Refleksi Perang Belanda

141 tahun silam atau tepatnya pada 26 Maret 1873 adalah hari dimana kemerdekaan Aceh untuk pertama kalinya direnggut dan dipersengketakan secara terbuka. Peperangan Aceh melawan Belanda adalah sebuah kisah memilukan; mulai dari justifikasi sepihak Belanda melakukan penyerangan ke Aceh hingga cara licik mereka untuk membuat kesultanan Aceh bertekuk lutut. Bergelut selama 40 tahun lebih, Perang Belanda tidak hanya meyebabkan ratusan ribu aneuk nanggroe terbaik syahid, tapi juga meyebabkan perpecahan internal yang belum mampu disembuhkan hingga hari ini.

Sudah sejak lama, liberte kesultanan Aceh menjadi duri dalam proyek pasifikasi Belanda di India Timur (sekarang Indonesia). Di samping pemerkosaan wilayah-wilayah yang tunduk di bawah kedaulatan Aceh Sumatera sejak awal abad ke-19, permintaan Belanda agar Aceh takluk di bawah wewenangnya dikemukakan sejak 1867. Penolakan Sultan Ibrahim (w.1870) dan Sultan Mahmud Syah (1870-1874) berakhir dengan ekspedisi militer pada 1873. Meskipun ekspedisi 26 Maret 1873 dimenangkan oleh tentara-tentara Aceh, ekspedisi 1874 berakhir dengan kekalahan yang disebabkan oleh bencana penyakit kolera dan pahitnya pengkhianatan Meuraksa.

Sepanjang sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda, Aceh merupakan mangsa utama perpecahan internal. Belanda memanfaatkan sebaik mungkin setiap kesempatan lewat strateginya yang terkenal devide et empera. Contohnya, ketika Sultan Mahmud Syah dirumorkan berselisih dengan Teuku Hasyim Banta Muda, komandan militer handal, Belanda langsung mengirimkan seseorang untuk mennyelidiki rumor tersebut dan memerintahkan untuk mengait siapa pun yang dekat dengan kedua pihak tersebut ke dalam pangkuan Belanda. Menyadari perspektif licik dari pihak Belanda, Teuku Hasyim Banta Muda mendamaikan diri dengan Sultan.

Pembunuhan terhadap raja-raja yang membelot tidak terjadi karena semata-mata mereka menundukkan diri pada musuh tapi lebih kepada akibat bantuan mereka terhadap pelaksanaan sistem jajahan Belanda, misalnya, ketika mereka mengucapkan sumpah setia pada Belanda, mereka dihadiahi tanah atau bahkan kawasan untuk mereka kelola sebagaimana yang diinginkan, tentu tanpa melupakan penerapan pajak dan aturan-aturan kolonial lainnya yang memperparah kemelaratan rakyat jelata. Selain itu, kesewenang-wenangan uleebalang juga tidak luput dari kemarahan masyarakat awam.

Satu contoh lain adalah, sebagaimana yang disebutkan Wieringa (1998), kisah pahit hubungan Teuku Umar dan Dokarim atau Abdokarim. Dokarim dikenal sebagai pelantun sajak-sajak penyemangat perang. Hingga sebelum ia bertemu dengan Snouck Hurgronje, Dokarim dianggap sebagai salah satu pihak terpercaya. Teuku Umar misalnya diketahui sering memberikannya hadiah. Namun ketika Dokarim menjadi penunjuk jalan dan agen informasi Belanda di Aceh dan syair-syairnya mulai berisikan pujaan terhadap kompeuni, ia dikecam hingga pada akhirnya tewas di tangan Teuku Umar sendiri pada 1897.

 Islam sebagai pondasi
Selama pertikaian-pertikaian internal terjadi, tidak hanya ulama tapi juga pendukung pendukung elite kesultanan yang terdiri dari para uleebalang taat hadir sebagai aktor pembentuk mindset rakyat Aceh untuk bahu membahu, menyatu demi membebaskan tanah air dari penjajahan dan imperialisme. Mereka menyadari bahwa hanya kesamaan identitas yang mempu menyatukan sebuah bangsa. Islam terbukti merupakan satu-satunya kesamaan yang dimiliki oleh segenap rakyat Aceh. Tidak mengherankan jika pihak penguasa seperti ulama, Sultan, dan jajaran penasihatnya mampu menyatukan semua unsur dalam masyarakat Aceh dengan Islam sebagai pondasi.

Satu strategi utama yang mereka lakukan adalah merevitalisasi fungsi mesjid, dayah, dan meunasah, menjadi pusat penyebaran pengetahuan tidak hanya prang sabi, tapi juga pengetahuan-pengetahuan keislaman lainnya. Di sana juga lahirnya hikayat-hikayat yang menggelorakan semangat Aceh dalam mempertahankan negerinya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika- tidak hanya lelaki- angka-angka perempuan dan anak-anak yang mengikutertakan diri dalam peperangan kian meningkat.

Persatuan rakyat Aceh melawan Belanda dapat dibuktikan dengan laporan-laporan perlawanan yang berasal dari seluruh Aceh. Pada masa perlawanan-perlawanan terbuka tahun 1874, peperangan berpusat di wilayah-wilayah strategis seperti Aceh Besar. Berapapun jumlah tenteranya, yang paling penting adalah, kesemua tentara itu turun dari berbagai kawasan di Aceh termasuk, Tapaktuan, Meulaboh, Gayo dan Idie, Pidie, Sigli, Lamno, dan sebagainya. Ketika peperangan dilakukan secara gerilya sejak 1875 keseragaman komitmen pejuang-pejuang Aceh dapat dirasakan dari seluruh pelosok negeri seperti yang dilaporkan Mayor A Doup, general Belanda yang menduduki Tapaktuan kala itu.

