Kota Kuno Petra Dibangun Sejajar Matahari

Budaya Nabatea mendirikan kota untuk menangkap titik balik Matahari dan khatulistiwa.
yordania,tanah palestina,petra,pemuja matahari,archaeoastronomer astronom purbakala,kerajaan nabatea,khatulistiwaMatahari menerpa monumen yang dikenal sebagai Ad Deir, atau Biara, di Petra, Yordania , selama musim dingin titik balik Matahari musim dingin pada 2007. Foto: Katherine Kiviat, Redux
Sebuah bangunan peradaban kuno berupa kota yang dipahat di batu, Petra yang terkenal itu, dibuat sedemikian  sehingga Matahari akan menerangi tempat-tempat
Petra, kota metropolis raksasa berisi makam, monumen, dan tatanan keagamaan rumit lainnya diukir di tebing batu, merupakan ibukota kerajaan Nabatea. Budaya  Timur Tengah yang masih sedikit dipahami ini menguasai sebagian besar daerah Yordania modern dari abad ke-3 SM sampai abad I Masehi
Para pedagang rempah-rempah makmur menyembah Matahari, di antara dewa lainnya, dan mungkin telah menekankan pentingnya khatulistiwa (titik Matahari yang membagi siang dan malam sama panjang), titik balik Matahari, dan peristiwa astronomi lainnya yang ditentukan oleh bagaimana Matahari bergerak melintasi langit.
Titik balik Matahari, misalnya, adalah hasil dari poros utara-selatan Bumi yang relatif miring 23,5 derajat terhadap bidang tata surya kita. Kemiringan inilah penyebab perbedaan jumlah sinar Matahari yang mencapai berbagai wilayah planet Bumi selama setahun mengelilingi Matahari .
Sekarang, analisis statistik yang diterbitkan dalam Nexus Network Journal mengungkapkan, bahwa fenomena surgawi cenderung mempengaruhi bagaimana Nabatea menciptakan tatanan di Petra, kata dalam bahasa Yunani yang berarti batu karang.
"Bagian depan Petra tidak hanya cantik, tetapi juga menunjukkan sesuatu yang lain," kata ketua tim peneliti Juan Antonio Belmonte, astronom purbakala dari Institute of Astrophysics of the Canary Islands (IAC).

Petra, si kota batu karang dirancang sedemikian agar terus tertimpa Matahari seperti dikuduskan oleh langit.

yordania,tanah palestina,petra,pemuja matahari,archaeoastronomer astronom purbakala,kerajaan nabatea,khatulistiwaKedudukan Matahari selama titik balik Matahari musim dingin menerangi altar suci di Biara. Foto: Juan Anntonio Belmonte, Ph.D.
Juan Antonio Belmonte, astronom purbakala dari Institute of Astrophysics of the Canary Islands (IAC)  dan rekan-rekannya mengukur arah ruang monumen besar, kuil, dan makam keramat dan membandingkan pengukuran dengan bagaimana tatanan Petra selaras dengan kedudukan Matahari di cakrawala.
Karena kedudukan yang berubah sangat lambat dari waktu ke waktu, jumlah perubahan antara abad 1 SM dan hari ini, kecil. Jadi yang Belmonte dan timnya lihat sangat dekat dengan yang telah diamati bangsa Nabatea.
Hasil penelitian mereka menunjukkan, bahwa selama waktu tertentu dalam setahun, seperti titik balik Matahari musim dingin, Matahari akan menyorot atau selarasdengan beberapa bangunan yang paling penting di kota ini.
Meskipun tim mengandalkan statistik untuk memastikan arah Matahari dengan monumen, bangsa Nabatea tidak perlu harus mengetahui struktur secara matematis. Mereka bisa membangun sejajar dengan Matahari hanya dengan mengamati Matahari terbit dan terbenam selama waktu-waktu penting setahun.
Salah satu penemuan Belmonte yang paling menarik adalah terkait dengan titik balik Matahari musim dingin. Bangsa Nabatea mungkin percaya ada hubungannya dengan kelahiran dewa utama mereka, Dushara.
Selama titik balik Matahari musim dingin di Petra, Matahari terbenam menciptakan pendar cahaya dan bayangan di sekitar altar suci di dalam monumen yang dikenal sebagai Ad Deir, atau Biara, tempat bangsa Nabatea mungkin mengadakan perayaan keagamaan.
"Ini hal yang sama seperti terlihat di gereja-gereja umat Kristiani ketika sinar Matahari menerangi altar istimewa," kata Belmonte.
Fakta bahwa terpaan sinar ini hanya terjadi seminggu sebelum dan seminggu setelah titik balik Matahari musim dingin menunjukkan, bahwa "kesejajaran terlambang dengan Matahari terbenam di titik balik Matahari musim dingin itu masuk akal."
"Ini menunjukkan kita tidak melihat sebuah observatorium kuno, tetapi arsitektur yang sebagian dihidupkan dan dikuduskan oleh langit," kata Krupp.
Penelitian ini mengacu pada "tradisi menggunakan statistik untuk menentukan arah astronomi," kata astronom dan antropolog Anthony F Aveni. "Analisis dan pengukurannya pas," ungkap profesor di Colgate University di Hamilton, New York ini.

Keajaiban besar Petra mungkin bisa jadi pembanding mengungkap peradaban kuno tanpa prasasti.

Petra, kota prasejarahBrad Mering/stock.xchng
Sulit untuk membuktikan, bahwa bangsa Nabatea sengaja membangun Petra, kota mereka dengan membayangkan langit, catat EC Krupp, direktur Observatorium Griffith di Los Angeles. Dalam satu hal, pengetahuan tentang tradisi dan ideologi Nabatea terbatas, terutama karena budaya mereka meninggalkan sangat sedikit dokumen tertulis.
Terlebih lagi, "tidak ada contoh lain yang terkait yang dapat digunakan untuk perbandingan," kata Krupp .
Ketua tim peneliti Juan Antonio Belmonte, astronom purbakala dari Institute of Astrophysics of the Canary Islands (IAC) berharap ada pembanding. Menyebut, bahwa kota Hegra  atau Mada'in Saleh yang kini masuk wilayah Arab Saudi "akan menjadi laboratorium luar biasa untuk menguji penemuan kami."
Menurut Aveni, jenis penelitian ini dapat membantu dalam mengartikan budaya lain yang tidak memiliki sejarah tertulis, seperti Inca atau budaya Aztec.
Dengan tidak adanya catatan tertulis, kata dia, para ilmuwan dapat menggunakan "petunjuk arsitektur dan langit untuk mempelajari ideologi peradaban kuno."
Ketua tim peneliti Belmonte percaya, bahwa penelitian timnya telah memberikan penerangan baru tentang kota kuno yang kurang dimengerti, 85 persen masih tetap belum tergali. Dia menyebut Petra sebagai salah satu "tempat yang paling istimewa di dunia," dan menambahkan, bahwa "tatanan ini adalah keajaiban besar seperti kemampuan manusia menciptakan dengan rasa keindahan yang berhubungan dengan langit."
(Christine dell'Amore)

No comments: