Raffles Treaty of 1819; Perjanjian Sultan Aceh dengan Inggris

Raffles Treaty of 1819; Perjanjian Sultan Aceh dengan Inggris
Ilustrasi
Kemelut politik dalam Kerajaan Aceh membuat Sultan Jauhar Syah Alam terpaksa meminta bantuan koleganya, Inggris.


SULTAN Jauhar Alam Syah yang memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Aceh diwarnai dengan kemelut politik dan pemberontakan. Sultan yang memiliki hubungan baik dengan Inggris mengharapkan bantuan. Namun sama sekali tidak digubris.

Pemberontakan dipicu oleh kalangan istana yang berkomplot dengan kepala-kepala sagi—raja-raja kecil yang pada masa Sultan Iskandar Muda telah bergabung dengan Kerajaan Aceh. Mereka dibantu oleh pemuka-pemuka rakyat, penguasa daerah-daerah lada di Aceh Barat dan Aceh Selatan yang bersepakat menggulingkan Jauhar Alam Syah dari tahta kerajaan.

Kalangan pemberontak mendapat dukungan dari Sayid Husin, seorang saudagar Arab yang kaya raya. Dia merupakan warga negara Inggris yang berkedudukan di Penang dan telah sering datang ke Aceh untuk membawa kapal-kapal dagangnya. Politik uang yang dilancarkan Sayid Husin mampu merebut hati pimpinan pemberontakan. Dia kemudian membujuk pimpinan pemberontak untuk mengangkat anaknya menjadi Sultan Aceh menggantikan Jauhar Alam Syah.

Proklamir pemberontakan terhadap Kerajaan Aceh dilakukan pada 1816. Mereka lalu mengangkat anak Sayid Husin menjadi Raja Aceh dengan nama Sultan Saiful Alam. Propaganda dan sabotase dilakukan untuk menggulingkan kekuasaan sultan sehingga akhirnya Jauhar Syah Alam terpaksa meminta bantuan kepada koleganya, Letnan Gubernur Inggris, Mr. Fahrugar di Penang pada Mei 1805. Dia juga mengirimkan sepucuk surat lainnya kepada Inggris agar mau mengirimkan bantuan untuk mengatasi pemberontakan.

Letnan Gubernur Inggris, Mr. Fahrugar menolak memberikan bantuan kepada Sultan Jauhar Syah Alam karena berada di luar wewenangnya. Namun dirinya berjanji akan meneruskan permintaan Sultan Aceh kepada Gubernur Jenderal di Benggal, India.

Bantuan dari Inggris yang diharapkan tak kunjung datang meski telah terhitung belasan tahun lamanya. Sebagai sekutu kerajaan, Inggris sebenarnya tidak ingin mencampuri kemelut dalam negeri Kerajaan Aceh.

Inggris ingin berpegang pada politik neutrality and non interference atau politik tidak campur tangan. Kekecewaan Sultan Jauhar Syah Alam memuncak saat mengetahui adanya kapal-kapal berbendera Inggris melintasi perairan Aceh. Kapal-kapal tersebut turut membawa serta amunisi dan senjata yang ternyata milik Sayid Husin yang membantu pemberontakan.

Inggris sebenarnya ragu dengan politik neutrality and non interference yang dijalankan saat mengetahui Belanda turut mengincar negara paling ujung pulau Sumatera tersebut. Politik Inggris kemudian berubah pada 1817, setelah mendapat informasi bahwa Belanda sedang mempersiapkan menghantarkan tiga pucuk meriam dan 2000 serdadu kepada Jauhar Alam Syah untuk menumpas pemberontakan. Sultan Aceh Jauhar Syah Alam terpaksa menerima bantuan Belanda karena Inggris tetap berdiam diri.

Perubahan politik Inggris ini terjadi setelah Kolonel Bennerman menjadi Gubernur Inggris di Penang pada akhir tahun 1817. Selain itu aktivitas perdagangan lada Amerika di Aceh bagian barat dan selatan yang semakin maju. Hal tersebut dianggap sangat membahayakan pengaruh Inggris yang baru saja terlibat bentrokan senjata dengan daerah koloninya tersebut.

Untuk mencegah bahaya yang mengancam, Inggris berpendapat tidak boleh terus berdiam diri dengan berpegang kepada politik neutrality and non interference seperti selama ini. Akan tetapi, harus aktif membendung meluasnya pengaruh negara lain di Aceh serta aktif membentuk suatu sphere of influence atau daerah pengaruh Inggris di dalam wilayah Kerajaan Aceh. Dengan jalan demikian, diharapkan kepentingannya di Aceh dapat terjamin.

Untuk itu, Inggris menganggap kemelut politik di Aceh perlu segera diakhiri. Salah satu dari kedua saingan (calon) yang sedang bertarung memperebutkan takhta Kerajaan Aceh, yaitu yang mendapat dukungan terbesar dari penduduk dan cukup mempunyai wewenang atas seluruh wilayah Kerajaan Aceh akan disokong untuk memegang tampuk pimpinan kerajaan.

Untuk melaksanakan politik yang baru ini, Kolonel Bannerman yang diangkat menjadi Gubernur Inggris di Penang pada penghujung tahun 1817, segera mengutus J.M. Coombs ke Aceh untuk menyelidiki siapa di antara kedua calon yang lebih berhak menjadi pemegang kendali kerajaan. Di samping itu, juga agar menemukan jalan pendekatan yang dapat meniadakan  hambatan-hambatan yang menyebabkan kerenggangan di antara kedua negara. Tujuan selanjutnya, menjajaki kemungkinan mengadakan perjanjian persahabatan antara kedua negara.

Pada waktu Coombs tiba di Aceh pada bulan Januari 1818, didapatinya Sultan Jauhar Alam Syah telah menyingkir ke Lhokseumawe. Setelah mengadakan penyelidikan yang perlu di Aceh Besar, Coombs segera menuju ke Lhokseumawe menemui Sultan Aceh. Pembicaraan dengan Jauhar Alam Syah berhasil melahirkan persetujuan mengenai beberapa pokok soal yang oleh Inggris diinginkan menjadi dasar perjanjian persahabatan antara Inggris dan Aceh. Akan tetapi, sebelum sempat merumuskan rencana perjanjian itu, Coombs terpaksa meninggalkan Aceh kembali ke Penang. Dari sana dia segera mengirim laporan lengkap kepada Pemerintah Inggris di Benggal.

Setelah laporan Coombs dipelajari dengan seksama, Pemerintah Inggris memutuskan mengirim suatu perutusan ke Aceh yang terdiri atas Sir Stamford Raffles, yaitu tokoh yang memegang peran utama dalam usaha mengubah politik Inggris di Aceh dan merupakan arsitek dari perjanjian persahabatan Inggris-Aceh, dan J.M. Coombs yang merintis jalan menuju tercapainya perjanjian tersebut.

Akhirnya, pada tanggal 22 April 1819 Raffles dan Jauhar Alam Syah berhasil menandatangani suatu perjanjian persahabatan dan aliansi terdiri atas sembilan pasal. Berikut terjemahannya seperti M. Nur El Ibrahimy dalam bukunya Aceh Selayang Pandang:

“Perjanjian Persahabatan dan aliansi Kompeni Inggris di Hindia Timur dan Kerajaan Aceh yang dibuat oleh Yang Mulia Sir Thomas Stamford Raffles dan Kapten John Manckton Coombs, sebagai wakil yang Mulia Francis Marquess of Hastings, Gubernur Jenderal Inggris di India dari sebelah pihak dan Yang Maha Mulia Seri Sultan Jauhar Alam Syah, Raja Aceh untuk dirinya sendiri, ahli waris dan penggantinya dari pihak yang lain.

Mengingat perdamaian, persahabatan, dan saling pengertian yang baik, yang telah tumbuh sekian lama serta tidak pernah putus antara Yang Mulia Kompeni Inggris di Hindia Timur dan Yang Maha Mulia Sultan Aceh; dan memandang perlu persahabatan antara kedua belah pihak ditingkatkan, demi kepentingan bersama kedua negara dan demi kesejahteraan rakyat kedua bangsa, telah disetujui menetapkan sebagai berikut:

Pasal 1

Diharapkan terjalin perdamaian dan persahabatan yang abadi antara kedua negara termasuk daerah-daerah taklukannya, demikian pula antara rakyat kedua belah pihak agung yang mengikat perjanjian ini; tidak akan ada satu pun dari kedua belah pihak yang bersedia memberikan bantuan atau pertolongan kepada musuh pihak lain.

Pasal 2

Atas kehendak Yang Maha Mulia Sultan Aceh, Pemerintah Inggris berjanji akan mempergunakan pengaruhnya untuk menyingkirkan Saiful Alam dari daerah kekuasaan Sultan Aceh; dan selanjutnya Pemerintah Inggris berjanji akan mencegah Saiful Alam dan keluarganya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat mengganggu Sultan Aceh dalam menjalankan kekuasaannya.

Yang Mulia Sultan Aceh berjanji, melalui pemerintah agung Inggris di India, akan memberikan tunjangan hidup kepada Saiful Alam sebanyak yang dianggap patut oleh Pemerintah Inggris, asal saja Saiful Alam bersedia meninggalkan daerah Aceh dan berdiam di Penang serta membatalkan segala tuntutannya untuk dapat menjadi Raja Aceh dalam waktu tiga bulan sejak perjanjian ini ditandatangani.

Pasal 3

Yang Maha Mulia Sultan Aceh akan memberikan kepada Pemerintah Inggris hak bebas berniaga di seluruh pelabuhan Aceh; dan bahwa cukai yang dipungut atas barang-barang perniagaan akan ditetapkan dengan peraturan dan akan diumumkan; dan bahwa cukai tersebut akan dibayar oleh saudagar yang bertempat tinggal di pelabuhan.

