Tabot, Tabuik dan Nikah Mut’ah
Sebagian tokoh syi’ah ada yang pernah mengklaim, bahwa sebenarnya ideologi syi’ah sudah diterima masyarakat Indonesia sejak lama, dengan menunjuk kepada fenomena budaya berupa Tabot di Bengkulu atau Tabuik di Sumatera Barat, juga maraknya praktek nikah mut’ah di sejumlah daerah di Indonesia.
Klaim seperti itu sebenarnya tidak berdasar, karena meski sebagian (kecil) masyarakat Indonesia merayakan Tabot atau Tabuik dan mempraktekkan nikah mut’ah, namun landasannya bukan pemahaman keagamaan, tetapi semata-mata faktor fulus. Tradisi Tabot atau Tabuik menjadi menarik diprogramkan secara berkala karena anggarannya menggiurkan, mencapai milyaran. Sedangkan nikah mut’ah dipraktekkan karena dijadikan solusi instan untuk keluar dari kemiskinan turun temurun atau menyalurkan syahwat dengan cara haram namun dibolehkan oleh aliran sesat syi’ah.
Tabot Bengkulu
Konon Tabot yang merupakan upacara belasungkawa pengikut syi’ah ini mulai diperkenalkan pertama kali pada tahun 1685 oleh Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo, yang menikah dengan gadis Bengkulu. Namun ada juga yang mengatakan, Tabot dibawa oleh para pekerja asal India Selatan (Madras dan Bengali) yang berpaham Syi’ah pada tahun 1718. Para pekerja itu dibawa ke Bengkulu oleh kolonialis Inggris untuk membangun Benteng Marlborough.
Para pekerja asal Madras dan Bengali ini, kemudian membaur dengan penduduk setempat, termasuk dengan keturunan Syekh Burhanuddin. Mereka beranak pinak, sehingga membentuk komunitas Sipai. Orang-orang Sipai inilah yang melanjutkan dan menghidup-hidupkan tradisi Tabot. Artinya, tradisi Tabot ini belum pernah secara luas diterima sebagai tradisi lokal oleh masyarakat Bengkulu pada umumnya. Dalam makna lain, sepenggal ajaran syi’ah yang dibawa para pekerja dari Madras dan Bengali hanya diterima oleh orang-orang Sipai saja.
Namun belakangan, orang-orang Sipai pun berhasil membebaskan diri dari kesesatan ajaran syi’ah, namun masih mempraktekkan tradisi Tabot semata-mata untuk mengenang dan menghormati tradisi nenek moyang mereka. Akhirnya, seiring perjalanan waktu, tradisi Tabot yang semula dimaksudkan untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Husein ra yang tewas di Padang Karbala, kini berubah arah menjadi pesta budaya lokal yang didanai pemerintah setempat (pemprov maupun pemkot). Yang namanya pesta, lebih banyak menjurus kepada hura-hura semata.
Pada tahun 2010, tradisi Tabot di Bengkulu yang berlangsung 6-16 Desember 2010, menelan biaya Rp 1,2 milyar. Sebesar Rp 500 juta berasal dari dana Pemprov bengkulu, sedangkan sebesar Rp 640 juta lainnya berasal dari Pemkot Bengkulu. Selebihnya diperoleh dari donatur. Biasanya, tradisi Tabot yang kini diberi nama Festival Tabot ini berlangsung pada tanggal 1 hingga 10 Muharram setiap tahunnya.
Secara lebih tegas, tradisi Tabot menjadi festival budaya lokal dengan nama Festival Tabot, sudah berlangsung sejak 1990. Penyelenggaranya, tetap dari komunitas Sipai yang menamakan diri Kerukunan Keluarga Tabot Bengkulu (KTB). Pada tahun 2010 lalu, diselenggarakan di depan Tugu Thomas Parr, Kelurahan Malabero, dan dihadiri oleh seluruh unsur Muspida provinsi Bengkulu. Juga para bupati dan wakil bupati di seluruh kabupaten dan kota.
Tabut konon berasal dari bahasa Arab yaitu At-Tabut, yang berarti kotak atau peti mati sebagai perlambang peti mati berisi jenazah Husein ra. Peti-peti tersebut kemudian akan dibuang ke laut (dilarung), namun kini lebih sering dibuang ke rawa-rawa tak jauh dari pemakaman umum Karbela yang diakui sebagai tempat dimakamkannya jasad Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo. Di Bengkulu, Tabot yang dilarung berjumlah 17 buah, untuk mengenang perintis Tabot di daerah ini yang berjumlah 17 orang. Isi Tabot antara lain aneka bendera berikut tiang, tombak bermata ganda, tiruan pedang Zufikar dalam ukuran yang jauh lebih kecil. Pedang Zulfikar adalah senjata perang yang biasa digunakan Rasulullah SAW.
Sebelum melarung Tabot, sejumlah ritual lebih dulu dilaksanakan selama 10 hari sebelumnya, antara lain upacara pengambilan tanah, upacara sakral duduk penja, upacara menjara, upacara arak jari-jari, hari Gam atau tidak ada bunyi-bunyian, Tabot naik pangke, malam arak gedang dan arak-arakan Tabot terbuang. Itu semua tidak ada contohnya dalam ajaran Islam.
Pada Festival Tabot 2010 lalu, Tabot yang diarak kemudian dibuang berjumlah 39 buah. Terdiri dari 17 Tabot ritual dan 16 tabot turutan serta 6 Tabot pembangunan. Dari sekitar Rp 1,2 milyar biaya Festival Tabot, ada sebagian (kecil) dari dana tersebut yang dialokasikan untuk dibagi-bagikan kepada Kerukunan Keluarga Tabot (KKT).
Seiring perjalanan waktu, tradisi Tabot yang semula dapat ditemukan di sejumlah kawasan di Aceh (Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil), dan Sumatera Barat (Painan, Padang, Pariaman, Maninjau), Alhamdulillah kini sudah tiada kecuali di Pariaman selain di Bengkulu. Di Pariaman, tradisi Tabot dinamakan Tabuik, yang bermakna sama, peti.
Tabuik Pariaman
Pariaman bermakna daerah yang aman, adalah sebuah kota yang pernah menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sejak 2002 Kotif Pariaman menjadi Kota Pariaman dengan empat Kecamatan. Di daerah ini Tabuik konon sudah dikenal sejak tahun 1831 yang dibawa oleh tentara Inggris asal Sepoy atau Cipei (India). Bila di Bengkulu ada 17 Tabot, di Pariaman hanya ada 2 Tabuik yang melambangkan peti jenazah Hasan ra dan Husein ra, cucu Nabi Muhammad SAW.
Bila di bengkulu dinamakan Festival Tabot, di Pariaman dinamakan Pesta Budaya Tabuik Piaman yang sejak 1974 menjadi kegiatan rutin bidang wisata Pemkot Pariaman. Sebagaimana di Bengkulu, Tabuik Pariaman juga diselenggarakan pada tanggal 1-10 Muharram, dan merupakan upacara peringatan atas meninggalnya Husein ra (cucu Nabi Muhammad SAW).
Menurut Uun Halimah , prosesi panjang Tabuik diawali dengan membuat tabuik di dua tempat, yaitu di pasar (tabuik pasar) dan subarang (tabuik subarang). Masing-masing terdiri dari dua bagian (atas dan bawah) yang tingginya dapat mencapai 12 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia.
Bagian bawah ini menurut Uun Halimah pula, mewakili bentuk burung Buraq yang dipercaya membawa Husein ra ke langit menghadap Yang Kuasa. Kedua bagian ini kemudian disatukan. Caranya, bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah. Setelah itu, berturut-turut dipasang sayap, ekor, bunga-bunga salapan dan terakhir kepala. Untuk menambah semangat para pengusung tabuik biasanya diiringi dengan musik gendang tasa. Penyatuan dua bagian tabuik (atas dan bawah) biasanya usai menjelang waktu shalat dzuhur tiba. Kedua tabuik tadi dipajang berhadap-hadapan dan merupakan personifikasi dari dua pasukan yang akan berperang.
Ba’da Ashar, kedua Tabuik diarak keliling Kota Pariaman. Masing-masing Tabuik dibopong oleh delapan orang pria. Arak-arakan berlanjut hingga ke Pantai Gandoriah. Di tempat ini kedua Tabuik diadu, untuk menggambarkan situasi perang di Padang Karbala. Usai diadu, kedua Tabuik dibuang ke laut. Prosesi membuang Tabuik ke laut ini melambangkan dibuangnya segala silang sengketa di masyarakat. Sekaligus, melambangkan terbangnya burung Buraq membawa jasad Husein ra ke Surga.
Terkesan, tradisi Tabuik ini merupakan perpaduan antara tradisi Syi’ah dan Hindu. Maka untuk memberi kesan Islami, pada perayaan tabuik yang berlangsung selama 10 hari ini, dibumbui pula dengan hal-hal yang berbau Islam, antara lain pengajian yang melibatkan ibu-ibu serta murid-murid TPA dan Madrasah Kota Pariaman.
Tahapan Pesta Budaya Tabuik di pariaman pada dasarnya sama saja dengan Festival Tabot di Bengkulu:
Jadi, pesta budaya tabuik pariaman ini campuran berbagai unsur, yaitu syi’ah, Hindu, Cina Konghucu dan Islam. Boleh jadi, ini namanya sinkretisme yang mengandung kemusyrikan, dan dibiayai pemerintah setempat.
Nampaknya, pemkot Pariaman cukup serius menjadikan tradisi Tabuik sebagai bagian dari objek wisata lokal yang bisa dijual. Faktanya, pada tanggal 9 April 2011 lalu, pemkot Pariaman meresmikan dua unit Rumah Tabuik, yang dimaksudkan sebagai pusat kebudayaan, seni, dan tradisi Pariaman. Dana pembuatan rumah Tabuik ini berasal dari APBN sebesar Rp 2,3 miliar dan dana APBD Pariaman Rp 1,71 miliar. Rumah Tabuik terdiri dari Rumah Tabuik Pasa yang berlokasi di Jl. Syech Burhanuddin. Satu unit lainnya yaitu Rumah Tabuik Subarang terletak di Jl. Imam Bonjol.
Menurut penjelasan pihak terkait, Rumah Tabuik didirikan untuk menjalankan fungsi sebagai Museum Budaya, agar masyarakat luas dapat memperoleh informasi lengkap tentang proses pembuatan tabuik dan latar belakang sejarah yang menyertainya. Juga, dimaksudkan sebagai pusat pembuatan seluruh prosesi Tabuik. Yang lebih penting, dua unit rumah Tabuik ini dimaksudkan sebagai alternatif tujuan wisata di kawasan Sumatera Barat.
Nikah Mut’ah
Berbeda dengan Tabot atau Tabuik yang dibiayai pemerintah, dan dijadikan salah satu kekayaan budaya lokal, nikah mut’ah alias kawin kontrak justru dirazia aparat setempat. Namun, meski sering dilakukan razia berkala, keberadaan nikah mut’at alias kawin kontrak ini tetap saja eksis bahkan kian subur. Ada yang mengatakan, pemerintah sendiri tidak terlalu serius memberantas kemunkaran model ini, karena kedatangan wisatawan berwajah Timur Tengah pelaku kawin kontrak menjadi salah satu pendapatan daerah yang lumayan.
Bila di Bengkulu ada istilah orang-orang Sipai, yaitu keturunan mantan serdadu Inggris asal India yang mempromosikan tradisi tabot khas syi’ah, maka di kawasan Desa Tugu, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, ada sebuah pemukiman yang dinamakan kampung Sampay, yang terkenal sebagai pemasok wanita calon pelaku nikah mut’ah alias kawin kontrak. Nikah mut’ah alias kawin kontrak ini biasanya terjadi antara wanita setempat dengan pria berwajah Timur Tengah.
Meksi sudah dinyatakan haram oleh MUI Pusat dan MUI setempat, namun wanita lokal peminat nikah mut’ah dengan pria berwajah Timur Tengah ini kian hari kian banyak saja. Bahkan tidak hanya dari Kampung Sampay, namun sudah meluas ke berbagai daerah sekitar, seperti Cianjur dan Sukabumi, bahkan dari Jakarta. Namun demikian, praktik nikah mut’ah alias kawin kontrak tetap terpusat di kawasan Cisarua, atau lebih dikenal dengan kawasan Puncak yang terkenal berhawa sejuk dan banyak ditemukan sejumlah vila untuk disewakan.
Praktik nikah mut’ah alias kawin kontrak di kawasan Puncak ini, bercampur baur dengan pelacuran yang biasa menjamur di kawasan tujuan wisata berhawa sejuk ini. Keduanya sama-sama perbuatan zina yang kadang diberantas, tapi apakah serius atau tidak, wallahu a’lam.
Pada tahun 2010 lalu, ketika aparat setempat melakukan razia terhadap pelaku nikah mut’ah di kawasan Cisarua, dari sejumlah pelaku terdapat dua diantaranya perempuan asal Jakarta, yang berstatus mahasiswi. Mereka adalah Aida (saat itu 22 tahun) dan Sarah (saat itu 20 tahun). Aida warga Semper, Jakarta Utara ini mengakui sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di kawasan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sedangkan Sarah warga Jakarta Timur ini mengaku berstatus sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta yang berlokasi di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
Aida memang sengaja terjun menjadi pelacur dengan kedok nikah mut’ah, untuk membiayai kuliahnya. Sedangkan Sarah, terjun ke kancah pelacuran dengan kedok nikah mut’ah karena berhasil diperdaya seorang kaki tangan mucikari. Namun akhirnya Sarah pun larut sejak 2007, seolah keenakan jadi pelacur dengan sebutan nikah mut’ah itu.
Saat itu aparat pun berhasil membekuk sejumlah imigran berwajah Timur Tengah pelaku nikah mut’ah alias kawin kontrak alias zina. Mereka berasal dari Irak dan Afghanistan. Kedatangan wisatawan asal Irak dan Afghanistan tersebut, melalui jalur tidak resmi alias ilegal.
Pada tahun 2011, khususnya bulan Juni lalu, aparat setempat kembali melakukan razia. Dari sejumlah perempuan pelaku nikah mut’ah yang berhasil diamankan aparat, salah satunya bernama Fitriasih yang saat itu belum genap berusia 18 tahun. Namun, Fitriasih sudah menjalani praktik nikah mut’ah selama delapan bulan dengan 11 pria berwajah Timur Tengah.
Fitriasih asal Cijantung (Jakarta Timur) ini hanya lulusan SMP dan pernah menikah saat umurnya memasuki usia 17 tahun. Perkawinan itu bubar dalam waktu singkat. Dengan sadar, Fitriasih memasuki zona haram bernama kawin kontrak.
Menurut penuturan Fitriasih, usia nikah mut’ah yang pernah dijalaninya paling singkat sekitar tiga minggu, dan paling lama sekitar satu bulan, dan ada “sang mami” alias mucikarinya yang menjalankan peran sebagai perantara.
***
Dari gambaran di atas, jelas bagi kita bahwa nikah mut’ah alias kawin kontrak telah dijadikan sarana untuk membungkus pelacuran dengan hal-hal yang berbau agamis, terutama ajaran syi’ah yang membolehkan nikah mut’ah. Bahkan di Iran sendiri menurut republika.co.id edisi Kamis 09 Juni 2011, praktik nikah mut’ah menjadi lebih digandrungi ketimbang nikah permanen. Apalagi praktik yang haram menurut Islam ini justru difasilitasi oleh pemerintah Iran. Yang lebih mengejutkan lagi, praktik nikah mut’ah di Iran paling menonjol terjadi di kota Qum yang dianggap sebagai kota suci dan merupakan pusat pendidikan ilmu agama, yang sebagian besar lulusannya menjadi ulama Syiah ternama. Astaghfirullah. (haji/tedenahimunkar.)
Klaim seperti itu sebenarnya tidak berdasar, karena meski sebagian (kecil) masyarakat Indonesia merayakan Tabot atau Tabuik dan mempraktekkan nikah mut’ah, namun landasannya bukan pemahaman keagamaan, tetapi semata-mata faktor fulus. Tradisi Tabot atau Tabuik menjadi menarik diprogramkan secara berkala karena anggarannya menggiurkan, mencapai milyaran. Sedangkan nikah mut’ah dipraktekkan karena dijadikan solusi instan untuk keluar dari kemiskinan turun temurun atau menyalurkan syahwat dengan cara haram namun dibolehkan oleh aliran sesat syi’ah.
Tabot Bengkulu
Konon Tabot yang merupakan upacara belasungkawa pengikut syi’ah ini mulai diperkenalkan pertama kali pada tahun 1685 oleh Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo, yang menikah dengan gadis Bengkulu. Namun ada juga yang mengatakan, Tabot dibawa oleh para pekerja asal India Selatan (Madras dan Bengali) yang berpaham Syi’ah pada tahun 1718. Para pekerja itu dibawa ke Bengkulu oleh kolonialis Inggris untuk membangun Benteng Marlborough.
Para pekerja asal Madras dan Bengali ini, kemudian membaur dengan penduduk setempat, termasuk dengan keturunan Syekh Burhanuddin. Mereka beranak pinak, sehingga membentuk komunitas Sipai. Orang-orang Sipai inilah yang melanjutkan dan menghidup-hidupkan tradisi Tabot. Artinya, tradisi Tabot ini belum pernah secara luas diterima sebagai tradisi lokal oleh masyarakat Bengkulu pada umumnya. Dalam makna lain, sepenggal ajaran syi’ah yang dibawa para pekerja dari Madras dan Bengali hanya diterima oleh orang-orang Sipai saja.
Namun belakangan, orang-orang Sipai pun berhasil membebaskan diri dari kesesatan ajaran syi’ah, namun masih mempraktekkan tradisi Tabot semata-mata untuk mengenang dan menghormati tradisi nenek moyang mereka. Akhirnya, seiring perjalanan waktu, tradisi Tabot yang semula dimaksudkan untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Husein ra yang tewas di Padang Karbala, kini berubah arah menjadi pesta budaya lokal yang didanai pemerintah setempat (pemprov maupun pemkot). Yang namanya pesta, lebih banyak menjurus kepada hura-hura semata.
Pada tahun 2010, tradisi Tabot di Bengkulu yang berlangsung 6-16 Desember 2010, menelan biaya Rp 1,2 milyar. Sebesar Rp 500 juta berasal dari dana Pemprov bengkulu, sedangkan sebesar Rp 640 juta lainnya berasal dari Pemkot Bengkulu. Selebihnya diperoleh dari donatur. Biasanya, tradisi Tabot yang kini diberi nama Festival Tabot ini berlangsung pada tanggal 1 hingga 10 Muharram setiap tahunnya.
Secara lebih tegas, tradisi Tabot menjadi festival budaya lokal dengan nama Festival Tabot, sudah berlangsung sejak 1990. Penyelenggaranya, tetap dari komunitas Sipai yang menamakan diri Kerukunan Keluarga Tabot Bengkulu (KTB). Pada tahun 2010 lalu, diselenggarakan di depan Tugu Thomas Parr, Kelurahan Malabero, dan dihadiri oleh seluruh unsur Muspida provinsi Bengkulu. Juga para bupati dan wakil bupati di seluruh kabupaten dan kota.
Tabut konon berasal dari bahasa Arab yaitu At-Tabut, yang berarti kotak atau peti mati sebagai perlambang peti mati berisi jenazah Husein ra. Peti-peti tersebut kemudian akan dibuang ke laut (dilarung), namun kini lebih sering dibuang ke rawa-rawa tak jauh dari pemakaman umum Karbela yang diakui sebagai tempat dimakamkannya jasad Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo. Di Bengkulu, Tabot yang dilarung berjumlah 17 buah, untuk mengenang perintis Tabot di daerah ini yang berjumlah 17 orang. Isi Tabot antara lain aneka bendera berikut tiang, tombak bermata ganda, tiruan pedang Zufikar dalam ukuran yang jauh lebih kecil. Pedang Zulfikar adalah senjata perang yang biasa digunakan Rasulullah SAW.
Sebelum melarung Tabot, sejumlah ritual lebih dulu dilaksanakan selama 10 hari sebelumnya, antara lain upacara pengambilan tanah, upacara sakral duduk penja, upacara menjara, upacara arak jari-jari, hari Gam atau tidak ada bunyi-bunyian, Tabot naik pangke, malam arak gedang dan arak-arakan Tabot terbuang. Itu semua tidak ada contohnya dalam ajaran Islam.
Pada Festival Tabot 2010 lalu, Tabot yang diarak kemudian dibuang berjumlah 39 buah. Terdiri dari 17 Tabot ritual dan 16 tabot turutan serta 6 Tabot pembangunan. Dari sekitar Rp 1,2 milyar biaya Festival Tabot, ada sebagian (kecil) dari dana tersebut yang dialokasikan untuk dibagi-bagikan kepada Kerukunan Keluarga Tabot (KKT).
Seiring perjalanan waktu, tradisi Tabot yang semula dapat ditemukan di sejumlah kawasan di Aceh (Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil), dan Sumatera Barat (Painan, Padang, Pariaman, Maninjau), Alhamdulillah kini sudah tiada kecuali di Pariaman selain di Bengkulu. Di Pariaman, tradisi Tabot dinamakan Tabuik, yang bermakna sama, peti.
Tabuik Pariaman
Pariaman bermakna daerah yang aman, adalah sebuah kota yang pernah menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sejak 2002 Kotif Pariaman menjadi Kota Pariaman dengan empat Kecamatan. Di daerah ini Tabuik konon sudah dikenal sejak tahun 1831 yang dibawa oleh tentara Inggris asal Sepoy atau Cipei (India). Bila di Bengkulu ada 17 Tabot, di Pariaman hanya ada 2 Tabuik yang melambangkan peti jenazah Hasan ra dan Husein ra, cucu Nabi Muhammad SAW.
Bila di bengkulu dinamakan Festival Tabot, di Pariaman dinamakan Pesta Budaya Tabuik Piaman yang sejak 1974 menjadi kegiatan rutin bidang wisata Pemkot Pariaman. Sebagaimana di Bengkulu, Tabuik Pariaman juga diselenggarakan pada tanggal 1-10 Muharram, dan merupakan upacara peringatan atas meninggalnya Husein ra (cucu Nabi Muhammad SAW).
Menurut Uun Halimah , prosesi panjang Tabuik diawali dengan membuat tabuik di dua tempat, yaitu di pasar (tabuik pasar) dan subarang (tabuik subarang). Masing-masing terdiri dari dua bagian (atas dan bawah) yang tingginya dapat mencapai 12 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia.
Bagian bawah ini menurut Uun Halimah pula, mewakili bentuk burung Buraq yang dipercaya membawa Husein ra ke langit menghadap Yang Kuasa. Kedua bagian ini kemudian disatukan. Caranya, bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah. Setelah itu, berturut-turut dipasang sayap, ekor, bunga-bunga salapan dan terakhir kepala. Untuk menambah semangat para pengusung tabuik biasanya diiringi dengan musik gendang tasa. Penyatuan dua bagian tabuik (atas dan bawah) biasanya usai menjelang waktu shalat dzuhur tiba. Kedua tabuik tadi dipajang berhadap-hadapan dan merupakan personifikasi dari dua pasukan yang akan berperang.
Ba’da Ashar, kedua Tabuik diarak keliling Kota Pariaman. Masing-masing Tabuik dibopong oleh delapan orang pria. Arak-arakan berlanjut hingga ke Pantai Gandoriah. Di tempat ini kedua Tabuik diadu, untuk menggambarkan situasi perang di Padang Karbala. Usai diadu, kedua Tabuik dibuang ke laut. Prosesi membuang Tabuik ke laut ini melambangkan dibuangnya segala silang sengketa di masyarakat. Sekaligus, melambangkan terbangnya burung Buraq membawa jasad Husein ra ke Surga.
Terkesan, tradisi Tabuik ini merupakan perpaduan antara tradisi Syi’ah dan Hindu. Maka untuk memberi kesan Islami, pada perayaan tabuik yang berlangsung selama 10 hari ini, dibumbui pula dengan hal-hal yang berbau Islam, antara lain pengajian yang melibatkan ibu-ibu serta murid-murid TPA dan Madrasah Kota Pariaman.
Tahapan Pesta Budaya Tabuik di pariaman pada dasarnya sama saja dengan Festival Tabot di Bengkulu:
- Membuat Tabuik.
- Menyatukan bagian atas dan bawah Tabuik (Tabuik naik pangkat).
- Mengambil tanah yang dilakukan saat adzan Maghrib (maambiak tanah). Pengambilan tanah ini mengandung pesan bahwa setiap manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Tanah yang sudah diambil tadi kemudian diarak dan disimpan di dalam daraga, sebuah wadah berukuran 3 x 3 meter, dibalut kain putih, akhirnya dimasukkan ke dalam Tabuik (pelambang peti jenazah).
- Mengambil batang pisang (maambiak batang pisang), kemudian ditanamkan di dekat pusara.
- Mengarak panja yang berisi jejari tangan tiruan keliling kampung (maarak panja-jari). Makna simboliknya, untuk memberitahukan kepada pengikut Husein ra bahwa jari-jari tangan Husein ra yang tercecer saat Perang Karbala telah ditemukan.
- Mengarak sorban (maarak sorban), yang mengandung makana simbolik bahwa Husein ra telah tewas dipenggal lawannya.
- Membuang tabuik, yaitu membawa Tabuik ke pantai dan dibuang ke laut.
Jadi, pesta budaya tabuik pariaman ini campuran berbagai unsur, yaitu syi’ah, Hindu, Cina Konghucu dan Islam. Boleh jadi, ini namanya sinkretisme yang mengandung kemusyrikan, dan dibiayai pemerintah setempat.
Nampaknya, pemkot Pariaman cukup serius menjadikan tradisi Tabuik sebagai bagian dari objek wisata lokal yang bisa dijual. Faktanya, pada tanggal 9 April 2011 lalu, pemkot Pariaman meresmikan dua unit Rumah Tabuik, yang dimaksudkan sebagai pusat kebudayaan, seni, dan tradisi Pariaman. Dana pembuatan rumah Tabuik ini berasal dari APBN sebesar Rp 2,3 miliar dan dana APBD Pariaman Rp 1,71 miliar. Rumah Tabuik terdiri dari Rumah Tabuik Pasa yang berlokasi di Jl. Syech Burhanuddin. Satu unit lainnya yaitu Rumah Tabuik Subarang terletak di Jl. Imam Bonjol.
Menurut penjelasan pihak terkait, Rumah Tabuik didirikan untuk menjalankan fungsi sebagai Museum Budaya, agar masyarakat luas dapat memperoleh informasi lengkap tentang proses pembuatan tabuik dan latar belakang sejarah yang menyertainya. Juga, dimaksudkan sebagai pusat pembuatan seluruh prosesi Tabuik. Yang lebih penting, dua unit rumah Tabuik ini dimaksudkan sebagai alternatif tujuan wisata di kawasan Sumatera Barat.
Nikah Mut’ah
Berbeda dengan Tabot atau Tabuik yang dibiayai pemerintah, dan dijadikan salah satu kekayaan budaya lokal, nikah mut’ah alias kawin kontrak justru dirazia aparat setempat. Namun, meski sering dilakukan razia berkala, keberadaan nikah mut’at alias kawin kontrak ini tetap saja eksis bahkan kian subur. Ada yang mengatakan, pemerintah sendiri tidak terlalu serius memberantas kemunkaran model ini, karena kedatangan wisatawan berwajah Timur Tengah pelaku kawin kontrak menjadi salah satu pendapatan daerah yang lumayan.
Bila di Bengkulu ada istilah orang-orang Sipai, yaitu keturunan mantan serdadu Inggris asal India yang mempromosikan tradisi tabot khas syi’ah, maka di kawasan Desa Tugu, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, ada sebuah pemukiman yang dinamakan kampung Sampay, yang terkenal sebagai pemasok wanita calon pelaku nikah mut’ah alias kawin kontrak. Nikah mut’ah alias kawin kontrak ini biasanya terjadi antara wanita setempat dengan pria berwajah Timur Tengah.
Meksi sudah dinyatakan haram oleh MUI Pusat dan MUI setempat, namun wanita lokal peminat nikah mut’ah dengan pria berwajah Timur Tengah ini kian hari kian banyak saja. Bahkan tidak hanya dari Kampung Sampay, namun sudah meluas ke berbagai daerah sekitar, seperti Cianjur dan Sukabumi, bahkan dari Jakarta. Namun demikian, praktik nikah mut’ah alias kawin kontrak tetap terpusat di kawasan Cisarua, atau lebih dikenal dengan kawasan Puncak yang terkenal berhawa sejuk dan banyak ditemukan sejumlah vila untuk disewakan.
Praktik nikah mut’ah alias kawin kontrak di kawasan Puncak ini, bercampur baur dengan pelacuran yang biasa menjamur di kawasan tujuan wisata berhawa sejuk ini. Keduanya sama-sama perbuatan zina yang kadang diberantas, tapi apakah serius atau tidak, wallahu a’lam.
Pada tahun 2010 lalu, ketika aparat setempat melakukan razia terhadap pelaku nikah mut’ah di kawasan Cisarua, dari sejumlah pelaku terdapat dua diantaranya perempuan asal Jakarta, yang berstatus mahasiswi. Mereka adalah Aida (saat itu 22 tahun) dan Sarah (saat itu 20 tahun). Aida warga Semper, Jakarta Utara ini mengakui sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di kawasan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sedangkan Sarah warga Jakarta Timur ini mengaku berstatus sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta yang berlokasi di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
Aida memang sengaja terjun menjadi pelacur dengan kedok nikah mut’ah, untuk membiayai kuliahnya. Sedangkan Sarah, terjun ke kancah pelacuran dengan kedok nikah mut’ah karena berhasil diperdaya seorang kaki tangan mucikari. Namun akhirnya Sarah pun larut sejak 2007, seolah keenakan jadi pelacur dengan sebutan nikah mut’ah itu.
Saat itu aparat pun berhasil membekuk sejumlah imigran berwajah Timur Tengah pelaku nikah mut’ah alias kawin kontrak alias zina. Mereka berasal dari Irak dan Afghanistan. Kedatangan wisatawan asal Irak dan Afghanistan tersebut, melalui jalur tidak resmi alias ilegal.
Pada tahun 2011, khususnya bulan Juni lalu, aparat setempat kembali melakukan razia. Dari sejumlah perempuan pelaku nikah mut’ah yang berhasil diamankan aparat, salah satunya bernama Fitriasih yang saat itu belum genap berusia 18 tahun. Namun, Fitriasih sudah menjalani praktik nikah mut’ah selama delapan bulan dengan 11 pria berwajah Timur Tengah.
Fitriasih asal Cijantung (Jakarta Timur) ini hanya lulusan SMP dan pernah menikah saat umurnya memasuki usia 17 tahun. Perkawinan itu bubar dalam waktu singkat. Dengan sadar, Fitriasih memasuki zona haram bernama kawin kontrak.
Menurut penuturan Fitriasih, usia nikah mut’ah yang pernah dijalaninya paling singkat sekitar tiga minggu, dan paling lama sekitar satu bulan, dan ada “sang mami” alias mucikarinya yang menjalankan peran sebagai perantara.
***
Dari gambaran di atas, jelas bagi kita bahwa nikah mut’ah alias kawin kontrak telah dijadikan sarana untuk membungkus pelacuran dengan hal-hal yang berbau agamis, terutama ajaran syi’ah yang membolehkan nikah mut’ah. Bahkan di Iran sendiri menurut republika.co.id edisi Kamis 09 Juni 2011, praktik nikah mut’ah menjadi lebih digandrungi ketimbang nikah permanen. Apalagi praktik yang haram menurut Islam ini justru difasilitasi oleh pemerintah Iran. Yang lebih mengejutkan lagi, praktik nikah mut’ah di Iran paling menonjol terjadi di kota Qum yang dianggap sebagai kota suci dan merupakan pusat pendidikan ilmu agama, yang sebagian besar lulusannya menjadi ulama Syiah ternama. Astaghfirullah. (haji/tedenahimunkar.)
No comments:
Post a Comment