Habib Ali Bin Hussein Al-Athos, Berilmu Tinggi dan Rendah Hati
Ia lebih banyak menyalurkan ilmu-ilmunya secara pribadi.
Habib Ali bin Hussein al-Athos atau yang dikenal juga dengan sebutan Habib Ali Bungur merupakan seorang ulama yang sangat dikenal oleh masyarakat Betawi.
Meski ilmu agamanya tinggi, ia tetap tampil sederhana dan nyaman tinggal di tengah masyarakat yang kebanyakan menengah ke bawah.
Ia lahir di Huraidhah, Hadramaut, 1 Muharram 1309 H atau sekitar 1889 M. Jika dirunut garis keturunannya, ia punya hubungan keturunan langsung dengan Rasulullah. Sejak kecil, pada usianya yang baru menginjak enam tahun, ia sudah menuntut ilmu-ilmu agama di pesantren di Hadramaut.
Belasan tahun waktu hidupnya dihabiskan untuk berkutat dalam pendidikan ilmu-ilmu agama hingga akhirnya pada usia 23 tahun, ia pergi ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, ia juga belajar pada guru-guru agama di kota suci ini hingga enam tahun lamanya.
Pada 1917, ia memutuskan untuk kembali ke Hadramaut. Kemudian, mengajar di pesantren, menyalurkan kembali ilmu-ilmu yang telah didapatnya dari para ulama besar yang pernah menjadi gurunya. Dunia mengenalnya sebagai ahli dalam bidang ilmu fikih, falsafah, tasawuf, serta perbandingan mazhab. Ia juga menguasai banyak kitab kuning dari berbagai mazhab.
Ketika ia berusia 41 tahun, ia memutuskan untuk melebarkan sayap dakwahnya ke Jakarta. Ia mula-mula tinggal di Cikini, di tengah kampung yang dekat dengan Masjid Cikini.
Dalam waktu singkat, ia bisa menguasai bahasa Indonesia yang kemudian mempermudah dakwahnya. Kesederhanaan yang selalu ditunjukkan membuat ia cepat menarik perhatian masyarakat setempat, khususnya masyarakat Betawi.
Penampilannya terlihat khas. Ia gemar mengenakan jubah panjang berwarna putih, dilengkapi dengan serban dan selempang berwarna hijau. Ia selalu mengajarkan orang-orang di sekitarnya untuk bangkit dan semangat bekerja agar bisa meraih kehidupan ekonomi yang lebih baik.
Ia juga sangat menentang penjajahan, pemerintahan yang lalim, serta paham komunisme yang mengajarkan sikap ateis, tak percaya Tuhan.
Suatu hari, rumah Habib Ali Hussein di Cikini terkena musibah kebakaran. Kemudian, ia pindah ke Bungur, sebuah perkampungan Betawi yang terletak di daerah Senen, Jakarta Pusat. Inilah mengapa ia dikenal sebagai Habib Ali Bungur.
Di sini ia tetap melanjutkan dakwahnya dan mengajarkan ilmu-ilmunya pada muridnya. Ia tetap tampil sederhana, ke mana-mana naik becak dan tidak pernah mempunyai mobil.
Ia jarang berdakwah secara massal, yaitu di pengajian yang besar dengan jamaah ratusan orang. Ia lebih banyak menyalurkan ilmu-ilmunya secara pribadi, murid-muridnya datang ke rumahnya membacakan kitab, kemudian ia menjelaskan kandungan isi kitab yang dibaca tersebut. Selain itu, ia juga sering mengisi majelis taklim yang hanya berisikan puluhan jamaah.
Ribuan ulama besar banyak yang belajar padanya. Di antaranya, Abdullah Sjafi'ie yang menjadi pimpinan Majelis Taklim Assyafi'iyah, pimpinan Majelis Taklim Attahiriyah, yaitu KH Tohir Rohili, KH Syafi'i Hadzami, dan puluhan ulama lainnya.
Para muridnya itu pun banyak yang sukses menjadi ulama besar dan pimpinan perguruan Islam. Bukan hanya di sekitar Jakarta, muridnya juga datang dari daerah lain hingga luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura.
Selain menjadi guru, ia juga terus menimba ilmu dari ulama-ulama besar di Indonesia. Ia menyukai diskusi dengan ulama-ulama besar, seperti Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas dari Bogor, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas dari Pekalongan, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi dari Surabaya, Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor dari Bondowoso, dan banyak lagi ulama besar lainnya.
Selama 56 tahun hidupnya, ia telah mengabdikan diri untuk berdakwah dan memperdalam ilmu agama. Ia terus berjuang membela umat Islam, terutama yang berada di lingkungan kemiskinan.
Kesederhanaannya serta sikapnya yang selalu istiqamah dalam mempraktikkan ajaran Islam di kehidupan sehari-harinya, dijadikan teladan bagi orang-orang yang mengenalnya. Ia selalu mengajarkan Islam mengajak umatnya dari kegelapan cahaya menuju kondisi yang lebih terang, membawa yang berada dalam taraf kemiskinan menuju pada keadilan dan kemakmuran.
Habib Ali Bungur berpulang pada 16 Februari 1976 dalam usia 88 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Al-Hawi yang terletak di daerah Condet, Jakarta.
Rosita Budi Suryaningsih
Habib Ali bin Hussein al-Athos atau yang dikenal juga dengan sebutan Habib Ali Bungur merupakan seorang ulama yang sangat dikenal oleh masyarakat Betawi.
Meski ilmu agamanya tinggi, ia tetap tampil sederhana dan nyaman tinggal di tengah masyarakat yang kebanyakan menengah ke bawah.
Ia lahir di Huraidhah, Hadramaut, 1 Muharram 1309 H atau sekitar 1889 M. Jika dirunut garis keturunannya, ia punya hubungan keturunan langsung dengan Rasulullah. Sejak kecil, pada usianya yang baru menginjak enam tahun, ia sudah menuntut ilmu-ilmu agama di pesantren di Hadramaut.
Belasan tahun waktu hidupnya dihabiskan untuk berkutat dalam pendidikan ilmu-ilmu agama hingga akhirnya pada usia 23 tahun, ia pergi ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, ia juga belajar pada guru-guru agama di kota suci ini hingga enam tahun lamanya.
Pada 1917, ia memutuskan untuk kembali ke Hadramaut. Kemudian, mengajar di pesantren, menyalurkan kembali ilmu-ilmu yang telah didapatnya dari para ulama besar yang pernah menjadi gurunya. Dunia mengenalnya sebagai ahli dalam bidang ilmu fikih, falsafah, tasawuf, serta perbandingan mazhab. Ia juga menguasai banyak kitab kuning dari berbagai mazhab.
Ketika ia berusia 41 tahun, ia memutuskan untuk melebarkan sayap dakwahnya ke Jakarta. Ia mula-mula tinggal di Cikini, di tengah kampung yang dekat dengan Masjid Cikini.
Dalam waktu singkat, ia bisa menguasai bahasa Indonesia yang kemudian mempermudah dakwahnya. Kesederhanaan yang selalu ditunjukkan membuat ia cepat menarik perhatian masyarakat setempat, khususnya masyarakat Betawi.
Penampilannya terlihat khas. Ia gemar mengenakan jubah panjang berwarna putih, dilengkapi dengan serban dan selempang berwarna hijau. Ia selalu mengajarkan orang-orang di sekitarnya untuk bangkit dan semangat bekerja agar bisa meraih kehidupan ekonomi yang lebih baik.
Ia juga sangat menentang penjajahan, pemerintahan yang lalim, serta paham komunisme yang mengajarkan sikap ateis, tak percaya Tuhan.
Suatu hari, rumah Habib Ali Hussein di Cikini terkena musibah kebakaran. Kemudian, ia pindah ke Bungur, sebuah perkampungan Betawi yang terletak di daerah Senen, Jakarta Pusat. Inilah mengapa ia dikenal sebagai Habib Ali Bungur.
Di sini ia tetap melanjutkan dakwahnya dan mengajarkan ilmu-ilmunya pada muridnya. Ia tetap tampil sederhana, ke mana-mana naik becak dan tidak pernah mempunyai mobil.
Ia jarang berdakwah secara massal, yaitu di pengajian yang besar dengan jamaah ratusan orang. Ia lebih banyak menyalurkan ilmu-ilmunya secara pribadi, murid-muridnya datang ke rumahnya membacakan kitab, kemudian ia menjelaskan kandungan isi kitab yang dibaca tersebut. Selain itu, ia juga sering mengisi majelis taklim yang hanya berisikan puluhan jamaah.
Ribuan ulama besar banyak yang belajar padanya. Di antaranya, Abdullah Sjafi'ie yang menjadi pimpinan Majelis Taklim Assyafi'iyah, pimpinan Majelis Taklim Attahiriyah, yaitu KH Tohir Rohili, KH Syafi'i Hadzami, dan puluhan ulama lainnya.
Para muridnya itu pun banyak yang sukses menjadi ulama besar dan pimpinan perguruan Islam. Bukan hanya di sekitar Jakarta, muridnya juga datang dari daerah lain hingga luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura.
Selain menjadi guru, ia juga terus menimba ilmu dari ulama-ulama besar di Indonesia. Ia menyukai diskusi dengan ulama-ulama besar, seperti Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas dari Bogor, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas dari Pekalongan, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi dari Surabaya, Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor dari Bondowoso, dan banyak lagi ulama besar lainnya.
Selama 56 tahun hidupnya, ia telah mengabdikan diri untuk berdakwah dan memperdalam ilmu agama. Ia terus berjuang membela umat Islam, terutama yang berada di lingkungan kemiskinan.
Kesederhanaannya serta sikapnya yang selalu istiqamah dalam mempraktikkan ajaran Islam di kehidupan sehari-harinya, dijadikan teladan bagi orang-orang yang mengenalnya. Ia selalu mengajarkan Islam mengajak umatnya dari kegelapan cahaya menuju kondisi yang lebih terang, membawa yang berada dalam taraf kemiskinan menuju pada keadilan dan kemakmuran.
Habib Ali Bungur berpulang pada 16 Februari 1976 dalam usia 88 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Al-Hawi yang terletak di daerah Condet, Jakarta.
Rosita Budi Suryaningsih
No comments:
Post a Comment