Ketika sebagian besar wilayah di Indonesia telah dijajah oleh Belanda, mengapa Aceh masih satu-satunya negeri yang mampu berdiri sendiri? Alasannya adalah karena Aceh memiliki tradisi intelektual yang tertuang dalam pegangan hukum internasional sebagaimana tersirat dalam berbagai traktat. Traktat 1819 dan traktat 1824 dengan Inggris adalah salah satu yang menopang kemerdekaan Aceh pada abad ke-19. Traktat yang kedua tersebut baru berakhir dengan penandatangan traktat lain tahun 1871, dimana, tanpa keterlibatan Aceh dalam meja bundar, Belanda dan Inggris setuju untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri Aceh dalam bentuk apapun.

Secara natural, Belanda yang ingin memperluas kawasan jajahannya melihat keharusan untuk menaklukkan Aceh. Meskipun begitu, Aceh masih terjaga untuk meminimalisasi pertumpahan darah dengan kertas, pena dan negosiasi untuk melobi setiap Negara Muslim dan non-Muslim tidak hanya demi mendapatkan bantuan tapi juga sekaligus mengulur waktu Belanda untuk menggempur tanah Aceh. Setidaknya, berkat surat-menyurat ini, serangan ke-2 Belanda telah tertunda hingga 4 bulan sejak pengiriman ekspedisinya pada November 1873.

Pahitnya, tidak ada satu negeri pun yang mampu mengulurkan tangan membantu Aceh, baik Itali, Prancis, Amerika, Inggris, atau bahkan Turki. Dengan kondisi kesultanan Aceh yang lemah dan komitmennya dalam menolak perampasan kemerdekaan, Aceh memilih perang sebagai jalan terakhir, perang yang kemudian menjadi sumber bangkrutnya militer dan administrasi Belanda di India Timur.

 Hikayat ‘Prang Sabi’
Bagaimana Aceh mampu bersatu melakukan perang selama 40 tahun padahal Belanda telah memblokade perdagangan pantai yang bahkan mengakibatkan kelaparan dan kelemahan senjata tempur, melarang penunaian haji, meminta bayaran pajak yang mahal, dan lain-lain. Hanya ada satu jawaban popular dan jawaban tersebut pun mencerminkan intelektualitas elite Aceh yang mengerti makna sebuah tulisan dan bacaan, yaitu, Hikayat Prang Sabi.  

Meskipun Snouck Hurgronje atau yang lebih dikenal sebagai Seuneut oleh orang Aceh, menyebut bahwa sebelum ia menuliskan hikayat yang dibacakan oleh Dokarim sendiri, belum ada hikayat-hikayat lain yang terekam dalam bentuk tulisan kecuali dengan oral saja. Namun kenyataannya, tradisi penulisan sastra semacam ini telah ada sejak awal abad ke 18.

Hikayat Prang Sabi, dengan fleksibilitas kandungan yang dapat diubah berdasarkan perkembangan situasi pada masa itu, mengalami penyalinan ratusan kali dan peredaran yang begitu luas yang menyebabkan Belanda ketakutan dengan keberadaan hikayat-hikayat tersebut. Mereka memerintahkan penyisiran hikayat bernada perang di setiap rumah dan membakarnya. Bahkan jika ada orang Aceh yang diketahui mempertahankannya akan dibunuh.

Baik saat masa penentangan penjajahan Jepang atau perjuangan Daud Beureueh mewujudkan Negara Islam DI/TII, hingga periode Teungku Muhammad Hasan Ditiro (1925-2010), kesadaran Aceh mengenai kekuatan tulisan dan dialog masih tersisa. Hasan Ditiro adalah seorang negosiator handal yang tidak lupa untuk melahirkan tulisan-tulisan dengan orasi menggugah. Beliau menyadari bahwa demi sampai pada pintu tujuan, masyarakat terlebih dulu harus dibimbing dan disadarkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang identitas mereka. Kini damai telah dirajut, namun tujuan semula seakan terombang-ambing dalam lautan nafsu jahilistik (pengabaian ilmu), kapitalistik dan opportunistik. Masyarakat Aceh juga seakan kebingungan untuk mendefenisikan “sejahtera Aceh” tanpa kekerasan. Jika Hasan Ditiro masih hidup hari ini dan melihat perkembangan masyarakat Aceh pascadamai yang rentan anarkisme, perpecahan, adu-domba, dan pengidolaan materi, telah cukup menjelaskan kondisi Aceh yang tidak beradab, maka saya yakin, “sia-sia” adalah satu-satunya ungkapan yang muncul di benak beliau.

Penyimpangan-penyimpangan identitas Aceh sebagaimana tersebut di atas, tentunya tidak semata-mata menjadi tanggung jawab satu atau dua kelompok saja, tapi semua pihak yang mengklaim dirinya berilmu dan beragama. Oleh karena itu, merupakan hal yang mendesak bagi masyarakat Aceh untuk membangun kembali kesadaran berpendidikan yang tenggelam selama masa perjuangan. Hanya dengan mental berpendidikan dan beradab, sektor ekonomi dapat dikembangkan dengan adil dan progresif, menuju Aceh yang bermartabat, makmur dan sejahtara. Semoga!

* Nia Deliana, Aktivis PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki) berbasis di Banda Aceh. Saat ini sedang menyelesaikan Program Master bidang Pengetahuan Kemanusiaan di Malaysia. Email: delianania@gmail.com

No comments: