Filantropi Islam, Dari Khadijah Hingga Umar Bin Abdul Aziz

Sedekah (ilustrasi)
Sedekah (ilustrasi)

Suatu hari, ketika terbangun dari tidurnya, Rasulullah SAW langsung menyebut nama Siti Khadijah, istrinya. Padahal, saat itu di sampingnya ada Siti Aisyah. Begitu mengetahui yang disebut Khadijah, Aisyah sebagai istri pun cemburu kepada Rasulullah.

Rasul pun kemudian menghiburnya dan menyatakan Khadijah merupakan contoh istri yang baik dan sangat dikaguminya. Rasulullah SAW kemudian menyebutkan beberapa keistimewaan Khadijah sebagai istrinya.

Pertama, Khadijah adalah orang pertama yang memeluk Islam. Khadijahlah yang menyelimutinya pada saat Rasul merasa khawatir seusai menerima wahyu pertama.

Kedua, dari Khadijah pula Rasulullah SAW mendapatkan keturunan. Di antaranya, Fatimah, Ummu Kultsum, Rukayyah, Zainab, Qasim, dan Abdullah.

Ketiga, Khadijah pula istri yang dengan tulus ikhlas menafkahkan dan mewakafkan jiwa raganya serta seluruh hartanya untuk kejayaan Islam.

Bahkan, menjelang wafatnya, Khadijah pernah mengatakan kepada Rasulullah SAW. “Aku telah mewakafkan seluruh harta dan jiwaku untuk kejayaan Islam. Namun, jika semua itu masih kurang, tulang-belulangku pun jika dibutuhkan, saya siap memberikannya, yang mungkin dengan (tulang-tulang) itu bermanfaat untuk Islam.

Atas hal inilah, Aisyah pun hilang rasa cemburunya kepada istri pertama Rasulullah SAW. Sebab, sosok Khadijah yang dengan jiwa, raga, serta seluruh hidupnya diwakafkan demi kejayaan agama Islam. Hingga kini, kita bisa merasakan manisnya Islam.

Abdurrahman bin Auf adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang istimewa. Keistimewaannya itu didapatkan karena kedermawanannya kepada Islam. Dari karena hal itu pula, Rasulullah SAW memberikan jaminan untuk Abdurrahman bin Auf dengan surga.

Saat ia berhijrah, seluruh harta bendanya ditinggalkan di Makkah. Ia berangkat hanya dengan membawa pakaian secukupnya tanpa harta benda.
Setibanya di Madinah, Rasul memerintahkan kaum Anshar (penolong) untuk membantu saudaranya kaum Muhajirin (orang yang berhijrah) dan menghubungkan mereka sebagai saudara.

Abdurrahman kemudian disaudarakan dengan Saad bin al-Rabi' al-Anshari. Saad yang mempunyai dua orang istri bermaksud menyerahkan salah satunya kepada Abdurrahman bin Auf untuk diperistri.
Namun, tawaran itu ditolaknya. Abdurrahman hanya meminta Saad menunjukkan lokasi pasar pada dirinya. Saad pun kemudian mengantarkannya.

Di pasar, Abdurrahman kemudian bekerja keras dan menjadi pedagang. Tak berapa lama kemudian, Abdurrahman mendapatkan sukses besar hingga ia terkenal sebagai pedagang.

Tak cukup dengan itu keistimewaan Abdurrahman bin Auf. Pada saat Islam membutuhkan dana yang teramat besar untuk melawan pasukan Romawi, Abdurrahman menafkahkan seluruh hartanya untuk kejayaan Islam.

Umar bin Khattab pun kemudian mengadukan perilaku Abdurrahman bin Auf itu kepada Rasulullah. Rasul lalu menanyakan mengapa ia melakukan hal itu dan apa yang dia tinggalkan untuk keluarganya?

Ibnu Auf ini lalu mengatakan apa yang dia tinggalkan untuknya dan keluarganya jauh lebih besar dari apa yang ia nafkahkan untuk membantu pasukan Muslimin.

