Syamsuddin As-Sumatrani, Dari Aceh ke Malaka
Ilustrasi sufi @sufiz.com
Syamsuddin As-Sumatrani seorang ulama sufi sastrawan. Hidup di masa kejayaan Aceh, dia memimpin lembaga keagamaan tertinggi negara.
JAUH dari tanah Aceh, ribuan kilometer ke arah barat, seorang ulama besar disemayamkan. Dialah Syamsuddin As-Sumatrani, seorang ulama besar asal Aceh yang hidup pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh. Syamsuddin dimakamkan di Malaka, sebuah negara bagian di Malaysia.
Ali Hasjmy melalui kumpulan tulisannya yang dibukukan dalam Jembatan Selat Melaka mengatakan, Syamsuddin As-Sumatrani lahir di Samudera Pasai, pada akhir abad XVI.
Peneliti sastra Melayu dari Rusia, Vladimir Braginsky, dalam bukunya Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19, juga menuliskan, Sumatrani berasal dari Samudera Pasai. Nama aslinya adalah Syamsuddin bin Abdullah. Nama Pasai sering juga dilakabkan pada nama belakangnya, Syamsuddin Pasai.
Dalam kitab Bustanus Salatin karangan Nuruddin Ar-Raniry, dinyatakan Syamsuddin wafat pada Senin, 25 Februari 1630 atau 12 Rajab 1038 Hijriah.
Braginsky menulis, Syamsuddin adalah murid Hamzah Fansury. Sama seperti gurunya, dia juga mengajarkan wahdatul wujud atau wujudiyah. Paham ini menegaskan, tidak ada yang wujud selain Allah.
Walau keduanya berstatus guru dan murid, Braginsky mengatakan ada perbedaan antara Hamzah dengan Syamsuddin. Braginsky mengatakan, Hamzah seorang ulama tasawuf, sementara Syamsuddin seorang sufi filsafat.
Sama seperti Fansuri, Syamsuddin juga banyak menyampaikan pemikirannya melalui syair. Dia mengulas syair-syair Fansuri seperti Syarah Rubai Hamzah Fansury. Ini merupakan ulasannya terhadap 39 bait syair Hamzah Fansury tentang tasawuf.
Karya Syamsuddin paling fenomenal adalah Jauharul Haqa’iq ‘Permata Kebenaran’. Buku ini menjelaskan tentang martabat tujuh; ajaran tasawuf yang dikembangkan Syamsuddin dari Hamzah Fansury.
Karya Syamsuddin lainnya antara lain Miratul Mukminin (Cermin bagi Orang-Orang yang Beriman), Risalatul Baiyin Mulahaldlatil Muwahhidin Alal Mulhidi fi Zikrillah, dan Nurul Daqa’iq (Cahaya yang Murni).
Semasa hidupnya, Syamsuddin adalah Syekhul Islam pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dia menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Aceh pada masa itu, Malikul Adil dan Imam Besar Masjid Baiturrahman.
Syamsudin juga ikut dalam barisan tentara Aceh yang datang ke Malaka untuk mengusir Portugis. Kala itu Portugis sudah menguasai Malaka sejak 1511 Masehi. Dalam Bustanus Salatin, Nuruddin menulis tentang berkecamuknya perang dan Syamsuddin tidak kembali lagi ke Aceh.
“Maka dititahkan Sultan, orang kaya Maharaja Sri Maharaja dan orang kaya Laksamana menyerang Malaka pada tatkala Hijriah 1038 tahun, tetapi tiadalah karena berbantah dua orang itu. Pada ketika itulah segala orang Islam banyak mati syahid. Syahdan pada masa itulah wafat Syekh Syamsuddin Ibn ‘Abdillah al-Sumathrani pada malam itsnin dua belas hari bulan Rajab pada hijrah 1039 tahun. Adalah syekh itu ‘alim pada segala ilmu dan ialah yang termasyhur pengetahuan-nya pada ilmu tasawuf dan beberapa kita di-ta’lifkannya.”
***
MEI 2012, The Atjeh Times mengunjungi makam Syamsuddin As-Sumatrani di Malaka, Malaysia. Makam Syamsuddin terletak di pusat kota tua, sekitar 700 meter dari Sungai Malaka. Tepatnya di Kampung Keter.
Kompleks itu berada di tengah kampung, di antara rumah-rumah panggung berkonstruksi kayu khas Melayu. Banyak orang dikubur di kompleks makam. Namun yang paling menonjol adalah makam Syamsuddin As-Sumatrani. Inilah satu-satunya makam di kompleks itu yang dipagari beton dan diberi atap, sedangkan makam lainnya yang jauh lebih pendek hanya diberi batu nisan dan batu-batu yang tinggi tak lebih 20 sentimeter.
Makam Syamsuddin sangat panjang: sekitar 14 meter. Sekeliling makam dilapisi keramik warna oranye. Di bagian tengahnya yang dibiarkan terbuka ditaburi batu kerikil putih. Ketika The Atjeh Times tiba di situ, di bagian kepala makam masih ada abu sisa pembakaran dupa.
Di prasasti yang terletak di dekat makam, tertulis nama “Syamsuddin As-Sumatrani”. Di prasasti itu juga disebutkan, Syamsuddin merupakan seorang ulama, sastrawan, dan juga pahlawan dari negeri Aceh.
Pada prasasti juga ditulis tujuan Aceh menyerang Malaka untuk membebaskan dari jajahan orang Barat dan menegakkan syiar Islam. Dituliskan, ada seorang panglima perang dari Aceh ikut dalam penyerangan ke Malaka bersama dengan Syamsuddin, yaitu Panglima Pidi.
“Dalam salah satu serangan yang dilakukan oleh angkatan Tentara Acheh terhadap Portugis di Melaka, Syamsuddin Al-Sumatrani telah turut serta. Bersama-sama beliau ialah panglima-panglima Acheh termasuk Panglima Pidi. Angkatan tentara Acheh gagal untuk menewaskan Portugis. Syamsudin Al-Sumatrani dikatakan tidak kembali bersama-sama angkatan perang Acheh. Beliau dan Panglima Pidi dipercaya telah terkorban. Jasad Panglima disemadikan di Puncak Gedung (Bukit China) dikenali sebagai keramat panjang manakala jasad Syamsudin Al-Sumatrani disemadikan di Kampung Ketik, Melaka."
***
KETIKA Syamsuddin wafat, tidak ada catatan tentang siapa penggantinya sebagai Malikul Adil di Kerajaan Aceh Darussalam. Baru ketika Iskandar Tsani naik tahta pada 1637 menggantikan Iskandar Muda, Nuruddin Ar-Raniry diangkat menggantikan Syamsuddin.
Entah mengapa, kala itu paham Ar-Raniry bertolak belakang dengan paham wujudiyah yang diajarkan Fansury dan Syamsuddin. Nuruddin mengosongkan pustaka negara dan sekolah-sekolah dari kitab-kitab karangan Fansury. []
JAUH dari tanah Aceh, ribuan kilometer ke arah barat, seorang ulama besar disemayamkan. Dialah Syamsuddin As-Sumatrani, seorang ulama besar asal Aceh yang hidup pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh. Syamsuddin dimakamkan di Malaka, sebuah negara bagian di Malaysia.
Ali Hasjmy melalui kumpulan tulisannya yang dibukukan dalam Jembatan Selat Melaka mengatakan, Syamsuddin As-Sumatrani lahir di Samudera Pasai, pada akhir abad XVI.
Peneliti sastra Melayu dari Rusia, Vladimir Braginsky, dalam bukunya Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19, juga menuliskan, Sumatrani berasal dari Samudera Pasai. Nama aslinya adalah Syamsuddin bin Abdullah. Nama Pasai sering juga dilakabkan pada nama belakangnya, Syamsuddin Pasai.
Dalam kitab Bustanus Salatin karangan Nuruddin Ar-Raniry, dinyatakan Syamsuddin wafat pada Senin, 25 Februari 1630 atau 12 Rajab 1038 Hijriah.
Braginsky menulis, Syamsuddin adalah murid Hamzah Fansury. Sama seperti gurunya, dia juga mengajarkan wahdatul wujud atau wujudiyah. Paham ini menegaskan, tidak ada yang wujud selain Allah.
Walau keduanya berstatus guru dan murid, Braginsky mengatakan ada perbedaan antara Hamzah dengan Syamsuddin. Braginsky mengatakan, Hamzah seorang ulama tasawuf, sementara Syamsuddin seorang sufi filsafat.
Sama seperti Fansuri, Syamsuddin juga banyak menyampaikan pemikirannya melalui syair. Dia mengulas syair-syair Fansuri seperti Syarah Rubai Hamzah Fansury. Ini merupakan ulasannya terhadap 39 bait syair Hamzah Fansury tentang tasawuf.
Karya Syamsuddin paling fenomenal adalah Jauharul Haqa’iq ‘Permata Kebenaran’. Buku ini menjelaskan tentang martabat tujuh; ajaran tasawuf yang dikembangkan Syamsuddin dari Hamzah Fansury.
Karya Syamsuddin lainnya antara lain Miratul Mukminin (Cermin bagi Orang-Orang yang Beriman), Risalatul Baiyin Mulahaldlatil Muwahhidin Alal Mulhidi fi Zikrillah, dan Nurul Daqa’iq (Cahaya yang Murni).
Semasa hidupnya, Syamsuddin adalah Syekhul Islam pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dia menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Aceh pada masa itu, Malikul Adil dan Imam Besar Masjid Baiturrahman.
Syamsudin juga ikut dalam barisan tentara Aceh yang datang ke Malaka untuk mengusir Portugis. Kala itu Portugis sudah menguasai Malaka sejak 1511 Masehi. Dalam Bustanus Salatin, Nuruddin menulis tentang berkecamuknya perang dan Syamsuddin tidak kembali lagi ke Aceh.
“Maka dititahkan Sultan, orang kaya Maharaja Sri Maharaja dan orang kaya Laksamana menyerang Malaka pada tatkala Hijriah 1038 tahun, tetapi tiadalah karena berbantah dua orang itu. Pada ketika itulah segala orang Islam banyak mati syahid. Syahdan pada masa itulah wafat Syekh Syamsuddin Ibn ‘Abdillah al-Sumathrani pada malam itsnin dua belas hari bulan Rajab pada hijrah 1039 tahun. Adalah syekh itu ‘alim pada segala ilmu dan ialah yang termasyhur pengetahuan-nya pada ilmu tasawuf dan beberapa kita di-ta’lifkannya.”
***
MEI 2012, The Atjeh Times mengunjungi makam Syamsuddin As-Sumatrani di Malaka, Malaysia. Makam Syamsuddin terletak di pusat kota tua, sekitar 700 meter dari Sungai Malaka. Tepatnya di Kampung Keter.
Kompleks itu berada di tengah kampung, di antara rumah-rumah panggung berkonstruksi kayu khas Melayu. Banyak orang dikubur di kompleks makam. Namun yang paling menonjol adalah makam Syamsuddin As-Sumatrani. Inilah satu-satunya makam di kompleks itu yang dipagari beton dan diberi atap, sedangkan makam lainnya yang jauh lebih pendek hanya diberi batu nisan dan batu-batu yang tinggi tak lebih 20 sentimeter.
Makam Syamsuddin sangat panjang: sekitar 14 meter. Sekeliling makam dilapisi keramik warna oranye. Di bagian tengahnya yang dibiarkan terbuka ditaburi batu kerikil putih. Ketika The Atjeh Times tiba di situ, di bagian kepala makam masih ada abu sisa pembakaran dupa.
Di prasasti yang terletak di dekat makam, tertulis nama “Syamsuddin As-Sumatrani”. Di prasasti itu juga disebutkan, Syamsuddin merupakan seorang ulama, sastrawan, dan juga pahlawan dari negeri Aceh.
Pada prasasti juga ditulis tujuan Aceh menyerang Malaka untuk membebaskan dari jajahan orang Barat dan menegakkan syiar Islam. Dituliskan, ada seorang panglima perang dari Aceh ikut dalam penyerangan ke Malaka bersama dengan Syamsuddin, yaitu Panglima Pidi.
“Dalam salah satu serangan yang dilakukan oleh angkatan Tentara Acheh terhadap Portugis di Melaka, Syamsuddin Al-Sumatrani telah turut serta. Bersama-sama beliau ialah panglima-panglima Acheh termasuk Panglima Pidi. Angkatan tentara Acheh gagal untuk menewaskan Portugis. Syamsudin Al-Sumatrani dikatakan tidak kembali bersama-sama angkatan perang Acheh. Beliau dan Panglima Pidi dipercaya telah terkorban. Jasad Panglima disemadikan di Puncak Gedung (Bukit China) dikenali sebagai keramat panjang manakala jasad Syamsudin Al-Sumatrani disemadikan di Kampung Ketik, Melaka."
***
KETIKA Syamsuddin wafat, tidak ada catatan tentang siapa penggantinya sebagai Malikul Adil di Kerajaan Aceh Darussalam. Baru ketika Iskandar Tsani naik tahta pada 1637 menggantikan Iskandar Muda, Nuruddin Ar-Raniry diangkat menggantikan Syamsuddin.
Entah mengapa, kala itu paham Ar-Raniry bertolak belakang dengan paham wujudiyah yang diajarkan Fansury dan Syamsuddin. Nuruddin mengosongkan pustaka negara dan sekolah-sekolah dari kitab-kitab karangan Fansury. []
No comments:
Post a Comment