MH 370 dalam Ruang Gelap Terorisme

MH370 490x326 MH 370 dalam Ruang Gelap Terorisme
Oleh : Andri Saputra, Politisi nonparlemen, tinggal di Yogyakarta, andriboen@gmail.com
ISU terorisme kembali mencuat seiring dengan insiden lenyapnya pesawat Boeing 777-200 milik maskapai penerbangan Malaysia Airlines System (MAS) dalam rute perjalanan Kuala Lumpur-Beijing, China pada 8 Maret lalu. Pesawat yang mengangkut 227 penumpang dan 22 kru tersebut hilang kontak dengan menara kontrol Subang hanya berselang satu jam setelah lepas landas dari bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA) pada pukul 00.41 waktu setempat.
Hingga kini, belum ada titik terang nasib penumpang beserta keberadaan pesawat dengan kode penerbangan MH370 tersebut karena masih dalam proses pencarian. Pascainsiden hilangnya pesawat MH370, berbagai spekulasi merebak di berbagai media. Sejumlah kemungkinan lenyapnya pesawat MH370 mengemuka mulai dari faktor kerusakan mesin, kesalahan pilot hingga dikaitkan dengan aksi terorisme.
Bahkan, bagi sejumlah media, terorisme menjadi kemungkinan pertama dan teratas diantara sejumlah kemungkinan lainnya. Seperti Koran tempo edisi Senin,10 Maret 2014 yang memuat headline dengan judul Malaysia Selidiki Dugaan Adanya Terorisme. Kecurigaan ini bermula dari hasil investigasi yang menemukan ada dua penumpang warga Negara Iran bernama Mohammad Nour Pouria Mehdrad dan Delavar Syed Mohammad Reza yang terbukti naik pesawat menggunakan paspor palsu. Dua paspor palsu tercatat atas nama Christian Kozel, warga negara Austria dan Luigi Maraldi, warga negara Italia.
Namun kedua orang itu tidak berada di pesawat. Otoritas Kementerian Luar Negeri Austria mengatakan paspor yang dimiliki warga negaranya itu sudah hilang dua tahun yang lalu saat pemiliknya sedang di Thailand. Sedangkan menurut Otoritas Kementerian Luar Negeri Italia, paspor atas nama warga negaranya itu juga hilang dicuri di Thailand pada Agutus 2013 lalu. (tempo.co).
Fakta lain yang memperbesar dugaan adanya terorisme adalah nomor tiket kedua penumpang tersebut berdekatan. Di kemudian hari, dugaan ini pada akhirnya terbantahkan karena ternyata maksud perjalanan keduanya adalah untuk bermigrasi ke Frankfurt, Jerman dan Kompenhagen, Denmark.
“Semakin banyak informasi yang kita dapatkan, semakin kita cenderung untuk menyimpulkan itu bukan insiden teroris,” ungkap Ronald Noble, Sekertaris Jenderal Interpol. Seperti dilansir Chanel News Asia, Selasa (11/3/2014). (sindonews.com)
Dalam kasus ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah ketika virus islamophobia atau berprasangka buruk terhadap umat Islam masih menjangkiti sebagian media di negeri ini. Indikatornya terlihat dari pemberitaan sejumlah media yang begitu gegabah dengan langsung mengkaitkan aksi terorisme dalam setiap insiden mematikan seperti kasus hilangnya pesawat MH370.
Dan ketika bicara terorisme, hampir selalu identik dengan umat Islam dan simbol simbol Islam. Pemberitaan tidak objektif semacam ini ketika disampaikan secara berulang dan terus menerus pada akhirnya menciptakan justifikasi dan persepsi publik bahwa bahwa Islam adalah ajaran terorisme. Setidaknya menjadi inspirasi dan justifikasi bagi aksi aksi terorisme.
Apa daya, meski kemudian hari media memberitakan ternyata hilangnya pesawat MH370 bukan oleh terorisme, namun dibenak pembaca sudah terlanjur tercipta persepsi negatif Islamohobia yang tak mudah terhapus begitu juga. Di tambah lagi, kolom pemberitaan yang memuat klarifikasi tersebut tidak sebanding dengan opini terorisme yang terbentuk di awal kejadian.
Tanpa bermaksud menampikkan kemungkinan adanya terorisme, tidak semua insiden mematikan seperti kecelakaan pesawat dipicu oleh aksi terorisme. Dalam banyak kasus, ternyata penyebab berbagai insiden mematikan disebabkan oleh sebab lain seperti kendala teknis. Atau kalaupun murni terorisme, bukan dilakukan oleh individu atau kelompok yang berafiliasi dengan umat Islam.
Fakta menunjukkan, berbagai aksi terorisme yang terjadi tidak selalu murni sebagai tindakan emosional dari sebagian kecil umat Islam terhadap penindasan barat. Sulit untuk tidak percaya ada unsur rekayasa dan konspirasi yang menyertai setiap aksi terorisme. Seperti dalam peristiwa fenomenal runtuhnya menara kembar WTC di New York pada 13 tahun silam dan menjadi awal mula kampanye war on terrorism (baca : perang melawan Islam).
Profesor Steven E. Jones dari Universitas Brigham Young, Kota Utah, pertama kali mengeluarkan pernyataan dirinya tidak percaya runtuhnya WTC karena hantaman pesawat dikendarai Muhammad Atta, salah seorang anggota jaringan al-Qaeda. Dia melakukan penelitian dan menerbitkan jurnal disampaikannya pada seminar di almamaternya, seperti dilansir world911truth.org (22/9/2005).
“Saya menyarankan dilakukan investigasi serius gedung WTC7 dan Menara Kembar WTC runtuh bukan disebabkan benturan pesawat dan kebakaran, tapi juga bahan peledak sudah ditempatkan sebelumnya,” kata Jones. Teori Jones bertentangan dengan hasil penelitian Agen Federal Keamanan Negara Amerika (FEMA) menyatakan penyebab utama keruntuhan api terjangan pesawat dengan bahan bakar penuh. Jurnal itu diterbitkan surat kabar Deseret Morning News beredar di Kota Salt Lake

No comments: