Cinta Inggit Garnasih–Soekarno

KEMARIN, sore-sore saya berkesempatan mengunjungi Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Jalan Inggit Garnasih no. 8 Ciateul, Bandung, Jawa Barat. Aku memasuki rumah tua itu dengan cemas dan rasa haru yang meluap, entahlah saya tidak tahu mengapa perasaan saya begitu, pikiran saya melanglang mundur ke belakang membayangkan jauh ke masa lalu, ke masa dimana dua insan ini dipertemukan dalam cinta oleh takdir-Nya.

Pada gambar-gambar yang bergelantungan dijajar rapi, mata saya lama tertuju menatap fokus pada satu gambar wanita mungil nan cantik duduk manis tersenyum dengan kebaya bercorak terang dikenakannya. Di sampingnya berdiri gagah seorang lelaki dengan stelan jas putih berdasi hitam dan berpeci hitam pula, ia tersenyum dikulum dan melipat pangku kedua tangannya. Tampak ia berwibawa.

Paras wanita yang duduk itu cantik sekali dengan rambut disisir rapi ke belakang, disanggulkannya ujung rambutnya itu. Pada sela sanggulnya ia sunting lekatkan sekuntum mawar merah, menambah saja cantik rupanya. Dalam pose hitam putih, ia tersenyum kalem yang meneduhkan mata pemandangnya. Ia tampak cantik bersahaja sebagai seorang gadis polos yang lugu. Di bilah bawah bingkai gambarnya tertulis nama dan keterangan: Inggit Garnasih, istri kedua mendiang pendiri republik ini, Soekarno.

Mari kukisahkan mengenainya, mengenai cintanya yang besar dan tulus pada Soekarno, mengenai jiwa besar dan pemaafannya yang agung kepada mereka yang telah menyakitinya. Cinta memang aneh, ia bisa datang tanpa direncanakan, pun ia bisa pergi tanpa diduga. Sesuatu yang pasti, ia adalah anugerah terbesar dari Tuhan. Dengan cinta segala-gala tampak begitu indah. Dan cinta Inggit—Soekarno begitulah pula adanya: datang tanpa dikira, pun pergi tanpa diduga.

Mereka bersama meniti jalan tanjak menuju kemerdekaan, sesampainya di gerbang kebebasan itu mereka bercerai oleh sebab hal yang ditolak umumnya wanita di muka bumi ini: diduakan. Inggit menolak dimadu diduakan itu sedangkan Soekarno menginginkan ‘madu’ untuk menurunkan anak generasinya, sesuatu yang tentu itu insani karena Inggit tak mampu memberikannya anak keturunan.

Inggit Garnasih, mojang Bandung kelahiran Kamasan Banjaran selama hampir 20 tahun lamanya mendampingi Soekarno dalam suka dan duka, dalam tangis dan tawa. Ia adalah lentera yang menerangi gelap jalan cadas berliku perjuangan Soekarno, membuka labir gulita bagi Soekarno dalam jalan terjal menanjak meniti revolusi. Dialah pengobar semangat dan pembangun karakter melawan tangguh Soekarno. Dia yang membimbing dan menjadikan Soekarno seorang yang kuat, sabar dalam menghadapi tekanan menohok kolonial Belanda.

Soekarno adalah Herakles di tengah-tengah gemuruh tepuk tangan massa. Dengan pidato-pidatonya yang kuat dan bertenaga ia dapat “meruntuhkan” gunung dan “menimbun” jurang lembah, namun terpisah dari gemuruh orang banyak, ia adalah Hamlet, si lemah pemurung yang disobek-sobek kebimbangan dan mudah terharu. Ia sanggup dengan lantang mengomandokan Trikora dan Dwikora, tetapi secara pribadi bahkan tak berani menyembelih ayam sekalipun, ia seorang penakut yang bahkan akan segera meriut ciut dan selalu pingsan kalau melihat darah.

Inggit-lah yang menguatkan dan membesarkan hatinya, memberi dorongan, semangat, dan harapan kepada Kusno-nya sayang. Dialah yang menempa Soekarno dari seorang lemah nan perasa menjadi seorang pemimpin yang kuat, dari yang awalnya hanya pemimpin romantikus belaka menjadi seorang pemimpin sebenarnya yang berkarakter kuat dan tangguh.

Tanpa sokongan dan topangan Inggit Garnasih, Soekarno bukanlah apa-apa dan tak akan menjadi serta mencapai apa-apa, ia akan seperti buih yang tersedot hilang dalam sekejap oleh gerus gerak dinamis penindasan kolonial yang tanpa ampun dengan angkuhnya maju melindas, ia akan lenyap bagi pergerakan kemerdekaan nasional ketika dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.  Ia akan hancur secara jasmani atau jika tak kuat ia akan ciut meriut mundur lalu takluk, menyerah kalah dalam waktu singkat. Banyak orang tidak mengetahui, Inggit Garnasih-lah sebenarnya di balik kuatnya ia bertahan itu.

Kali pertama mereka ketemu di sebuah rumah kost yang Soekarno tinggal di sana sebagai anak kosan sedangkan Inggit Garnasih adalah induk semang pemilik kosan itu. Kedua mereka saat ketemu itu telah masing-masing punya pasangan. Soekarno “menikah-gantung” dengan puteri HOS Tjokroaminoto bernama Oetari sedangkan Inggit Garnasih adalah istri dari seorang lelaki yang terlalu sering pergi meninggalkannya bernama H. Sanoesi. Kedua mereka ini: Soekarno–Inggit, bernasib sama, miskin kasih sayang dari orang dekat terkasih mereka.

Cinta kemudian menautkan mereka satu, sekalipun usia mengaral mereka berpaut jauh sekali. Inggit berselisih umur dengan Soekarno 13 tahun lamanya. Tetapi cinta di antara mereka terlalu dalam dan menimbulkan bara yang menyala-nyala di hati masing-masing keduanya, dan dalam cinta yang berbara menyala seperti itu apalah yang tampak buruk? Tidak ada, segala-gala di muka hadapan mata tampak indah bahkan sekalipun di mata lainnya mungkin tampak buruk.

Soekarno tak melihat usia Inggit yang jauh lebih tua darinya itu sebagai penghalang, Inggit-pun tak mengambil usia belia Soekarno sebagai sandungan. Mereka keduanya kukuh mengikutnurutkan perasaan. Dengan baik-baik dipulangkannya Oetari ke rumah orang tuanya HOS Tjokroaminoto di Gg. Peneleh, Surabaya, pun Inggit mengurus cerai baik-baik dengan suaminya H. Sanoesi.


H. Sanoesi, suami Inggit Garnasih setuju bercerai dan merelakan Inggit menikah dengan Soekarno asal Soekarno mau meneken surat perjanjian bahwa ia tak akan menyakiti hati Inggit, sepelik apapun kelak nanti persoalan mereka. Surat perjanjian itupun diteken Soekarno, dan merekapun menikahlah kemudian.

Inggit memanggil Engkus kepada Soekarno, itulah panggilan sayangnya. Ketika Engkus-nya itu ditangkap dan lalu dipenjara oleh kolonial Belanda. Ia rela dan terus setia mengunjungi Soekarno menempuh perjalanan berjarak 30 kilometer jauhnya dari Ciateul ke penjara Sukamiskin dengan selalu berjalan kaki untuk mengirit ongkos.

Selama Soekarno dalam penjara di Sukamiskin, Inggit-lah sumber informasi dunia luar bagi Soekarno. Biarpun pengamanan dan pemeriksaan sangatlah ketat dalam penjara kolonial itu, Inggit selalulah dapat berhasil lolos. Ia mengecoh para sipir penjara dengan menggunakan Al-Quran dan telur rebus sebagai media komunikasi untuk menyampaikan situasi perkembangan dunia luar kepada engkusnya: Soekarno.

Telur-telur rebus yang dibawa Inggit itu telah ditandainya dengan beberapa tusukan halus di luarnya. Satu tusukan berarti situasi aman di luar, dua tusukan artinya seorang kawan aktifis pergerakan tertangkap, bila ada tiga tusukan atau lebih, itu menandakan adanya penyergapan dan penangkapan besar-besaran terhadap pejuang dan aktifis pergerakan.

Pun pada Al-Quran begitulah pula. Jika misalnya Al-Quran itu dibawakan oleh Inggit pada tanggal 16 April maka Soekarno akan membuka surat Al-Quran keempat dan halaman ke-16. Di sana ia akan mencari lubang-lubang kecil di bawah huruf tertentu yang kemudian lubang-lubang itu membentuk serangkaian kalimat yang memberitahu keadaan dunia luar penjara.

Soekarno dilihat sebagai orang berbahaya bagi eksistensi kolonial Belanda, maka suatu kali ia dengan kasar diseret keluar dari Sukamiskin dan dibuang diasingkanlah di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur sebelum kemudian berlanjut pembuangan itu di Bengkulu. Inggit Garnasih terus setia dalam masa susah itu, ia ikut menemani Soekarno selama dalam pengasingan pembuangannya.

Di Bengkulu petaka mulailah menghampar, Soekarno jatuh menaruh hati pada gadis anak tinggal mereka sendiri. Gadis itu bernama Fatmawati, ia memang manis sekali dan usianya masih sangat belia, baru 19 tahun dan Soekarno telah 41 tahun, kedua mereka itu berpaut jarak usia 22 tahun lamanya. Oleh ayahnya yang sahabat Soekarno, Fatmawati memang sengaja dititipkan tinggal di sana. Dengan penuh kasih Soekarno mendatangi Inggit dan dengan baik-baik menyampaikan hasrat keinginannya untuk memperistri Fatmawati. Alasannya memang insani, ingin mendapatkan turunan, hal yang tak mungkin didapatnya dari Inggit Garnasih.

Tapi Inggit menolak dimadu, sekalipun Soekarno tak ingin menceraikannya. Sebagai seorang perempuan, seorang ibu yang mengerti damba anak turunan, ia merelakan segenap hatinya hancur tersakiti untuk kebahagiaan Engkus yang disayanginya. Ia undur dari diri kehidupan Soekarno dan pulang kembali ke keluarganya di Ciateul Bandung. Ia takdirnya tergaris berhenti sampai di situ, sampai di gerbang saja, ia tak ditakdirkan memasuki Istana Merdeka bersama Engkusnya–Soekarno.

Inggit pulang dengan segunung kecewa, membawa luka teramat dalam. Ia meninggalkan segala-gala terkait Soekarno, ia memupus ingatannya terkait apapun mengenainya. Ia sakit dan terus bertanya-tanya pada hati sendiri: “Mengapakah harus Fatmawati Ngkus? Seseorang yang sudah kuanggap sebagai anak sendiri?”. Mengenai ini ia tulis dengan sentimentil dalam catatan hariannya: “Dia telah seperti anakku sendiri, Aku anggap dia anakku sendiri”. Dalam luka kecewa yang menganga lebar itu, ia tegar dan kuat. Dalam emosi yang bergelora meluap sesaat itu, ia kemudian bangkit sadarnya. Dalam menangis ia memaafkan Engkus-nya: Soekarno.

Ketika Soekarno wafat, ia datang tergopoh dengan cepatnya. Ia tumpahkan tangisnya di muka jasad engkus-nya yang telah kaku itu, Berkata dalam Sunda: “Ngkus…, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Inggit didoakeun”. Itulah kata-kata terakhirnya di muka jasad bekas suami terkasihnya itu. Baginya Soekarno adalah cinta sejati, mantan suami yang sangat dicintai dan dibanggakannya, ia tak tergantikan oleh apapun, oleh siapapun, terus saja ia dalam cinta yang besar dan penghormatan yang mulia begitu pada sosok Soekarno bahkan sekalipun setelah ia disakitinya.

Inilah bedanya Inggit dari lain-lainnya, ia memaafkan tidak hanya pada Soekarno bahkanpun bagi Fatmawati. Atas prakarsa Ali Sadikin, Almarhumah Fatmawati sebelum wafatnya datang mengunjungi bekas ibu angkatnya itu. Dengan kebesaran jiwa dan sesenggukan oleh tangis haru, Inggit  menerima dan memaafkan Fatmah__panggilannya ke Fatmawati, bekas anak angkatnya yang menjalin kasih sayang dengan ayah angkatnya yang adalah suaminya sendiri dan kemudian menjadi istri bekas suami ibu angkatnya. Di sinilah Inggit membuktikan bahwa orang tak mutlak perlu sekolah tinggi untuk bisa berjiwa besar

Sebuah kata-kata dari Inggit Garnasih yang ditulis Ramadhan K.H. dalam buku: Soekarno, Ku Antar ke Gerbang menutup catatan ini:


“… Sesungguhnya aku harus senang karena dengan menempuh jalan yang tidak bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga. Ya, gerbang hari esok yang pasti akan lebih berarti, yang jauh lebih banyak diceritakan orang secara ramai.”

la Yusrie

No comments: