Teori Masuknya Islam dan Kerajaan Islam
Teori Masuknya Islam dan Kerajaan Islam
Ada beberapa teori yang menyatakan dari manakah datangnya Islam ke Nusantara. Nusantara sejak awal abad masehi merupakan jalur perdagangan internasional. Dalam buku “Sejarah Indonesia Kelas X” setidaknya ada tiga teori (Kemendikbud, 2013; 138-139). Pertama, teori India. Teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui para pedagang Gujarat, India. Bernard H.M. Vlekke dalam bukunya “Nusantara, Sejarah Indonesia” menyatakan bahwa para pedagang para pedagang yang datang ke Nusantara datang bukan karena tujuan untuk menyebarkan agama Islam (Vlekke, 2008; 93). Buktinya adalah batu-batu nisan di Nusantara diimport dari Gujarat. “Orang-orang Gujarat mungkin memperoleh bahan material yang sangat murah dengan mengambilnya dari candi-candi Hindu yang mereka cemoohkan sebagai tugu berhala” (Vlekke, 2008: 92). Islamisasi terjadi alamiah lewat interaksi sosial dan bahkan perkawinan sama seperti kedatangan Hindu ke Nusantara. Kedua, teori Persia. Teori ini menyatakan Islam yang di Nusantara berasal dari Persia. Hal ini ditandai dengan adanya perayaan 10 Muharram—peringatan wafatnya Hussein bin Ali, di Sumatera Barat dan Bengkulu sama seperti di Persia (sekitar wilayah Irak sekarang). Ketiga, teori Arab. Teori ini beranggapan bahwa Islam yang berada di Nusantara datangnya langsung dari tanah kelahiran Islam. Para musafir (kaum pengembara) datang dengan motivasi dakwah atau menyebarluaskan ajaran Islam.
Dari ketiga teori masuknya Islam ke Nusantara tersebut, tampak teori Arab lemah karena kurang didukung bukti yang kuat. Saya sangat menyetujui tulisan Vlekke yang mengkritik teori tersebut.
“Bisa kita singkirkan gagasan bahwa agama baru itu dibawa ke Asia Tenggara lewat kegiatan dakwah. Kata “dakwah” itu sendiri menyesatkan. Sampai tahun-tahun terakhir, ajaran-ajaran Nabi tidak pernah disebarkan lewat kegiatan meng-Islamkan orang secara terorganisasi. Pengikut-pengikutnya tidak mendirikan organisasi agama dan tidak mengenal kelas imam yang khusus. Agama dan Negara bersifat satu. Ekspansi pemerintah Islam atas orang-orang bukan Islam menjadi Muslim, dan kehadiran orang-orang Muslim dalam posisi berpengaruh di lingkungan non-Muslim kemungkinan akan mendorong sebagian pelayan dan tetangga mereka mencontoh mereka. Dalam berbagai kasus, perpindahan agama disebabkan keyakinan, dalam kasus lain disebabkan oleh motif-motif kepentingan tersembunyi dan non-religius.” (Vlekke, 2008; 92-93)
Penguasa Malaka bernama Muhamad Iskandar Syah wafat 1424. Islam diperkirakan pada waktu itu sudah menyebar ke sepanjang pantai timur laut Sumatera, tetapi belum masuk ke pedalaman. Islam dengan cepat menguasai wilayah pantai Semenanjung Malaya. Makam Fatimah binti Maimun (1082 M) yang ditemukan di Desa Leran, Gresik (Jawa Timur) adalah kasus tersendiri. Makam perempuan Muslim tersebut diduga puteri dari pedagang Persia yang berdagang ke Jawa. Kuburan berbahasa Arab tertua berikutnya adalah makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik (1419 M). Ia dikenal sebagai satu dari dari sembilan penyebar agama Islam di Jawa dalam legenda Wali Songo. Para pakar modern telah menerjembahkan prasasti Malik Ibrahim dan menyimpulkan dia adalah seorang pedagang kaya yang mungkin memperoleh hartanya dari perdagangan rempah. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya Islam menyebar di seluruh kepulauan Nusantara (Vlekke, 2008; 92). Selain, dua makam tersebut—Fatimah dan Malik Ibrahim, di Jawa Timur juga ditemukan ratusan makam Islam kuno di pedalaman Jawa, yaitu Mojokerto (Jawa Timur). Jadi, dapat disimpulkan bahwa pusat penyebaran Islam di Jawa diwali di Jawa Timur.
Banyak faktor yang membuat Islam cepat berkembang di Nusantara. Pertama, cara seseorang agar diterima sebagai umat Islam cukup mudah, yaitu cukup mengucapkan dua kalimat syahadat—pengakuan iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Kedua, ajaran Islam tidak mengenal kasta dan tidak banyak upacara keagamaan. Ketiga, runtuhnya kerajaan Hindu-Budha yang memiliki daerah kekuasaan yang luas seperti Sriwijaya (Sumatera) dan Majapahit (Jawa). Keempat, Islamisasi lewat perkawinan. Contohnya, perkawinan antara Sunan Ampel dengan puteri Adipati Tuban yang bernama Nyi Ageng Manila. Kelima, Islam masuk lewat kesenian dan budaya seperti seni wayang, maupun lagu dan permainan tradisional seperti ilir-ilir dan cublak suweng.
Kerajaan Samudera Pasai dan Aceh
Kerajaan Samudera Pasai yang terletak di sebelah timur Aceh telah menjadi Islam pada abad ke-13. Pendiri kerajaan ini adalah seorang kepala Gampong Samudera bernama Marah Silu. Setelah memeluk agama Islam, ia berganti nama menjadi Sultan Malik Al-Saleh. Ia wafat 1297 M. Kerajaan ini cukup strategis karena dilalui jalur perdagangan internasional yang mau menuju Malaka dan Maluku. Perekonomiannya mengandalkan lada. Komoditas perdagangan yang dicari bangsa Eropa, Arab, Cina ke Nusantara adalah cengkeh, lada. Kehidupan ekonominya cukup maju, yaitu mereka sudah mengenal sistem mata uang berupa koin emas. Kemunduran kerajaan ini disebabkan perang saudara dan diserang Portugis pada 1521.
Aceh pada abad ke-15 merupakan salah satu daerah yang kurang penting di Sumatera. Utara. Aceh bergabung dengan agama baru itu pada paruhan kedua abad ke-15 dan pada awal abad ke-16. Para penguasanya memulai serangkaian “perang jihad” yang membuat mereka mengontrol wilayah-wilayah penghasil lada di pantai barat daya Sumatera. Jadi, Aceh menyebarkan Islam sambil menjamin control ketat atas perdagangan lada. Pada pertengahan abad ke-16, Aceh bahkan menduduki kerajaan yang pernah terkenal dengan nama Minangkabau dan meng-Islamkan raja serta rakyatnya (Vlekke, 2008; 104).
Kerajaan Aceh yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 merupakan kerajaan yang berlangsung cukup lama. Kerajaan ini bahkan memberikan perlawanan cukup sengit kepada pemerintah Kolonial Belanda. Kemunduran kerajaan ini terjadi karena makin menguatnya kekuasaan Kolonial Belanda di pulau Sumatera dan Selata Malaka. Lalu, banyak wilayah kekuasannya yang jatuh ke tangan Belanda, seperti Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu. Faktor lainnya yang cukup penting, yaitu adanya perebutan kekuasan di antara pewaris takhta kesultanan.
Kerajaan Mataram Islam
Malaka telah dikuasai Portugis pada 1511. Lalu, masih sekitar tahun itu Portugis datang ke Jawa. Mengapa raja-raja lebih memilih masuk agama Islam daripada agama Kristen? Pertimbangan politisnya pada waktu itu jika masuk Kristen, pertanda raja Jawa takluk kepada penguasa Portugis. Selain itu, Portugis juga dikenal curang dan serakah dalam berdagang. Pertimbangan budayanya, yaitu ajaran Islam lebih fleksibel ketimbang Kristen. Islam di Nusantara hingga abad ke-18 masih sinkritis. Islam masih bercampur dengan budaya pra-Islam seperti Hindu-Budha, maupun animisme-dinamisme. Buktinya, makam-makam muslim tertua di Jawa dihiasi simbol-simbol Shiwais serta prasasti bahasa Arab (Vlekke, 2008; 96). Selain itu, jika masuk Kristen, maka raja-raja Jawa harus mengikuti budaya Barat.
Pada sistem pelapisan sosial (tingkatan/golongan kelas sosial) dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat. Ada golongan raja dan keturunannya, para bangsawan dan rakyat sebagai kawula kerajaan. Kehidupan masyarakat bersifat feodal karena raja adalah pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai panatagama, yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, sultan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rakyatnya sangat hormat dan patuh, serta hidup mengabdi pada sultan (Kemendikbud, 2013; 161)
***
(Pagar Sianipar, Guru Sejarah SMAK 5 PENABUR Jakarta)
No comments:
Post a Comment