Yang Maha Mulia berjanji tidak akan memberikan hak monopoli kepada siapa pun juga atas sesuatu komoditi yang dihasilkan oleh negara Yang Maha Mulia.

Pasal 4

Yang Maha Mulia Sultan Aceh, kapan saja dikehendaki oleh Pemerintah Inggris akan menerima wakil Inggris yang diangkat sebagai duta untuk Aceh dengan mendapat perlindungan dan pelayanan yang selayaknya dan kepadanya akan diizinkan turut hadir dalam Dewan Mahkamah Kerajaan, apabila kehadirannya dianggap perlu untuk memberi penjelasan dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan Kompeni Hindia Timur.

Pasal 5

Mengingat kerugian yang diderita oleh perniagaan Inggris, lantaran kapal-kapal dan perahu-perahu Inggris tidak dibenarkan masuk ke pelabuhan-pelabuhan Aceh, yang pada waktu sekarang ini tidak tunduk ke bawah wewenang Yang Maha Mulia, maka Yang Maha Mulia berjanji akan memberi izin kepada kapal-kapal dan perahu-perahu tersebut untuk melanjutkan hubungan dagangnya dengan pelabuhan-pelabuhan di seluruh Aceh dan dengan pelabuhan Lhokseumawe atas dasar yang sama menurut peraturan yang berlaku sampai sekarang ini, kecuali apabila pelabuhan-pelabuhan itu sewaktu-waktu dikenakan ketentuan blokade sementara oleh Yang Maha Mulia dengan persetujuan Pemerintah Inggris atau atas wewenang penguasa setempat.

Bagaimanapun juga, jelas dimengerti oleh kedua belah pihak agung yang mengikat perjanjian ini, bahwa tiada barang-barang kebutuhan perang dan alat-alat senjata dari sembarang jenis boleh disediakan, diberikan dan dijual oleh kapal-kapal dan perahu-perahu yang mengadakan hubungan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan di Aceh, kepada siapa saja yang melawan Yang Maha Mulia Sultan Aceh. Kapal-kapal dan perahu-perahu yang kedapatan melanggar ketentuan ini akan dirampas dengan segala muatannya.

Pasal 6

Yang Maha Mulia Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah berjanji untuk dirinya sendiri, ahli warisnya dan penggantinya untuk tidak memberi izin kepada siapa saja dari warga negara Eropa dan Amerika tinggal tetap di dalam wilayah Kerajaan Aceh dan daerah taklukannya; beliau berjanji pula tidak akan mengadakan perundingan atau membuat perjanjian dengan suatu negara, kecuali dengan sepengetahuan dan persetujuan Pemerintah Inggris.

Pasal 7

Yang Maha Mulia berjanji tidak akan memberi izin bermukim di daerah kekuasaannya kepada warga negara Inggris yang tidak mendapat persetujuan dari wakil pemerintahnya.

Pasal 8

Pemerintah Inggris menyetujui untuk memberikan secepat mungkin kepada Yang Maha Mulia segala macam senjata dan barang-barang keperluan perang seperti yang dirinci dalam daftar terlampir yang ditandatangani oleh Yang Maha Mulia. Pemerintah Inggris berjanji pula akan' memberikan pinjaman kepada Yang Maha Mulia sejumlah uang dan secepatnya akan dibayar kembali sesuai kesempatan baginda.

Pasal 9

Perjanjian ini, yang mengandung 9 pasal, yang pada hari ini sudah ditetapkan tergantung kepada ratifïkasi Gubernur Jenderal Inggris dalam tempo enam bulan sejak ditandatangani, akan tetapi dapat dimengerti bahwa beberapa ketentuan yang terkandung di dalamnya dapat segera dilaksanakan tanpa perlu menunggu ratifïkasi tersebut.

Termaktub di Bandar Seri Duli, dekat Pidie, di dalam negeri Aceh pada hari ke-22 bulan April 1819, bersamaan dengan hari ke-26 bulan Jumadil Akhir 1234 tahun Hijrah.

Stempel                                                                                             Stempel

Kompeni Hindia Timur                                           Yang Maha Mulia Raja Aceh

Tanda tangan:

Thomas Stamford Raffles

John Monckton Coombs

Perjanjian ini kemudian dikenal dengan Raffles Treaty of 1819 dan berhasil membuat Saiful Alam turun tahta berkat tekanan yang diberikan oleh Inggris. Saiful Alam kemudian menyingkir ke Penang dan mendapat tunjangan sebanyak 500 pound Spanyol per bulan. Dana tersebut diambil dari kas Kerajaan Aceh yang disalurkan oleh Inggris kepada Saiful Alam.[]

Aceh Selayang Pandang karangan H.M. Nur El Ibrahimy

No comments: