Benua Quelin atau Kling (Kalingga) dari pantai timur India. Selain itu, pelabuhan tersebut juga masih dikunjungi oleh kapal Pegu.
Pengaruh pelabuhan ini kian surut sejak Kerajaan Aceh dibentuk meski perdagagan di wilayah pantai barat-selatan dan pantai timur Aceh masih berjaya. Misalnya di Tapak Tuan, Sama Dua, Teluk Pauh, Meukek, Labuhan Haji, Manggeng, Susoh, Kuala Batu, Seunagan, Meulaboh, Bubon, Woyla, Panga, Sawang, Rigaih, Lageuen, Babah Weh, Onga, dan Daya. Pedagang Amerika dari kota-kota pelabuhan seperti Salem, Boston, New York, Beverly, Philadelphia, Marlblehead, New Bedford, Baltimore, Gloucester, Newburyport, Fall River, dan Pepperelborough seringkali lego jangkar di kawasan-kawasan tersebut untuk membeli lada.
Meskipun begitu, setiap pedagang asing yang masuk ke Aceh harus terlebih dahulu melapor ke bea cukai di Kuala Naga atau Krueng Aceh. Jikapun ada pedagang-pedagang yang melakukan transaksi di pelabuhan Lamuri, Pidir, Pasai, Idi atau pantai barat selatan maka harus dicatat oleh bea cukai untuk diserahkan laporannya ke pusat kerajaan. Bagi beberapa pedagang yang belum memiliki izin berdagang dari Sultan Aceh, maka dianjurkan untuk mengurus administrasinya ke Banda Aceh.
Di masa kejayaan pelabuhan-pelabuhan ini, Sabang atau Pulau Weh saat itu hanya sebuah daerah yang tidak digubris oleh kerajaan. Pulau Weh atau dikenal dengan sebutan Gamispola oleh Marco Polo bersama dengan Pulau Breuh dan Pulau Bunta sangat berbahaya untuk didarati. De Graff  salah satu penjelajah Belanda telah merasakan ganasnya pantai Pulau Weh yang dipenuhi karang saat ia hendak menuju Kerajaan Aceh.
“Kami berlayar menyusuri tepi barat Sumatera dan nyaris kandas pada karang-karang Pulo Way (Pulau Weh) dan seandainya laut pada waktu itu tinggi, rasa-rasanya kami tidak bakal bisa selamat,” ujar De Graff.
Sementara Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, Mawardi Umar mengatakan Sabang mulai penting sejak Perang Belanda di Aceh meletus tahun 1873. Peran Sabang saat itu sebagai tempat singgahan secara rutin kapal-kapal perang Belanda. Pulau ini juga menjadi tempat evakuasi tentara Belanda yang gugur dan terluka dalam perang.
Belanda kemudian membangun tempat pengisian batu bara dan air bagi kapal-kapal perangnya di Teluk Balohan sejak 1884. Teluk ini dianggap sangat strategis untuk memblokade Aceh, baik pantai timur maupun pantai barat. Namun karena Teluk Balohan relatif dangkal untuk disinggahi oleh kapal-kapal perang besar, Belanda kemudian memindahkan lokasi pelabuhan ke Teluk Sabang yang memiliki kedalaman rata-rata antara 10 sampai 20 vadem (1 vadem = 1,8288 meter).
“Pembangunan konstruksi pelabuhan Sabang dan fasilitas lainnya mulai dilakukan tahun 1890 oleh firma De Lange & Co. dari Batavia (Jakarta),” ujar Mawardi Umar.
Dengan pertimbangan letaknya pada garis pelayaran internasional yang sangat padat, Pemerintah Belanda mendeklarasikan Sabang sebagai Pelabuhan Bebas pada 11 April 1896. Untuk tugas operasional sejak tahun 1898, dibentuk sebuah badan “N.V. Zeehaven en Kelenstation Sabang” (Sabang Maatschappij) dengan dukungan dana dari Nederlandsche Handel Maatschappij.
Masa keemasan pelabuhan bebas Sabang berakhir dengan masuknya Jepang tahun 1942. Negara Matahari Terbit ini menjadikan Sabang sebagai basis pertahanan utamanya dengan menempatkan 6.000 angkatan laut. Konsekueansinya, Sabang menjadi sasaran serangan dari sekutu dan hancur setelah dibombardir oleh kapal perang SS. Tromp pada 1943.
Pembangunan kembali fasilitas pelabuhan Sabang dan pemberian status pelabuhan bebas dilakukan setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama. Kehidupan perekonomian Aceh menjadi maju dengan hidupnya Sabang saat itu. Berbagai jenis kapal dagang dari luar negeri sempat lego jangkar sebelum akhirnya status pelabuhan bebas dicabut di masa Orde Baru.[]

No comments: