Kisah Teungku Wahab Pelestari Sirih

Kisah Teungku Wahab Pelestari Sirih
Teungku Wahab di kebun sirih. | Foto: Irman I. Pangeran
 TEUNGKU Wahab kurus kerempeng. Ia bergegas memakai baju ketika saya tiba di rumahnya, usai siang pada pekan kedua Maret 2014. Laki-laki 68 tahun itu salah satu dari sedikit warga Gampong Calong, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara, yang masih membudidaya tanaman sirih.
“Keluarga kami menanam sirih secara turun temurun. Ayah saya semasa hidupnya menanam sirih dalam kebun yang cukup luas, lebih dua-mah (sekitar 3.200 meter-red),” ujar Teungku Wahab.
Teungku Wahab kemudian mengajak saya ke kebun sirih di sebelah kiri rumahnya. “Tinggal kebun kecil,” kata kakek yang giginya telah ompong ini. “Dulu almarhum ayah saya punya dua kebun sirih di depan rumah kami.”
Luas kebun sirih Teungku Wahab kini tersisa 10 x 20 meter. Dalam kebun itu tanaman sirih merambat pada puluhan pohon glumpang, murong, dan abeung-abeung setinggi atap rumah. Sebagian tanaman sirih di lahan kering kerontang itu, batang dan daun-daunnya telah menguning kecoklatan. “Kurang air karena musim kemarau,” kata kakek ini yang badannya tinggal kulit pembungkus tulang.
Di kebun sirih itu ada dua tangga terbuat dari bambu. “Tangga untuk memetik (memanen) daun sirih,” ujar Teungku Wahab. “Dulunya hampir tiap hari saya petik, belakangan tiga hari atau sepekan sekali”.
Setelah dipanen pada siang hari, malamnya Wahab dibantu istri dan anak perempuannya menyusun daun sirih. “Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, saya bawa ke pasar,” katanya. Biasanya, ia menjual sirih ke pasar  Simpang Mulieng, Kecamatan Syamtalira Aron, Blang Jruen, Kecamatan Tanah Luas, dan Keude Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.
“Dulu ayah saya hampir tiap pagi dayung sepeda bawa sirih ke pasar Lhoksukon. Kadang-kadang juga ke pasar Geudong, Matangkuli, dan Tanah Luas. Di sana sudah ada yang menunggu, rame that-that ureung bloe masa nyan, han sep barang (banyak sekali yang beli pada masa itu, tidak cukup persediaan),” ujar Teungku Wahab.
Selama ini ada pula pembeli yang datang langsung ke rumah Teungku Wahab. “Kemarin baru diambil, pembeli dari Simpang Meulieng. Tiga hari sekali diambil limong krek,” ujarnya. “Sekali-kali ada pembeli dari Simpang Dama (Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara)”.
Menurut Teungku Wahab, saboh ikat ranup terdiri dari limong seupeh (krek). Saboh seupeh adalah dua ploh oen ranup (saboh seupeh sebanyak 20 lembar daun sirih). “Kalau ambil ke rumah, saboh seupeh saya jual Rp3.500-Rp4.000. Kalau bawa ke pasar Rp.5000,” katanya.
Pembeli yang datang ke rumah Tgk. Wahab kemudian menjual sirih secara eceran di warung dan kios. Sering juga, kata dia, permintaan dari orang-orang yang ingin meminang calon dara baro. (baca: Adat Perkawinan Aceh: Jak Ba Ranup).
***
Cara menanam sirih, menurut Teungku Wahab, tidak jauh beda seperti membudidaya bak kupila. Mulanya dipetik tunas dari batang sirih yang daunnya sudah bisa dipanen. Tunas sirih lantas di tanam dalam tanah yang dibungkus dengan kantong plastik. Kalau sudah muncul akarnya, kata dia, plastik dibuang dan tunas sirih di tanam di bawah pohon glumpang sebagai tawo (agar merambat). Jika telah berumur lima-enam bulan, baru bisa dipanen.
“Dulunya banyak warga di Kecamatan Syamtalira Aron ini yang menanam sirih, dan hampir tiap rumah di tiap-tiap gampong ada makan sirih. Zaman sekarang tinggal sedikit orang yang makan sirih,” ujar Teungku Wahab.
Kini di Gampong Calong, tinggal kakek itu dan dua warga lain, Teungku Jamal dan Teungku Yakob yang meneruskan warisan indatunya itu.
Usman, 50 tahun, warga asal Gampong Meunasah Meuria, Kecamatan Syamtalira Aron, mengatakan, masa silam budidaya sirih menjadi salah satu mata pencaharian. “Sebagian biaya sekolah saya dulunya dari hasil sirih,” ujar Usman yang kini menjadi pegawai pemerintah di Lhokseumawe ini.
Sejak menjadi abdi negara dan tinggal di kawasan kota, Usman sudah jarang makan sirih. Selain harus meluang waktu untuk membeli sirih yang dijual di lokasi tertentu, kata dia, lingkungan tempat tinggalnya juga tak ada lagi tradisi makan sirih seperti masa lampau.
Tengku Wahab pun tidak lagi makan sirih lantaran semua giginya telah rontok. Kakek ini kesulitan memperoleh cubek (alat pelumat sirih) yang kini menjadi barang langka. Kata dia, “Nyena dimeukat cubek keuneuk bloe saboh, mangat ranup hai (kalau ada dijual cubek saya ingin beli satu, sirih itu enak)”.[]

Irman AP

No comments: