Demokrasi, Plutokrasi, dan Oligarki
Assalamu’alaikum Bung Rizki,
Dulu di tahun 1980-an, kita Golput dengan alasan rezim yang berkuasa itu thagut. Namun kenapa sekarang kok malah seolah “diharamkan”? Padahal kan sistemnya masih sama. Mohon pencerahannya ya. Syukron.
Wassalamu’alaykum
Wa’alaykumusalam warahmatullahi wabarakatuh,
Semoga Bung Ahmad Irfani selalu berada dalam rahmat Allah SWT. Sebelum menjawab yang ditanyakan, ada baiknya kita membedah dulu apa itu demokrasi, apa itu plutokrasi, dan apa itu oligarki. Sebab, banyak orang tidak memahami dengan baik jika kedua penumpang gelap sistem demokrasi itu sekarang ini melekat di dalam sistem politik di Indonesia, sejak era Harto sampai detik ini.
DEMORASI adalah sistem politik yang meyakini jika kekuasaan yang sejati haruslah berada di tangan rakyat. Bahasa latinnya, Vox Populi Vox Dei. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Banyak orang menganggap demokrasi berasal dari Plato yang menulis buku “Republik”. Anggapan ini kurang tepat, karena 400 tahun sebelum Plato lahir, sistem demokrasi sudah diterapkan oleh 12 suku bangsa Bani Israel saat mereka berdiam di tanah Kan’an.
Saat itu Bani Israel terpecah ke dalam 12 suku yang memiliki otoritas untuk mengatur dan memerintah dalam wilayahnya masing-masing. Masing-masing suku dipimpin oleh hakim yang diangkat berdasarkan kesepakatan bersama berdasarkan otoritasnya di dalam hal keagamaan. Lalu ke-12 hakim ini yang mewakili ke-12 suku Bani Israel membentuk sebuah dewan hakim yang membahas kepentingan mereka bersama berdasarkan Mosaic Codex. Inilah masa hakim-hakim seperti yang dimuat di dalam Alkitab.
Jadi, demokrasi sebenarnya merupakan made in Bani Israel. Sebab itu, tidak salah jika ada ungkapan jika demokrasi merupakan sunnah Yahudi. Walau pun sesungguhnya Demokrasi itu sendiri suatu sistem yang bisa baik bisa pula tidak, tergantung pada siapa yang mengelolanya. Namun dalam sejarah dunia, belum pernah sistem ini menciptakan suatu kebaikan, kesejahteraan, dan keadilan bagi rakyat secara keseluruhan. Plato sendiri yang kadung dianggap sebagai Bapak Demokrasi ternyata memiliki puluhan budak. Yunani sendiri di mana Plato hidup, tidak pernah melaksanakan demokrasi.
PLUTOKRASI merupakan suatu sistem di mana kekuasaan hanya bergilir dari satu orang kaya ke orang kaya lainnya. Rakyat hanya dijadikan obyek untuk melanggengkan kekuasaan golongan mereka dan dijadikan sapi perahan untuk bisa dipunguti pajaknya, dibayar dengan upah yang murah, dan sebagainya.
Kaum plutokrat ini juga berusaha menipu rakyat dengan melakukan propaganda jika sistem demokrasi telah benar-benar berjalan di atas rel yang ada, telah sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar, dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka ini mendekati rakyat hanya pada saat suara rakyat diperlukan, dan segera melupakan rakyat—sekaligus melupakan janji-janjinya—setelah berkuasa kembali.
Jika ada sebagian rakyat yang berani menggugat mereka, maka dengan kekuatan modal yang mereka miliki, yang ditanamkan di berbagai media massa dan juga ditanamkan di berbagai oknum pejabat yang menguasai lembaga-lembaga negara—sipil maupun militer, maka dengan mudah para plutokrat ini menuding rakyat yang berani itu sebagai kelompok subversif, dituding mengganggu stabilitas nasional, diharamkan keberadaannya lewat stempel “tokoh atau lembaga religius yang loyal pada Istana”, dan sebagainya. Penghilangan nyawa merupakan opsi terakhir bagi mereka untuk membungkam rakyat yang berani menggugat status-quonya.
OLIGARKI merupakan fenomena yang biasanya menyertai “demokrasi plutokratis”, yakni dikuasainya partai politik oleh segelintir, satu dua orang saja. Kebijakan segelintir orang inilah yang berlaku dan wajib ditaati oleh seluruh anggota parpol. Jika ada anggota yang diangap tidak patuh, maka elit parpol akan segera memecatnya. Segala dalih memang digunakan sebagai pembenaran.
Nah, bagaimana dengan sistem kekuasaan yang berlaku di Indonesia? Di zaman Bung Karno, pemerintah mengatakan jika Indonesia berjalan di atas rel konsep Sosialisme Indonesia yang berbeda dengan konsep sosialisme di negara-negara komunis. Namun para kenyataannya, konsep ini ternyata gagal membawakan kesejahteraan pada rakyatnya. Bung Karno malah dijadikan, dan dia bersedia, sebagai penguasa tunggal seumur hidup yang oleh banyak kalangan dianggap sama saja dengan diktator. Adalah sangat berbahaya jika sebuah negara dikuasai secara absolut oleh satu orang.
Lalu di zaman Harto, demokrasi sekadar dijadikan topeng bagi sistem kapitalistik. Di era kekuasaan inilah, kekuatan kapitalis internasional dengan bebas melenggang masuk ke Indonesia dan dipersilakan merampok seluruh kekayaan negeri yang kaya raya ini, asal kaum plutokrat yang berada di sekitar lingkaran Cendana mendapatkan “cipratan fulus”nya.
Paska Harto, sentralisasi kekuasaan (dan juga kekayaan) yang ada di Cendana mulai terurai. Terciptalah sejumlah blok kaum plutokrat yang sesungguhnya juga berasal dari rezim yang lama. Ada beberapa kubu kaum Plutokrat yang bergandeng mesra, namun banyak pula yang saling menjegal di antara sesamanya. Inilah yang kemudian melahirkan penguasa-penguasa baru seperti Habibie, Dur, Mega, dan kini SBY yang akan berakhir.
Era reformasi yang seharusnya memiliki misi utama menghancurkan sistem Suhartoisme, ternyata ditunggangi oleh kekuatan lama dan diselewengkan menjadi era kebebasan sebebas-bebasnya. Asal punya duit, maka kamu bisa melakukan apa saja.
Adalah suatu ironi sejarah, fakta membuktikan jika
lebih dari sepuluh tahun usia reformasi, ternyata sistem Suhartoisme
bukannya hancur namun kian bertambah subur. Mereka yang mengaku reformis
pun tanpa malu-malu lagi mem-pahlawankan Suharto. Korupsi kian gila.
Rakyat kian sengsara. Ada jurang yang sedemikian dalam dan curam antara
kehidupan elit parpol dengan kehidupan rakyat banyak. Elit parpol
membangun gedung-gedung tinggi untuk dihuni, sedangkan rakyat banyak,
untuk menggali kuburannya sendiri pun sulit.
Dalam usia reformasi yang lebih dari sepuluh
tahun, rakyat banyak sudah bisa memilah mana yang benar-benar reformis
dan mana “reformis gadungan”. Yang benar-benar reformis terus berjuang
bersama rakyat untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan Suhartoisme
sebagai sistem yang telah melantakkan negeri kaya raya ini ke jurang
kebinasaan. Sedang para reformis-gadungan, kini hidupnya sudah banyak
yang berubah. Dari yang tadinya tinggal di rumah kontrakkan di gang
sempit kini telah memiliki rumah gedung berdinding beton tinggi plus
mobil yang tidak cukup satu. Yang tadinya pengangguran kini setiap hari
bisa berkeliling kota naik kendaraan pribadi berkilau. Padahal mereka
tidak punya usaha apa-apa selain jadi anggota inti atau elit parpol.
Parpol itulah gerobak dagangan mereka, sedangkan suara rakyat yang
memilihnya dijadikan alat tawar bagi berbagai proyek mereka. Kian banyak
suara rakyat didapat, semakin kuat bargaining-position mereka. Ini adalah fakta yang berbicara.
Sedangkan nasib rakyat banyak, ya begitu-begitu
saja. Mereka tetap berkubang dalam kemelaratan dan kesengsaraan yang
kian hari kian bertambah berat. Kita lihat sendiri, di pesawat teve dan
koran, banyak parpol mengklaim keberhasilan mereka ini dan itu, namun di
jalan-jalan, anak-anak kecil kian banyak yang mencari receh di jalanan,
kian banyak orang gila baru, kian banyak orang bunuh diri, dan kian
banyak pengemis berkeliaran. Para politisi hidup bagaikan orang autis di
tengah-tengah rakyatnya.
Inilah “demokrasi” (baca: Demo-Crazy) di
negeri ini. “Demokrasi” yang semata kedok bagi Plutokrasi dan Oligarki.
Ini yang harus disadari semua orang. Sehingga, walau “orang yang bersih”
bisa naik menjadi aleg atau presiden sekali pun, dia akan tunduk dan
terseret arus Plutokrasi dan Oligarki ini. Orang yang bersih dan lurus,
jika masuk ke dalam sistem jahat ini akan goyang keimanannya dan banyak
yang akhirnya terwarnai.
Apakah itu berarti semua aleg akan terseret arus
jahat ini? Tentu saja tidak, masih ada satu atau dua orang yang mampu
bertahan. Hanya saja, orang-orang seperti ini akan mengalami dua
kemungkinan: Terpental keluar dari sistem atau menderita sakit
berkepanjangan. Bisa sakit fisik, bisa pula sakit jiwa dalam kadar yang
beragam. Hal ini ditegaskan sendiri oleh aleg DPR pusat periode
2004-2009 yang masih bersih yang kapok jadi aleg, dan sebab itu tidak
mau lagi dicalonkan dalam Pemilu 2009. Dia duduk dalam lingkaran elit
sebuah parpol.
Saya berkeyakinan, dalam sistem Plutokratis dan
Oligarkis ini, jika kita ikut memilih salah satu caleg, maka dengan
begitu kita sesungguhnya telah ikut menjerumuskan orang tersebut ke
dalam sistem yang amat sangat jahat. Saya sangat mencintai orang-orang
yang bersih. Sebab itu, saya dalam Pemilu yang lalu tidak akan
menjerumuskan orang-orang bersih ke dalam sistem yang jahat itu. Agar
orang-orang bersih itu bisa terselamatkan dari sistem yang mampu
membuatnya menjadi tidak bersih. Bukankah menghindari itu jauh lebih
baik ketimbang mengobati?
Apakah dengan demikian saya dianggap melakukan
penggembosan? Ya, saya ingin menggembosi sistem plutokratis dan
oligarkis yang benar-benar jahat. Saya mencitakan sistem yang islami,
saya ingin memilih seorang pemimpin yang dengan bangga mengatakan kepada
rakyatnya bahwa dirinya akan berjuang menegakkan syariat Islam di
negeri ini. Saya ingin memilih seorang pemimpin yang bangga dengan
keislamannya dan tidak malu-malu mengatakan jika dirinya akan berjuang
menegakkan kalimah Allah, Bukan sekadar basa-basi.
Sikap saya ini sesuai dengan fatwa MUI yang
menganjurkan umat Islam untuk memilih pemimpin yang baik di negeri ini.
Karena saya seorang Muslim, maka bagi saya, pemimpin yang baik itu
adalah pemimpin yang secara berani dan jujur menyatakan sebagai orang
yang akan menegakkan Islam, bukan tipe pemimpin yang plintat-plintut,
di hadapan umat dia bilang akan berjuang untuk Islam tapi di depan
pihak lain dia bilang politik Islam bukan zamannya lagi. Sikap saya akan
saya pertanggungjawabkan di yaumil akhir nanti. Dan terserah pada Anda
semua, apakah di dalam Pemilu berikutnya nanti akan tetap berpartisipasi
atau tidak. Masing-masing orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya
di hadapan Allah SWT. Ini adalah pilihan pribadi. Memilih itu hak,
bukan kewajiban. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
Wassalamu’alaykum warahmatulahi wabarakatuh.
No comments:
Post a Comment