Wahai Rasulullah, aku telah meninggalkan untuk mereka lebih banyak dan lebih baik dari yang telah aku infakkan.” Rasul bertanya, “Apa itu?” Abdurrahman menjawab, “Apa yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya berupa rezeki dan kebaikan serta pahala yang banyak.

Pada masa Rasulullah, bila mendapat amanah zakat ataupun sedekah dari umat Islam pada pagi hari, zakat dan sedekah tersebut sudah terbagi habis kepada kaum fakir miskin pada waktu Zhuhur.

Demikian juga dengan harta rampasan perang yang diperoleh kaum Muslimin, senantiasa selalu selesai peperangan beliau sendiri yang membagikan tanpa ada yang tersisa.

Sistem yang diterapkan Rasulullah SAW ini kemudian diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq RA hingga permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab.

Tetapi, dengan semakin luasnya kawasan yang dibebaskan dan daerah yang ditaklukkan, kekayaan dari rampasan perang (ghanimah) juga bertambah, termasuk pemasukan dari kharaj dan jizyah (pajak). Semuanya masih diatur secara sangat sederhana.

Meski sebagian hasil rampasan dan pemasukan dari kharaj dan jizyah ini sudah dikeluarkan untuk membiayai pembangunan berbagai fasilitas umum serta ketertiban hukum di daerah yang ditaklukkan, kelebihan dari semua hasil pemasukan itu masih sangat besar.

Kondisi tersebut memaksa Khalifah Umar bin Khattab RA untuk memikirkan suatu sistem moneter atau keuangan negara yang baru tumbuh itu.

Dalam beberapa sumber dikisahkan, sepulangnya dari menaklukkan Bahrain, Abu Hurairah RA menghadap Khalifah Umar dengan membawa uang 500 ribu dirham—jumlah yang sangat besar pada masa itu—sebagai hasil rampasan perang.

Sejak saat itu, Umar membentuk lembaga keuangan khusus atau yang lebih dikenal dengan istilah baitul maal. Pada tahap awal dibentuk, keberadaan baitul maal difungsikan sebagai tempat untuk menghimpun kelebihan dari hasil rampasan perang serta pemasukan dari pembayaran jizyah dan kharaj.

Dari dana yang terkumpul di baitul maal ini, Khalifah Umar mulai menerapkan sistem pemberian tunjangan kepada orang-orang Arab pedalaman yang selama ini menjadi tentara pasukan Islam.

Pemberian tunjangan ini dimaksudkan agar para tentara tersebut dapat mengkhususkan diri dalam berjihad di jalan Allah, mereka bebas sepenuhnya melaksanakan tugas dakwah. Tujuan lainnya agar tentara Muslim ini senantiasa siap melaksanakan tugas dalam menegakkan agama Islam.

Bersamaan dengan diberlakukannya sistem ini, Umar mulai menerapkan pelarangan pembagian tanah kepada tentara di daerah yang sudah diduduki supaya mereka tidak mementingkan mengolah tanah daripada berjihad.

Tidak hanya tunjangan bagi orang-orang dari kalangan militer. Baitul maal ini juga mengurusi tunjangan untuk masyarakat sipil.

Dalam beberapa sumber, lembaga tersebut digambarkan laiknya sebuah kantor registrasi yang mencatat dan menghitung orang-orang dari kalangan militer dan sipil yang harus mendapat tunjangan.

Pada masa kekhalifahan Islam, dana baitul maal tersebut juga banyak dipergunakan untuk memerdekakan budak. Sehingga, baitul maal ini memiliki peran besar dalam menghapus sistem perbudakan di wilayah kekuasaan Islam.

Pada masa Dinasti Umayyah, khususnya Umar bin Abdul Aziz, fungsi baitul maal terus meluas. Tidak hanya menyalurkan dana tunjangan, tetapi juga dikembangkan dan diberdayakan untuk menyalurkan pembiayaan demi keperluan pembangunan sarana dan prasarana umum.

Bahkan, baitul maal juga dipakai untuk membiayai proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Di sinilah gelombang intelektual Islam dimulai. Inilah salah contoh pengelolaan filantropi yang baik.

Syahruddin el-Fikri

No comments: