Keutamaan Mut’ah Menurut Syia

tangan cincin 490x326 Keutamaan Mutah Menurut Syiah
ALI Radiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.”
Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, salah satu dari referensi Syi’ah. Namun, sangat aneh kiranya jika kemudian Syi’ah mengklaim dirinya sebagai pegikut dan pecinta Ali justru menghalalkan nikah mut’ah yang Ali sendirilah periwayat hadits haramnya nikah mut’ah.
عرفت الشر لا للشر, ولكن لتوقيه
من لايعرف الشر من الخير يقع فيه
“Aku (ingin) tahu keburukan, tapi bukan untuk berbuat buruk, namun agar terhindar darinya,
Karena siapa yang tidak mengetahui keburukan dari kebaikan maka ia akan terjatuh pada keburukan tanpa ia sadari.”
Tercantum dalam kitab “Manhaj As Shodiqin” karangan Fathullah Al Kaasyaani dari As Shodiq (menerangkan) bahwasanya: ”Nikah mut’ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut’ah lebih mulia dari anak istri yang tetap/sah. Orang yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir murtad.” [1]
2. Al Qummi menukilkan di dalam kitab “Man Laa Yahduruhu Al Faqiih” dari Abdulah bin Sinan dari Abi Abdillah, ia berkata :
“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari setiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut’ah,” [2].
Orang Rafidhah tidak pernah mensyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut’ah.
3. Tercantum dalam kitab “Furuu’ Al Kafi” dan At Tahdziib” dan “Al Istibshoor” dari Zaraarah, dari Abi Abdillah, ia berkata: “Saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut’ah apakah nikah mut’ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), ia berkata : ‘Nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak).’
4. Dan dari Muhammad bin Muslim dari Abi Ja’far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut’ah : “Bukan nikah mut’ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut’ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan,” [3].
Bagaimana mungkin ini dikatakan sebagai sesuatu yang halal plus memiliki keutamaan, padahal Allah telah berfirman :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas,” (Al Mukminun : 5-7).
Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahwa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah istri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan, maka ia bukanlah istri (yang sah), dan ia tidak bisa mendapatkan warisan dan tidak bisa ditalak, jadi dia itu adalah pelacur / wanita pezina –wal’iyaadzubillah-.
Syaikh Abdullah bin Jibriin berkata : “Orang Rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut’ah dengan ayat di surat An Nisa’ yaitu firman Allah :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;”. (An Nisa : 24).
Sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman Allah ayat 19 di surat An Nisa sampai 23, setelah Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian Allah berfirman : Artinya : “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang yaitu bersetubuh yang halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kamu wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keridhoan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (mayoritas) sahabat dan orang-orang setelah mereka. [4].

Referensi:

[1] Manhaj As Shodiqiin, karangan Mulla Fathullah al Kasyaani, hal : 356
[2] “Man Laa Yahduruhu Al Faqiih”, hal : 330.
[3] Al Furuu’ min Al Kafii, (2/43), dan kitab “ At Tahdziib” (2/188).
[4] Dari perkataan Syeikh Ibnu Jibrin -semoga Allah mengangkat darajatnya-, adapun dalil dari Sunnah dalam mengharamkan nikah mut’ah adalah hadits Ar Rafi’ bin Sirah Al Juhani, sesungguhnya bapaknya menceritakan kepadanya bahwa sesungguhnya ia (bapaknya) bersama Rasulullah, maka beliau bersabda : wahai Manusia sesungguhnya saya pernah mengizinkan untuk kalian bersenang-senang dengan perempuan (nikah mut’ah), dan sesungguhnya Allah sungguh telah mengharamkan hal itu (nikah mut’ah) sampai hari Kiamat, siapa yagn memiliki seseorang wanita darinya maka hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (H.R. Muslim no: 1406).
[5] Al Istibshoor, (3/243).

No comments: